Epilog Sejarah
Kisah Dewata Cengkar dan Aji Saka, Sejarah yang Dikaburkan
Abad.id - Dikisahkan dalam Serat Centhini bahwa semula yang berkuasa di pulau Jawa adalah Ratu yang berkelamin perempuan, yang sering dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Ratu Kidul ini induk budaya Nusantara. Oleh karena itu, kita menyebut leluhur kita itu sebagai nenek moyang, dan induk. Sehingga ada sebutan ibu pertiwi, ibu kota, ibu nagari, ibu jari dan lan sebagainya.
Suatu ketika dalam sejarah, terjadi pergeseran dari kekuasaan perempuan (feminin) ke laki-laki (maskulin). Pergeseran kekuasaan itu menandakan terjadinya pergeseran peradaban dari era berburu dan meramu, bergeser ke era bercocok tanam (pertanian). Di era pertanianlah laki-laki menjadi kepala dan pemimpin, yang sebelumnya laki-laki adalah pekerja. Inilah yang disimbolkan dengan peralihan dari Ratu Kidul ke Dewata Cengkar (Dewa yang Cengkar, yang melindungi dan menyejahterakan kawulanya).
Dewata Cengkar juga merupakan gelar seorang pemimpin atau ratu yang turun-temurun digunakan pasca gelar Ratu Kidul. Sesuai dengan gelar yang dipakai, yaitu 'dewata' yang artinya dewa tertinggi, ia berposisi 'cengkar' yang artinya melindungi seluruh negara beserta kawulanya (warganya). Dalam perkembangannya, kata cengkar kemudian diartikan menjaga dan menyebar kemakmuran bagi seluruh warganya.
Sang Dewata Cengkar juga sangat terbuka kepada para pendatang dan mengayomi semua kawula dan tamunya.
Tanah di Nusantara sejak awal mula keberadaannya adalah milik Sang Pencipta. Sejak manusia Homo Mojokertoensis, 1,81 juta tahun yang lalu, mereka sudah beranak pinak di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Sejak 750.000 – 900.000 tahun yang lalu, generasi baru masuk ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa, dan beranak pinak di negeri ini pula. Sebagian generasi yang lebih tua bermigrasi ke Sahul (Australia), sebagaian lagi melakukan kawin campur, dan melahirkan generasi baru lagi.
Terlepas dari kesahihan naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara, didalam naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara disebutkan bahwa sejak 1600 tahun sebelum Saka (bisa disamakan dengan 1600 SM) berdatangan rombongan orang-orang dari Yawana, Syangka, Campa dan India Selatan (Jambudwipa).
Para pendatang asing itu berdatangan karena berbagai macam sebab diantaranya ingin melepaskan diri dari penderitaan, ada yang ingin mendapat pekerjaan, ada yang menyingkir karena peperangan di negerinya, ada yang ingin mendapatkan suami atau istri di Pulau Jawa, dan ada pula yang ingin panjang umur dan mencari tanah yang subur agar dapat memberikan penghidupan yang lebih baik.
Pada 300 dan 200 tahun sebelum Saka, terjadi lagi gelombang migrasi dari negeri-negeri tersebut ke Pulau Jawa. Mereka adalah orang-orang yang banyak ilmu. Mereka juga kawin dengan penduduk asli. Selanjutnya pada tahun pertama Saka datang serombongan orang dari Singhanagari India, mereka menjual produk dan membeli produk Nusantara dari Pulau Jawa. Mereka memandang bahwa Jawa adalah surga di bumi (makadi Jawadwipa samyasana swargaloka haneng prethiwi-tala).
Bersamaan gelombang migrasi, dating juga seorang pembawa agama dari manca negara yang diterima sebagai penasehat. Ia adalah seorang Aji Saka (penasehat Saka atau Ratu). Dalam bahasa Jawa Kuno, Saka diartikan sebagai asal atau tiang. Sedang Aji dalam bahasa Jawa Kuno artinya ilmu; mantra; pelajaran; undang-undang adat; kitab suci; bisa juga berarti berharga. Jika dibaca 'haji', maka artinya ratu.
Maka di era Dewata Cengkar yang terakhir, sang ratu mengangkat penasehatnya yang berasal dari mancanegara, seorang Aji Saka, yang notabene adalah orang asing dari Jambudwipa, alias India sekarang. Hal ini disebabkan pendatang asing dari manca negara semakin banyak kala itu. Fakta sejarah ini bisa dicek di buku Radya-radya i Bhumi Nusantara yang masih dalam Carakan Jawa Kuno yang disimpan di museum Sundanologi.
Dalam perkembangannya, Aji Saka (pendatang) kemudian berhasil menggulingkan kekuasaan Dewata Cengkar. Kemudian di zaman VOC (Belanda), dirusaklah kisah asli ini dengan mengaburkan sejarah. Bahwa Dewata Cengkar (pribumi) dinarasikan sebagai seorang raja kanibal yang suka memakan daging manusia sehingga ditakuti rakyatnya, dan seterusnya.
Kisah Aji Saka ini pula yang mengawali pemaknaan hurup caraka Jawa Kuno HA NA CA RA KA yang maknanya dibuat baru sesuai citarasa penjajah waktu itu, dengan terjemahan akhirnya (versi Belanda) adalah "ada utusan, sama-sama bertengkar, sama-sama sakti, dan sama-sama menjadi bangkai." (ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-da-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga).
HA NA CA RA KA berisikan "Aksara Urip", maka alat untuk mencapai kemuliaan, keluhuran adalah "hidup itu sendiri", apa dan bagaimana hidup yang "urip" disebut sebagai hanacaraka datasawala padajayanya magabathanga, menjalani kehidupan ini selaras dengan kosmik dimana manusia hanyalah alat dari Yang Maha Kuasa dan menjalankan hidup sebagaimana wayang dengan peran yang dikehendaki dari dalang alam semesta ini. Ini yang disebut sebagai “hidup yang urip", bisa menyatu atau selaras dengan alam semesta
Anehnya para pendidik kita tidak melihat penerjemahan kata data, padha, dan maga yang diartikan "sama-sama".
Padahal jika diartikan sesuai kata aslinya adalah :
1. Ada utusan - (hanacaraka)
2. Tidak sawala (berlawanan, bertentangan) - (datasawala).
3. Di tempat yang luhur (agung, jaya) – (padhajayanya).
4. Menempuh jalan (maga) untuk menolong (bathang) – (magabathanga).
Jadi, arti asalnya merupakan Sangkan Paran Ing Dumadi. Sangkan Paran Ing Dumadi, arti mudahnya adalah konsepsi tentang penciptaan manusia, darimana berasal dan akan menuju kemana (akan kembali/pulang kemana). Ini konsepsi spiritual Jawa.
Kemudian bisa dimaknai dengan benar sesuai kaidah bahasanya; "Utusan mengada untuk mengajarkan hal-hal yang nondualitas (data sawala), tidak mangro tingal agar bisa hidup di tempat yang unggul, luhur, mulia, dengan melewati jalan (maga) mati sajroning urip, urip sajroning pati (mbathang). Maksudnya hidup sakmadya, tidak terlalu ambisius, nggragas dalam mengejar-ngejar dunia, biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan. Menerima takdir yang berlaku, susah senang ada masanya, sedih dan gembira punya waktunya sendiri, sama halnya dengan gelap dan terang.
Proses untuk terus menerus mematikan nafsu inilah yang disebut “mati” sakjroning urip dalam falsafah diatas. Kematian keinginan (hawa nafsu) yang berlebihan, sehingga ketika nyawa hendak meninggalkan tubuh sudah ikhlas tidak terhalangi apapun yang membuat berat hati, apalagi terhalangi kencintaan berlebihan pada dunia, sehingga bisa mencapai puncak tertinggi hidup di tempat ungul, luhur, dan mulia (moksa).
Namun Carakan juga bisa dipahami dengan membacanya sebagai sangkalan. Misalnya, sirna ilang kertaning bhumi. Membacanya adalah bhumi kerta ilang sirna (tahun 1400). Jika Carakan dibaca sangkalan, maka artinya:
1. Manusia harus melewati jalan mati dalam hidupnya (maga bathanga).
2. Ia akan sampai pada tempat yang luhur (padha jayanya).
3. Jadilah ia manusia yang berwatak non-dualitas, tidak mangro tingal, tidak mangrwa - tan hana dharma mangrwa (data sawala).
4. Ia hadir sebagai Utusan Tuhan YME di bumi ini (ana caraka), bahasa agamanya adalah khalifatullah fil ardhi
Beda lagi dalam kamus Sansekerta - Indonesia (Drs. Purwadi) mengartikan Aji sebagai raja, ilmu, dan nilai. Dengan demikian sebutan Aji menunjukkan adanya nilai superlatif (diperbandingkan) atau melebihi kelaziman. Contonya, Jayabaya sering disebut sebagai Sri Aji Jayabaya dibandingkan dari raja-raja lain dari Kediri. Artinya, Jayabaya sebagai raja dipandang mempunyai nilai lebih dibandingkan raja-raja (Kediri) lainnya.
Sementara, Saka (dalam Bahasa Sansekerta) diartikan sebagai dari (asal/awal) dan tiang/saka guru. Dengan demikian, Aji Saka adalah sebuah awal yang sangat bernilai. Jika peradaban Jawa dimulai dari legenda Aji Saka, itu berarti peradaban Jawa didasari oleh nilai-nilai yang sangat berharga mengenai tiang, asas, pokok, pondasi dan asalnya. Apa itu pokok, tiang, pondasi dan asal?
Maka, aksara Jawa Caraka dibagi menjadi empat kelompok.
Manusia Jawa diingatkan bahwa memulai peradaban harus diawali dengan kesadaran akan asal sebagai utusan (khalifah) di bumi (Hanacaraka).
Kemudian hendaknya menjaga kerukunan, menghindari pertengkaran seperti legenda yang dikisahkan (Datasawala).
Maka, kejayaaan akan dicapai secara bersama-sama. Kejayaan hanya dapat diraih dengan persatuan, jumbuh lahir batin, jumbuh pemimpin dan yang dipimpin, begitu seterusnya (Padhajayanya).
Prinsip keempat yang harus diingat adalah bahwa kelak, bagaimanapun dan pasti semuanya akan mati, berakhir (magabathanga). Setinggi apapun kejayaan yang diraih, akan ada saat berakhirnya. Demikian empat pilar peradaban yang diajarkan Kamus Sansekerta - Indonesia.
Jadi jika disimpulkan menurut pemahaman Kamus Sansekerta – Indonesia itu Hanacaraka Datasawala Padajanya Magabatanga, adalah "Aji Saka", aji adalah alat/instrumen, saka adalah panduan, adjie saka adalah guidance instrument untuk mengalahkan Dewata Cengkar yang berarti orang-orang yang dimuliakan oleh angkara, bukan oleh dharma.
Demikianlah, tafsir beberapa perspektif sejarah yang mungkin debatable, di forum akademik silakan didiskusikan.(mda)
Penulis : Malika D. Ana
Author Abad
31.10.22
Kisah Si Burung Merak; Awal Masuknya Islam dan Keruntuhan Majapahit
Abad.id - Burung Merak adalah simbol derajat yang tinggi. Jika dalam pewayangan, biasa dipersonifikasi oleh sosok Krisna. Krisna lahir di tempat makmur, hobinya makan keju dan minum susu, yang merupakan simbol kemakmuran dan kekayaan. Krisna tidak bisa memakai kain rombengan, di kepalanya selalu ada bulu burung Merak yang menghiasi. Dia juga hoby memainkan seruling.
Perempuan juga digambarkan jika berdandan cantik dan anggun laksana burung Merak yang dikagumi oleh semua orang. Bulu-bulunya indah memukau setiap mata yang memandang. Paduan kemewahan, kecantikan dan keanggunan.
Dalam sejarah kesenian Reyog Ponorogo, burung Merak adalah symbol tokoh utama kisah Putri Cempa yang jelita digambarkan sebagaimana burung Merak yang menghinggapi kepala harimau, lambang Brawijaya V yang takluk oleh pesona kecantikan permaisurinya tersebut. Akibatnya, banyak wilayah-wilayah di bawah Majapahit kecewa dan ingin melepaskan diri, salah satunya Wengker (Ponorogo).
Masa Awal Islam di Jawa - "Runtuhnya Kerajaan Majapahit"
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar, yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja, beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, yaitu Tiongkok dan Majapahit.
Lambang kerajaan Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan internasionalnya adalah Gresik.
Agama resmi kerajaan adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi, sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah kerajaan di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta, Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta.
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang- gemilang.
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Paregreg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri).
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Agama Islam mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan Awal Penyebaran Islam di Jawa, kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa), karena dikuasai oleh China kemudian berubah nama sebagai Vietnam. Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo (nama Champa dari Sayyid Ali Murtadlo).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda ketaklukan. Dan salah satu upeti persembahan yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah Indo-China ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati. Dalam suatu kisah karena Putri Champa berhasil menyembuhakan sakit raja singanya sang raja, maka si Putri Champa diangkat sebagai permaisuri.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah yang kelak kembali ke Jawa dan mendirikan keraton Demak, yang kemudian terkenal sebagai Demak Bintara (Demak Bintoro). Kata bin dalam bahasa Arab merujuk pada "anaknya si", jadi Demak Bintara, artinya Demak anak si Tara, atau si Toro, Patahilah artinya kemenangan, putra Brawijaya dengan ratu berkulit pucat dan bermata sipit.
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu.
Si Putri Champa Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong(mungkin julukan tokoh yang tidak mau diketahui nama sebenarnya), punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Dalam sebuah versi folklor nama ini adalah samaran dari Pembayun, putri Brawijaya. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hampir didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendapat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurit yang bertingkah polah seperti banci. (Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Penari Jathilan, simbol para pejabat dijaman Majapahit, dokumentasi mda
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah simbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah simbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah simbol dari Pejabat daerah.
Pujanggaanom, simbol pejabat teras. Dokumentasi: mda
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurit Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang pesisir yang membawa agama Jahuri (agama saudagar).
Reog Ponorogo. Dokumentasi: mda
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO.
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker.
Prabhu Brawijaya memeberikan perdikan adalah daerah otonom yang dijanjikan kepada Dewi Anarawati alias Putri Champa. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta (di Surabaya sekarang) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang yang beragama Jahuri, sebutan agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah pada saat itu menurut Kitab Pustaka Wedha Sasangka yang ditulis oleh Dhenok Soeryaningsih. Di Ampeldenta rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar sebagai pusat pendidikan bagi kaum muslimin (orang yang menganut agama Islam).
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Kerajaan, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid Ali Murtadlo dan Sayyid Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar 'pasrah' memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun( Sampai sekarang makamnya masih ada). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.
Makam Fatimah Binti Maimun
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan).
Tetapi dalam suatu versi Pustaka Wedha Sasangka dikatakan bahwa tidak pernah jumlah wali itu sembilan orang. Sebenarnya, bukan wali sanga tetapi Wali Sangha, yang artinya "Kelompok Ratu Taklukan". Dalam bahasa Jawa Kuno, kata "wali" artinya ratu taklukan. Ini bukan bahasa Arab wali yang artinya teman, pemimpin, yang mengampu. Begitu juga sangha yang dimaksud bukan bahasa Sanskerta yang artinya dewan pendeta, tetapi bahasa Jawa Kuno yang artinya kelompok, atau kumpulan. Itulah sebabnya wali-wali yang selama ini dianggap sebagai penyiar agama Islam bergelar "sunan". Kita harus paham benar bahwa "sunan" adalah gelar bagi seorang raja, yang di kemudian hari dipakai oleh raja-raja Surakarta, dari Sunan Amangkurat hingga Sunan Pakubuwana. Di era Majapahit, wali adalah raja-raja taklukan yang ditempatkan di daerah pesisir.
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota kerajaan Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid Ali Rahmad dan Sayyid Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo (Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf dlo. Huruf dlo berubah menjadi lo¯. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dan lain-lain). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya. Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
"Seorang Harimau yang dikangkangi oleh merak, tidak akan mampu lagi mengaum bebas".(mda)
Baca juga: https://abad.id/newsDetail/249-polarisasi-akibat-sumpah-dewi-cempa-dalam-kosmologi-jawa
Malika D. Ana
11.02.23
Jejak Toleransi di Jaman Mataram Kuno
Abad.id - Dijaman Mataram Kuno terdapat dua wangsa yang berkuasa: Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya. Syailendra yang bercorak Buddha, dan Sanjaya yang bercorak Siwa. Meskipun sering berantem, namun keduanya berotak encer yang membuat takjub dunia sampai hari ini.
Tahu kan Candi Borobudur? Nah itu dibangun oleh wangsa Syailendra (abad 8-9M). Wangsa Sanjaya pun tak mau kalah, mereka balas membuat Candi Prambanan (abad 9M) dan Plaosan..
Plaosan, hanyalah sebuah nama yang menyatakan nama tempat dimana candi ini ditemukan, nama candi yang sebenarnya masih misterius, bagi keturunan Syailendra, maka letak ritualnya ada pada Plaosan Lor (utara), sementara bagi mereka yang ingin melakukan "puja bhakti" maka ritualnya ada pada Plaosan Kidul (selatan).
Candi Quadruplet, Plaosan Lor dan Plaosan Kidul
Candi kembar ini atau lebih tepatnya Candi Quadruplet, karena ada dua sisi kembar pada sisi Buddha dan kembar pada sisi Siwa, namun masing-masing memiliki arca yang menggambarkan Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani.
Relief candi Plaosan yang menggambarkan sosok Rakai Pikatan
Candi ini dibangun untuk merayakan keharmonisan rumah tangga, lahirnya generasi muda yang lebih kuat, maju, dan berjaya, serta menjadi simbol kesetian pada pasangan yang telah diresmikan oleh saresmi (perkawinan).
Stupa di sekitar bangunan candi, penanda penghormatan terhadap penganut Buddha
Disekeliling candi terdapat candi terdapat bangunan sebagai pengawal, atau perwara yang berjumlah lebih dari 116 dan 58 candi dan stupa. Dan semua ini adalah hadiah perkawinan dari berbagai kerajaaan, baik dari sisi Samaratungga Buddha, dan Rakai Kayu Wangi yang Siwa. Karena perkawinan Rakai Pikatan dan Dyah Pramodyawardhani merupakan perkawinan lintas agama dan kepercayaan, dan konon ditengarai sebagai tanda akan lahirnya Siwa Buddha di Jawa, atau tanda awal lahirnya Subuthi Tantra, yang artinya Keselarasan Tanpa Batas, atau Kemuliaan Tanpa Rintangan. Dalam bahasa sekarang Toleransi; hidup damai dalam keselarasan atau keharmonisan.
Bangunan candi-candi kecil di sekeliling candi Plaosan yang disebut sebagai candi pengawal, atau perwara, hadiah dari berbagai kerajaan
Sayang, satu-satunya arca Bodhistava yang nyaris utuh hanyalah Kubera, sementara arca lainnya sudah sangat rusak dan banyak hilang bagian kepalanya.
Kubera
Kubera adalah simbol kemakmuran, bahwa semakin berlimpah maka kita seharusnya semakin bisa membagi keberlimpahan itu, entah itu harta, asta atau bantuan, ilmu, dan pandangan. Hidup bergaya seorang diri tidak ada artinya sama sekali, hidup sakti untuk dibanggakan juga tak ada artinya, hidup mulia tanpa melindungi akan sia-sia, hidup berbagi dan berusaha untuk selalu selaras adalah pencerahan yang besar.
Demikianlah pandangan hidup tentang keselarasan di jaman Mataram Kuno.
Pintu masuk ruang utama candi
Pandangan harmonis dengan latar belakang konflik besar antara Syailendra - Sanjaya yang konon karena faktor politis dan perbedaan keyakinan, yang memuncak pada era Raja Rakai Pikatan.
Kisah diawali oleh Rakai Pikatan dari geng Sanjaya memikat Pramodyawardhani, gadis dari geng Syailendra. Maksudnya ingin mempersatukan dua wangsa yang bertikai. Mereka menikah untuk tujuan yang besar, yakni mempersatukan wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya, antara Siwa dan Buddha menjadi Tan Hana Dharma Mangrwa, tiada kebenaran yang mendua, tiada cinta yang berselingkuh, tiada kesetiaaan yang berubah, dan apabila itu berubah, terubah, dan diubah maka itu hanyalah Kama yang erupakan nafsu tamak, rakus, dan loba, yang tidak hanya menyengsarakan diri sendiri, tetapi juga semesta di sekitarnya.
Sehingga peristiwa perkawinan keduanya dituliskan kisahnya dalam lembaran pelat emas di Candi Plaosan :
Om Namo Vuddhaya, namo dharmmaya nammah samghaya tadyaha cuddhe vicuddhe codhani vicodhani gaganavichodani cittavicodhani pavaravichodani karmavaranavichodani vichude vichude kesine sarvaksine puspe supuspe rajoharane sarvapapa vichodani hare hare sarvarvarani daha daha sarvakarmavaranani paca sarvasstahnagatani padme padmaksi padmavica le pha pha pha pha pha pha svaha...
“Damai, inilah rumah pencerahan, rumah kebaikan, rumah penyatuan yang tak dapat diceraikan, dan engkau sejatinya murni, sempurna murni suci, pemberi kesucian, mensucikan udara yang terhirup dan terhembuskan, kesucian pada pikiran, suci dari halangan segala bentuk halangan, murni, sederhana, seperti bunga yang sekejap itu merekah sempurna, melepaskan keburukan yang kotor, dan dengan itu tiada yang dapat menghalangi mu dari keinginanmu, pengetahuan mu sempurna, menyempurnakan semua kesempurnaan, memperindah yang sudah teramat indah, pha pha pha, itulah jati dirimu…”
Lempeng pelat emas
Di lempeng pelat mas itu juga terkandung harapan kedua pengantin tentang perdamaian, persatuan dan lain-lain. Tetapi paman Pramodyawardani yang bernama Balaputradewa tidak terima dengan penyatuan keduanya, karena jika demikian nantinya yang akan menjadi raja adalah Rakai Pikatan, karena dia juga merasa berhak dan berambisi menjadi raja. Konflik pun tak terelakkan dan si paman kalah perang, lalu minggat ke Sumatera, ke rumah orang tuanya yang bangsawan Kerajaan Sriwijaya.
Sejak saat itu Balaputradewa menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya dan Sriwijaya sejak saat itu selalu bersitegang dengan Mataram. Ketegangan hubungan bertahan sampai lebih dari satu abad kemudian.
Lalu pada tahun 928M, Sriwijaya bermaksud melumat habis Mataram. Raja Mataram yang ketika itu adalah Dyah Wawa berhasil dikalahkan dan gugur di istananya. Sedangkan seorang menteri yang bernama Mpu Sindok berhasil kabur ke Jawa Timur, tetapi terus dikejar oleh pasukan Sriwijaya. Pertempuran sengit tak terelakkan, dan Sindok menang, Sriwijaya ngibrit, pulang kembali ke kampungnya.
Ini panteon yang disimpan di museum Anjuk Ladang, harusnya 90, terlengkap di dunia. Perkiraan dibuat abad 10
Kemenangan Sindok membawanya pada tahta Mataram dan istananya pindah ke Jawa Timur. Belajar dari konflik Syailendra-Sanjaya dimasa lalu, akhirnya Sindok melepas status Sanjaya-nya dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isyana. Visi utama wangsa ini adalah mempersatukan penganut keyakinan Siwa dan Buddha. Terbukti dari dibuatnya 90 panteon Buddha yang diletakkan di kompleks Candi Lor yang bercorak Siwa. Sejak saat itu konsep persatuan Siwa-Buddha tercetus dan terus berakar dalam sanubari masyarakat Nusantara. (mda)
Malika D. Ana
28.12.22
Tonggak Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Abad.id - Temuan panteon-panteon Buddha berbahan perunggu dimasa Mpu Sindok bukanlah produk made in Anjuk Ladang (Nganjuk). Tidak ada jejak keahlian kerajinan perunggu yang tampak di kalangan masyarakat Nganjuk. Masyarakat Nganjuk memang pandai mencetak bata, membuat tembikar dari tanah liat, dan membuat arca batu. Tapi arca perunggu, sepertinya tidak.
Yang membuat kita berpikir lagi adalah bukti-bukti temuan panteon Buddha ini berada di dekat kompleks Candi Lor yang merupakan Candi Siwa. Jumlahnya tidak main-main, ada 90 buah dan ini belum pernah ditemukan dimanapun panteon Buddha sebanyak dan selengkap ini.