Kisah Dewata Cengkar dan Aji Saka, Sejarah yang Dikaburkan
Abad.id - Dikisahkan dalam Serat Centhini bahwa semula yang berkuasa di pulau Jawa adalah Ratu yang berkelamin perempuan, yang sering dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Ratu Kidul ini induk budaya Nusantara. Oleh karena itu, kita menyebut leluhur kita itu sebagai nenek moyang, dan induk. Sehingga ada sebutan ibu pertiwi, ibu kota, ibu nagari, ibu jari dan lan sebagainya.
Suatu ketika dalam sejarah, terjadi pergeseran dari kekuasaan perempuan (feminin) ke laki-laki (maskulin). Pergeseran kekuasaan itu menandakan terjadinya pergeseran peradaban dari era berburu dan meramu, bergeser ke era bercocok tanam (pertanian). Di era pertanianlah laki-laki menjadi kepala dan pemimpin, yang sebelumnya laki-laki adalah pekerja. Inilah yang disimbolkan dengan peralihan dari Ratu Kidul ke Dewata Cengkar (Dewa yang Cengkar, yang melindungi dan menyejahterakan kawulanya).
Dewata Cengkar juga merupakan gelar seorang pemimpin atau ratu yang turun-temurun digunakan pasca gelar Ratu Kidul. Sesuai dengan gelar yang dipakai, yaitu 'dewata' yang artinya dewa tertinggi, ia berposisi 'cengkar' yang artinya melindungi seluruh negara beserta kawulanya (warganya). Dalam perkembangannya, kata cengkar kemudian diartikan menjaga dan menyebar kemakmuran bagi seluruh warganya.
Sang Dewata Cengkar juga sangat terbuka kepada para pendatang dan mengayomi semua kawula dan tamunya.
Tanah di Nusantara sejak awal mula keberadaannya adalah milik Sang Pencipta. Sejak manusia Homo Mojokertoensis, 1,81 juta tahun yang lalu, mereka sudah beranak pinak di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Sejak 750.000 – 900.000 tahun yang lalu, generasi baru masuk ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa, dan beranak pinak di negeri ini pula. Sebagian generasi yang lebih tua bermigrasi ke Sahul (Australia), sebagaian lagi melakukan kawin campur, dan melahirkan generasi baru lagi.
Terlepas dari kesahihan naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara, didalam naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara disebutkan bahwa sejak 1600 tahun sebelum Saka (bisa disamakan dengan 1600 SM) berdatangan rombongan orang-orang dari Yawana, Syangka, Campa dan India Selatan (Jambudwipa).
Para pendatang asing itu berdatangan karena berbagai macam sebab diantaranya ingin melepaskan diri dari penderitaan, ada yang ingin mendapat pekerjaan, ada yang menyingkir karena peperangan di negerinya, ada yang ingin mendapatkan suami atau istri di Pulau Jawa, dan ada pula yang ingin panjang umur dan mencari tanah yang subur agar dapat memberikan penghidupan yang lebih baik.
Pada 300 dan 200 tahun sebelum Saka, terjadi lagi gelombang migrasi dari negeri-negeri tersebut ke Pulau Jawa. Mereka adalah orang-orang yang banyak ilmu. Mereka juga kawin dengan penduduk asli. Selanjutnya pada tahun pertama Saka datang serombongan orang dari Singhanagari India, mereka menjual produk dan membeli produk Nusantara dari Pulau Jawa. Mereka memandang bahwa Jawa adalah surga di bumi (makadi Jawadwipa samyasana swargaloka haneng prethiwi-tala).
Bersamaan gelombang migrasi, dating juga seorang pembawa agama dari manca negara yang diterima sebagai penasehat. Ia adalah seorang Aji Saka (penasehat Saka atau Ratu). Dalam bahasa Jawa Kuno, Saka diartikan sebagai asal atau tiang. Sedang Aji dalam bahasa Jawa Kuno artinya ilmu; mantra; pelajaran; undang-undang adat; kitab suci; bisa juga berarti berharga. Jika dibaca 'haji', maka artinya ratu.
Maka di era Dewata Cengkar yang terakhir, sang ratu mengangkat penasehatnya yang berasal dari mancanegara, seorang Aji Saka, yang notabene adalah orang asing dari Jambudwipa, alias India sekarang. Hal ini disebabkan pendatang asing dari manca negara semakin banyak kala itu. Fakta sejarah ini bisa dicek di buku Radya-radya i Bhumi Nusantara yang masih dalam Carakan Jawa Kuno yang disimpan di museum Sundanologi.
Dalam perkembangannya, Aji Saka (pendatang) kemudian berhasil menggulingkan kekuasaan Dewata Cengkar. Kemudian di zaman VOC (Belanda), dirusaklah kisah asli ini dengan mengaburkan sejarah. Bahwa Dewata Cengkar (pribumi) dinarasikan sebagai seorang raja kanibal yang suka memakan daging manusia sehingga ditakuti rakyatnya, dan seterusnya.
Kisah Aji Saka ini pula yang mengawali pemaknaan hurup caraka Jawa Kuno HA NA CA RA KA yang maknanya dibuat baru sesuai citarasa penjajah waktu itu, dengan terjemahan akhirnya (versi Belanda) adalah "ada utusan, sama-sama bertengkar, sama-sama sakti, dan sama-sama menjadi bangkai." (ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-da-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga).
HA NA CA RA KA berisikan "Aksara Urip", maka alat untuk mencapai kemuliaan, keluhuran adalah "hidup itu sendiri", apa dan bagaimana hidup yang "urip" disebut sebagai hanacaraka datasawala padajayanya magabathanga, menjalani kehidupan ini selaras dengan kosmik dimana manusia hanyalah alat dari Yang Maha Kuasa dan menjalankan hidup sebagaimana wayang dengan peran yang dikehendaki dari dalang alam semesta ini. Ini yang disebut sebagai “hidup yang urip", bisa menyatu atau selaras dengan alam semesta
Anehnya para pendidik kita tidak melihat penerjemahan kata data, padha, dan maga yang diartikan "sama-sama".
Padahal jika diartikan sesuai kata aslinya adalah :
1. Ada utusan - (hanacaraka)
2. Tidak sawala (berlawanan, bertentangan) - (datasawala).
3. Di tempat yang luhur (agung, jaya) – (padhajayanya).
4. Menempuh jalan (maga) untuk menolong (bathang) – (magabathanga).
Jadi, arti asalnya merupakan Sangkan Paran Ing Dumadi. Sangkan Paran Ing Dumadi, arti mudahnya adalah konsepsi tentang penciptaan manusia, darimana berasal dan akan menuju kemana (akan kembali/pulang kemana). Ini konsepsi spiritual Jawa.
Kemudian bisa dimaknai dengan benar sesuai kaidah bahasanya; "Utusan mengada untuk mengajarkan hal-hal yang nondualitas (data sawala), tidak mangro tingal agar bisa hidup di tempat yang unggul, luhur, mulia, dengan melewati jalan (maga) mati sajroning urip, urip sajroning pati (mbathang). Maksudnya hidup sakmadya, tidak terlalu ambisius, nggragas dalam mengejar-ngejar dunia, biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan. Menerima takdir yang berlaku, susah senang ada masanya, sedih dan gembira punya waktunya sendiri, sama halnya dengan gelap dan terang.
Proses untuk terus menerus mematikan nafsu inilah yang disebut “mati” sakjroning urip dalam falsafah diatas. Kematian keinginan (hawa nafsu) yang berlebihan, sehingga ketika nyawa hendak meninggalkan tubuh sudah ikhlas tidak terhalangi apapun yang membuat berat hati, apalagi terhalangi kencintaan berlebihan pada dunia, sehingga bisa mencapai puncak tertinggi hidup di tempat ungul, luhur, dan mulia (moksa).
Namun Carakan juga bisa dipahami dengan membacanya sebagai sangkalan. Misalnya, sirna ilang kertaning bhumi. Membacanya adalah bhumi kerta ilang sirna (tahun 1400). Jika Carakan dibaca sangkalan, maka artinya:
1. Manusia harus melewati jalan mati dalam hidupnya (maga bathanga).
2. Ia akan sampai pada tempat yang luhur (padha jayanya).
3. Jadilah ia manusia yang berwatak non-dualitas, tidak mangro tingal, tidak mangrwa - tan hana dharma mangrwa (data sawala).
4. Ia hadir sebagai Utusan Tuhan YME di bumi ini (ana caraka), bahasa agamanya adalah khalifatullah fil ardhi
Beda lagi dalam kamus Sansekerta - Indonesia (Drs. Purwadi) mengartikan Aji sebagai raja, ilmu, dan nilai. Dengan demikian sebutan Aji menunjukkan adanya nilai superlatif (diperbandingkan) atau melebihi kelaziman. Contonya, Jayabaya sering disebut sebagai Sri Aji Jayabaya dibandingkan dari raja-raja lain dari Kediri. Artinya, Jayabaya sebagai raja dipandang mempunyai nilai lebih dibandingkan raja-raja (Kediri) lainnya.
Sementara, Saka (dalam Bahasa Sansekerta) diartikan sebagai dari (asal/awal) dan tiang/saka guru. Dengan demikian, Aji Saka adalah sebuah awal yang sangat bernilai. Jika peradaban Jawa dimulai dari legenda Aji Saka, itu berarti peradaban Jawa didasari oleh nilai-nilai yang sangat berharga mengenai tiang, asas, pokok, pondasi dan asalnya. Apa itu pokok, tiang, pondasi dan asal?
Maka, aksara Jawa Caraka dibagi menjadi empat kelompok.
Manusia Jawa diingatkan bahwa memulai peradaban harus diawali dengan kesadaran akan asal sebagai utusan (khalifah) di bumi (Hanacaraka).
Kemudian hendaknya menjaga kerukunan, menghindari pertengkaran seperti legenda yang dikisahkan (Datasawala).
Maka, kejayaaan akan dicapai secara bersama-sama. Kejayaan hanya dapat diraih dengan persatuan, jumbuh lahir batin, jumbuh pemimpin dan yang dipimpin, begitu seterusnya (Padhajayanya).
Prinsip keempat yang harus diingat adalah bahwa kelak, bagaimanapun dan pasti semuanya akan mati, berakhir (magabathanga). Setinggi apapun kejayaan yang diraih, akan ada saat berakhirnya. Demikian empat pilar peradaban yang diajarkan Kamus Sansekerta - Indonesia.
Jadi jika disimpulkan menurut pemahaman Kamus Sansekerta – Indonesia itu Hanacaraka Datasawala Padajanya Magabatanga, adalah "Aji Saka", aji adalah alat/instrumen, saka adalah panduan, adjie saka adalah guidance instrument untuk mengalahkan Dewata Cengkar yang berarti orang-orang yang dimuliakan oleh angkara, bukan oleh dharma.
Demikianlah, tafsir beberapa perspektif sejarah yang mungkin debatable, di forum akademik silakan didiskusikan.(mda)
Penulis : Malika D. Ana