Pemilu di Hari Sarik Agung Dalam Astrologi Jawa
Abad.id - Orang Jawa menyadari betapa hidup sangat bergantung pada alam. Dalam pandangan kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi tempat tinggal manusia dan alam dibalik realitas empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris dipengaruhi oleh alam metaempiris (Frans Magnis Suseno: 2001).
Demikianlah mengapa manusia dan alam memiliki relasi intim. Perubahan iklim ekstrim juga diyakini sebagai efek domino dari perilaku masyarakat modern yang abai pada keseimbangan mikrokosmis. Pencemaran udara (polusi), perusakan lingkungan ekologis hutan, laut, sungai, penambangan liar, dan sejumlah perilaku rendahnya kepedulian terhadap alam mengakibatkan keseimbangan bumi terganggu dan tak terjaga secara baik.
Dalam bahasa Yunani, cosmos berarti keteraturan, keserasian atau keharmonisan, lawan kata dari chaos yang berarti keadaan kacau balau (Hamersma, 1981). Kata kosmos ini digunakan untuk menyebut segala kejadian di alam semesta atau jagad raya yang penuh dengan keteraturan dan keharmonisan (Cox, 1978).
Dalam pengertian luas disebut makrokosmos yang berarti suatu susunan keseluruhan atau kompleks yang dipandang dalam totalitasnya atau sebagai suatu keseluruhan yang aktif serta terstruktur. Arti lain dari makrokosmos adalah alam semesta sebagai sebuah keseluruhan atau sistem yang terpadu dan tunggal. Lawan dari makrokosmos adalah mikrokosmos yaitu bagian kecil dari satu keseluruhan (Asy'ari cit Haryati, 2017).
Segala perilaku manusia baik ataupun buruk akan berimbas juga pada jagad besar (makrokosmos). Jika mengelola alam secara baik, alam juga akan membalasnya dengan hal baik, namun sebaliknya, jika perilaku manusia merusak, alam juga akan terkena vibrasi buruk. Sehingga untuk kembali pada keselarasan, alam semesta akan cenderung bergerak menyesuaikan, gerakan alam tersebut seringkali mewujud sebagai apa yang disebut bencana alam.
Demi tujuan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, sesuai tradisi dan kebiasaan, orang Jawa selain sering menggunakan simbol dan sanepan juga melakukan perhitungan berdasarkan ilmu “titen”. Ilmu “titen” dalam pemahaman keseharian orang Jawa, hukum ini disebut kecenderungan akan similiaritas, kesaman-persamaan meta kognitif, dan kepercayaan bahwa benda-benda yang bentuknya “mirip”, letaknya “berdekatan”, polanya “senada”, kehadirannya “bersamaan” adalah bentuk dari resonansi simpati, atau mudahnya ada keterhubungan yang di hubung-hubungkan oleh pikiran kreatif kita, bahwa segala sesuatunya menjadi “pertanda” dan “penanda”. Ilmu titen (ingat, eling) segala sesuatu dititeni. Itu yang lalu dikenal sebagai ilmu astrologi Jawa yang bukunya disebut Primbon. Primbon adalah buku yang memuat perhitungan; prediksi; pemberitahuan tentang sifat yang dimiliki seseorang berdasarkan tanda-tanda pada dirinya (tahi lalat, keduten/getaran urat); informasi tentang kejadian yang akan datang; dan lain-lainnya, berdasarkan ilmu titen dan perhitungan pujangga Jawa tempo dulu.
Bangsa Cina pun masih mendasarkan semua perilaku dan tindakannya berdasarkan Fengshui dan Shio sampai kini. Dulu gerakan Mao Tse Tung yang untuk long march dan melakukan perlawanan terhadap Pemerintahan Chiang Kai Sek mendasarkan gerakan juga pada fengshui. Mao Tse Tung akhirnya menang dan menguasai Cina dengan RRT-nya. Tetapi disini sinisme sering menyebut sebagai othak-athik gathuk, klenik, takhayul, musrik dan seterusnya, padahal perhitungan Jawa atau pawukon itu adalah bagian dari kearifan lokal.
Dalam setiap aspek kehidupan, orang Jawa selalu melihat segala sesuatu yang terjadi dengan perhitungan penanggalan (pawukon). Mau mengadakan hajatan pernikahan misalnya, pake hitung-hitungan weton, membangun rumah, atau dalam skala lebih luas kerajaan yang akan membangun candi, akan menanam padi pun demikian selain tentu saja melihat mangsa (dibaca: mongso) alias musim. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai takhayul karena ini adalah kearifan lokal. Ini baru skala kecil keluarga, dan masyarakat desa. Jika menyangkut negara, tentunya lebih jeli lagi perhitungannya. Apalagi soal hajatan nasional pemilu langsung. Hari dimana seluruh rakyat Indonesia memilih pemimpin beserta para wakilnya di parlemen tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
Namun yang terjadi di panggung politik nasional justru mengherankan. Entah kesengajaan oleh penanggap pagelaran alias kemauan yang punya hajat (pemilik modal alias oligarki) atau memang kebetulan, tapi sejumlah data temuan sangat mengejutkan.
Jika kita flash back, dimulai dari pemilu tahun 2014 saat peristiwa penggenapan sumpah Dewi Cempa tentang munculnya dua sumber air yang ditafsirkan sebagai dua (poros) kekuatan yang sama-sama lahir dihari dan pasaran sama, pemilu presiden dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Juli 2014. Hari yang oleh orang Jawa disebut Sarik Agung. Hari yang harusnya tidak boleh digunakan untuk hajatan, dan jika digunakan, maka akan timbul konflik yang sulit berakhir kecuali ada upaya dari pihak-pihak yang berkonflik untuk mengakhirinya. Realitasnya memang demikian, memang timbul konflik berkepanjangan yang masih berlangsung hingga hari ini.
Disusul kemudian pilkada DKI yang berlangsung di hari Rabu, 26 Oktober 2016. Hari itu adalah Rabu Wage, Wuku Marakeh. Ini adalah juga hari Sarik Agung. Hari yang sama dengan pilpres 9 Juli 2014..
Sebelum pilpres hingga selesai pilpres terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan. Terbukti paska pemilu 2014 terjadi konflik perebutan siapa yang menang, dengan siding gugatan pemenang pilpres ke Mahkamah Konstitusi, berlanjut dengan terpecahnya DPRRI menjadi 2, dan beberapa partai menjadi 2 kubu; pendukung pemerintah dan oposisi.
Sarik Agung selalu bertepatan dengan Rabu Legi Wuku Kurantil (W-4), Rabu Kliwon Wuku Galungan (W-11), Rabu Wage Wuku Marakeh (W-18) dan Rabu Pon Wuku Bala (W-26). Hari Sarik Agung adalah hari naas yang sangat berbahaya dan tidak bisa disyarati atau tidak ada antidotnya. Hari Sarik Agung ini tidak boleh digunakan untuk hajatan, pesta, atau untuk hal-hal yang bersifat duniawi.
Yang mengherankan lagi bahwa Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 kemudian justru diselenggarakan pada hari Sarik Agung. Pilkada tersebut bertepatan dengan hari Rabu Legi Wuku Kurantil. Tahun JE 1950 Jawa – Islam, Windu Sangara. Dalam perhitungan pawukon, 15 Februari 2017 adalah Hari Sarik Agung dan termasuk dalam ranah Kala Tinantang. Kala artinya nafsu amarah pada hari itu besar sekali. Tinantang artinya ditantang atau dilawan untuk gelut, tukaran alias berantem dan bertarung. Jadi, jika dihari Kala Tinantang ini kita lakukan pekerjaan yang bersifat untuk memenuhi hawa nafsu, seperti mau memilih pemimpin, apalagi didalam kampanyenya banyak provokasi dengan melakukan kebohongan publik, trick deception hingga pembodohan publik; maka yang bakalan terjadi adalah keangkaramurkaan. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika hajatan yang membangkitkan hawa nafsu dilakukan pada hari Sarik Agung yang Kala Tinantang?
Siapa sesungguhnya yang merancang hari pelaksanaan pilkada tersebut? Mengapa ditempatkan pada hari Sarik Agung pada saat pilpres dan pilkada 2017? Seperti ada aroma konspirasi jahat tingkat dewa.
Situasi Kala Tinantang bisa berguna disaat negara sedang dalam keadaan berperang dengan negara lain, atau sedang mengusir penjajah, bolehlah inisiatif untuk maju perang dan mengusir penjajah itu sebaiknya dilakukan pada Hari Kala Tinantang. Namun, agaknya sang penjajah lebih mengerti pawukon daripada orang Jawa sendiri, maka penjajah berusaha menghilangkan perhitungan pawukon, dan itu dilakukan hingga hari ini dengan cara menganggap perhitungan pawukon itu primitif dan itu perhitungan klenik, musyrik. Itu kenapa bangsa ini mudah diadu-domba, karena merasa tidak percaya diri, tidak mengerti dan paham pawukonnya sendiri, juga tidak menggunakannya dalam berkehidupan sehari-hari. Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Juri Lyna, bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa: 1. Hancurkan sejarahnya, 2. Kelirukan sejarahnya, dan 3. Rendahkan martabat leluhurnya
Bau konflik yang telah muncul sejak pemilu dan pilkada sebelumnya kemudian memicu peristiwa 411, 212, 112 dan 313 dan entah peristiwa apalagi dan menjadi peristiwa "Tabuh Rah"; yakni pertumpahan darah, tumbal bagi bumi Nusantara. Lanjut Pilkada putaran kedua kemudian mengulang kesalahan yang sama; diadakan di hari Sarik Agung, Rabu Wage. Dan ini sudah pasti kesengajaan. Apasih yang tidak by design di negeri ini...
Pada periode 2019 pun kesalahan pemilihan tanggal, hari dan pasaran itu diulang kembali. Pemilu serentak diadakan di tanggal 17 April yang jatuh di hari Rabu Pahing, dan 22 Mei 2019 adalah tanggal yang digunakan untuk mengumumkan pemenang capres, hari itu adalah pasaran hari Rabu Pahing.
Dalam penanggalan Jawa, hari Rabu Pahing itu disebut hari Sunya (Suwung) dan sekaligus Tali Wangké. Korban telah banyak berjatuhan dari pesta demokrasi tersebut. Diantaranya banyaknya korban adalah petugas KPPS yang meninggal sekitar 554 orang. Lepas dari apa penyebab kematian mereka --- yang terus diberitakan oleh media pemerintah adalah mereka meninggal karena kelelahan. Lepas dari apapun penyebabnya, korban pemilu sudah berjatuhan, dan itu dalam alam pikiran orang Jawa dianggap sebagai tumbal. Hajat yang besar biasanya memerlukan tumbal korban jiwa atau nyawa, semakin besar hajat dan keinginan, akan semain besar yang harus ditumbalkan.
Sebenarnya pemakaian hari Sunya untuk hajatan sangat bisa dilakukan, asalkan hajatan itu bukan untuk tujuan kecurangan maupun kejahatan. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Hari itu seperti direncanakan untuk dijadikan tontonan pembodohan segenap bangsa Indonesia dengan biaya fantastis, 24 Trilyun. Maka bêbêndu (hukuman) lah yang niscaya akan terjadi, dengan tumbal anyir darah kematian banyak korban.
Kini pemilu 2024 didepan mata. Para gladiator politik pun sudah giat melakukan kegiatan berbumbu kampanye. Dan yang membuat schock adalah, penyelenggara sudah berencana mengulang kesalahan yang sama. KPU dan DPR (komisi 2) menetapkan Pilpres dan Pileg pada 28 Feb 2024. Kalau berdasarkan hitungan Jawa, dilihat dari sisi kamarokamnya, pemilihan yang baik itu pada 1 Mei 2024, yang bertepatan dengan Rabu Pon, 21 Sawal 1957 Jimawal. Itu hari Menga dan Jaya. Maksudnya 1 Mei 2024 itu untuk pileg dan pilpres juga.
Kenapa bangsa ini suka sekali masuk dalam pusaran konflik yang tak pernah selesai? Selalu mengulang-ulang kecelakaan sejarah yang sama, tidak pernah belajar dari kejatuhan, tidak mau belajar bangkit dari keterpurukan...??
Maju atau mundur seminggu dari 28 Feb 2024 itu jatuhnya hari yang buruk yang sengaja ditetapkan oleh Sang Dalang agar jagoannya menang dengan akibat rakyat menderita. Terlebih dibarengi dengan pilkada serentak. Mohon dicatat juga pada tanggal itu adalah Hari Raya Galungan, hari raya keagamaan untuk umat Hindu seluruh Nusantara. Masyarakat Bali dipastikan 89,7 persen golput.
Jika Pilkada serentak memilih 27 Nov 2024, Rabu Pon juga Hari Buruk untuk pil-pilan. 27 Nov 2024 itu Hari Sangar Tahun. Jadi, Sang Dalang sengaja memilih hari yang buruk semenjak 2014. Karena dari 2013 - 2021 itu Windu Sangara. Setelah itu baru Windu Sancaya, seharusnya dipergunakan untuk membangun kerukunan hidup antar masyarakat. Tetapi, ibarat jika musim hujan tak dimanfaatkan untuk menanam yang baik, ya akibatnya buruk seperti sekarang ini; memanen dari apa yang sudah ditanam dan diskenariokan, yakni KONFLIK sepanjang 2 periode, dan mungkin hingga 3, 4 periode selanjutnya. Wallahu a'lam....
Kalau saja pilihannya dihari Rabu Pon 1 Mei 2024, misalnya --- itu adalah Hari Beteng, artinya hari makmur, dan baik untuk melakukan rekonsiliasi. Sila cek kalender Bali. Jika hastawara, sangawara, dan dasawara dihitung juga, hasilnya adalah Kala (berharga), Tulus (langsung, sifat air), dan Sri (feminin).
Artinya, jika memilih pemimpin pada hari itu, maka yang akan terpilih adalah manusia yang bisa melakukan rekonsiliasi terhadap rakyatnya, memakmurkan warganya, dan bersifat ratu keibuan, maksudnya memiliki sifat welas asih yang tinggi (keibuan/feminin).Dan semua calon yang curang pasti tumbang. Nah, beranikah sang dalang memilih hari itu?
Para tokoh negeri ini harusnya kembali pada kearifan lokal agar tidak terjadi mismanajemen. Semoga bangsa ini selamat, mulia, jaya, sampurna.(mda)
*dari berbagai sumber