images/images-1673270110.png
Riset
Tokoh

Serangan Bu Dar Montir Dari Dapur Umum

Pulung Ciptoaji

Jan 10, 2023

453 views

24 Comments

Save

Bu Dar mortir pendiri dapur umum selama pertempuran 10 November. (foto: istimewa)

 

abad.id-Pertempuran di Surabaya makin sengit, sementara amunisi peluru para pejuang sangat terbatas. Mereka datang dari penjuru kota di Indonesia berniat ingin berkorban jiwa dan raganya untuk kemerdekaan. Namun yang mereka jumpai, kota Surabaya seperti neraka yang penuh bara api dan aroma amis darah. Mayat mayat bergelimpangan, serta terdengar dari jauh suara merintih kesakitan. Usaha pertolongan semakin sia-sia, sebab harus melewati rintangan perlawanan dari tentara lawan.

 

Hanya satu tempat yang paling damai dan jauh dari kebisingan perluru dan bom. Tempat itu berada tersembunyi di garis pinggir, namun sangat menentukan arah pertempuran. Yaitu dapur umum yang dikelola Bu Dar Mortir.

 

Nama lengkap perempuan itu Dariyah Soerodikoesoemo, namun lebih dikenal sebutan Bu Dar Mortir. Sejak suaminya ikut tewas dalam pertempuan, hidupnya menjadi luntang-lantung tanpa tujuan.

 

Sebelum pecah perang, kehidupan Bu Dar sangat mapan untuk kelas warga pribumi. Namun kedatangan sekutu di Surabaya sejak September 1945 telah menimbulkan gejolak keamanan dan ketertiban. Para pemuda dan TKR ramai-ramai melakukan pelucutan sepihak senjata dan aset tentara Jepang. Sempat terjadi beberapa pertempuran dan kekacauan di Surabaya karena ada perlawanan. Beberapa pemuda dan TKR  tewas dalam kekacauan itu.

 

Begitu pula dengan keluarga kecil Bu Dan dan suaminya Soerodikoesoemo yang bekerja sebagai pamong praja. Soerodikoesoemo ikut tewas dan mengakibatkan Dariyah menjadi janda. Dariyah marah dan sangat sedih sambil memeluk tubuh suaminya yang tertembak. Saat pemakaman Soerodikoesoemo, Bu Dariyah semakin bertekat ingin membalas kejahatan itu.

 

Kekuatan tidak seimbang menyebabkan jumlah korban pemuda Surabaya sangat banyak. Pemimpin aksi perlawanan setempat bersama pejabat republik meminta Surabaya harus dikosongkan. Saat itu Bu Dar yang prihatin melihat tentara yang lapar dan terluka. Seketika Bu Dar mendatangi sebuah toko, dan melepas kalung dan gelang emas harta satu satunya yang dibawa mengungsi. Barang berharga seberat 100 gram itu ia tukarkan dengan bahan-bahan makanan mulai beras, saryur dan ikan. Bahan makanan itulah yang kemudian diolah bersama-sama ibu-ibu lain di bekas gudang yang ditinggal pemiliknya di Wonokromo. Kelak asupan ransum ini sangat bermanfaat bagi para pejuang di garis depan.

 

Aksi Bu Dar membuat dapur umum secara swadaya ini terdengar pimpinan COPP VI di bawah Letkol Latif Hadiningrat. Perang berkecamuk makin besar, Bu Dar langsung diajak terlibat dalam perencanaan menu dan kebutuhan logistik makanan. Terlebih saat Surabaya jatuh ke tangan Inggris dan pasukan pemuda dan TKR melakukan perlawanan gerilya, Bu Dar diminta mengurusi dapur umum. Sementara pasukan COPP VI di bawah pimpinan Letkol Latif Hadiningrat bertugas mencari bahan yang dimasak.

 

Untuk kebutuhan beras diambil dari gudang beras Sri Sedana yang ada di Sooko. Gudang milik orang Cina itu penuh dengan bahan makanan yang dikumpulkan oleh Jepang sebelum menyerah kalah. Gudang beras itu merupakan tempat penimbunan perbekalan terbesar di Mojokerto. Gudang sejenis yang lebih kecil juga tersebar di wilayah lainnya seperti di Mojosari dan lainnya. Bahan makanan itu dikirim ke Surabaya menggunakan kereta api.

 

Dalam satu hari, dapur umm Bu Dar di kawasan karang pilang bisa membuat 5 ribu nasi bungkus daun. Ransum itu dibagikan secara estafet oleh kelompok voluntir. Tak hanya mengomando produksi makanan, Bu Dar juga mengawasi distribusi nasi bungkus daun itu. Bu Dar tidak ingin para pejuang mati karena menerima atau mengonsumsi makanan itu dalam keadaan basi. Bahkan, bukan hanya di dapur, rupanya Bu Dar juga menyiapkan dan mengorganisasi pos-pos palang merah. Khususnya untuk merawat para pejuang yang terluka akibat pertempuran.

 

Sementara beberapa pemuda dan TKR yang sedang istirahat juga memilih mendatangi dapur umum untuk makan sambil ngobrol. Berita berita pertempuran sangat cepat beredar di dapur umum. Sehingga diantara pemuda dan TKR langsung melakukan perencanaan strategi sambil makan dan minum manis.

 

Kegiatan Dapur umum tidak pernah berhenti selama 24 jam. Di buku Tentara Pelajar, para pemuda dan TKR sangat tidak doyan makan. Begitu selesai perang, perut langsung lapar. Kalau membawa bekal ransum nasi bungkus langsung dimakan. Namun kalau tidak, mereka mendatangi dapur umum terdekat untuk makan apapun yang ada. Bahkan sisa-sisa nasi agak basi juga dimakan. 

 

Ada beberapa saksi yang mengenal Bu Dar Montir dikenal sangat keras dan cekatan. Jika melihat anggota lain kerja lamban menyiapkan ransum, maka lansgung dilempar susur ( bahan kinang dari tembakau dan suruh). Terhadap Keberhasilan Bu Dar Montir membuat dapur umum ini sangat diapresiasi pimpinan militer lainnya. Dalam waktu singkat, Bu Dar diminta membuat 50 dapur umum serupa di titi titik yang sudah disiapkan. Dia adalah 'combat cook' atau dapur umum pusat selama perang yang tidak kenal jam. Dia yang memperhatikan dan merawat pejuang. SDM-nya ada ratusan sampai ribuan orang.

 

 

Dalam pertempuran amunisi paling mendukung untuk menang berupa ransum makanan. Ransum tersebut dimasak oleh para relawan ibu-ibu dan didistribusikan hingga garis depan. Foto istimewa 

 

Hingga awal tahun 1946, dapur Umum itu di daerah Wonokromo masih aman dari bahaya perang. Kiriman bahan makanan dari luar kota seperti beras, kelapa, minyak masih lancar menggunakan kereta dan diambil orang suruhan di stasiun.  Namun setelah kota Surabaya tidak bisa dipertahakan lagi, maka dapur umum juga dipindahkan mengikuti garis pertahanan yang ditentukan. Dapur Umum kemudian dipindahkan ke Mojokerto yang koordinasinya dibawah kendali DPDS. Pusat kegiatan dapur umum ada di gedung pertemuan Brantas dekat pasar Kliwon. Gedung itu juga menjadi tempat transit bagi para pengungsi yang datang ke Mojokerto sebelum dipindah ke rumah-rumah penduduk. Selain memenuhi kebutuhan para tentara di garis depan, dapur umum  juga menyediakan makanan bagi pengungsi.

 

Pada tahun 1946 sistem pertahanan pejuang disusun menurut garis linier dengan membangun pos pada titik tertentu. ransum makanan bagi pejuang yang berada di garis depan menjadi tanggung jawab dapur umum terdekat. Makanan basah maupun kering harus segera di distribusikan sehingga sering tidak dibungkus rapi. Bungkusan sering rusak saat diterima para pejuang, sehingga makanan sudah basi saat dimakan.

 

Tugas penyediaan makanan untuk tentara akhirnya dihapuskan dari dapur umum pada awal tahun 1947. Penghapusan karena ada insiden Pesindo dengan Hizbullah. Dua kelompok ini terlibat ketegangan karena Pesindo menuduh Hizbullah menyerobot jatah makan organisasi lain, karena jumlah yang diterima selalu melebihi kebutuhan. Rupanya Pesindo tidak mengerti bahwa selain jatah rutin dari dapur umum, Hizbullah juga memperoleh kiriman makanan dari muslimat NU. Untuk menghindari kecemburuan semacam itu, kemudian diputuskan jatah makanan dirupakan bahan mentah untuk diolah sendiri oleh kesatuannya. Sejak saat itu peran dapur umum mulai berkurang, dan Bu dar Mortir lebih berkonsentrasi penyedian makanan untuk  pengungsi.

 

Cerita dapur umum menjadi kekuatan perlawanan pemuda dan TKR mulai tidak terdengar setelah Mojokerto di duduki tentara NICA pada pertengahan Maret 1947 menjelang perjanjian Linggarjati. Menurut cerita, dapur umum juga ikut pindah ke Jombang mengikuti gerak mundur Pemuda dan TKR yang dipimpin Residen Surabaya, Sudirman. Kiprah dapur umum semakin meredup seiring penataan personil dan para pengungsi mulai menyebar ke tempat-tempat yang bisa memberi kehidupan.  Begitu pula kisah perjuangan Bu Dar Montir juga menghilang tanpa meninggalkan catatan apapun. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022