Jejak Toleransi di Jaman Mataram Kuno
Abad.id - Dijaman Mataram Kuno terdapat dua wangsa yang berkuasa: Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya. Syailendra yang bercorak Buddha, dan Sanjaya yang bercorak Siwa. Meskipun sering berantem, namun keduanya berotak encer yang membuat takjub dunia sampai hari ini.
Tahu kan Candi Borobudur? Nah itu dibangun oleh wangsa Syailendra (abad 8-9M). Wangsa Sanjaya pun tak mau kalah, mereka balas membuat Candi Prambanan (abad 9M) dan Plaosan..
Plaosan, hanyalah sebuah nama yang menyatakan nama tempat dimana candi ini ditemukan, nama candi yang sebenarnya masih misterius, bagi keturunan Syailendra, maka letak ritualnya ada pada Plaosan Lor (utara), sementara bagi mereka yang ingin melakukan "puja bhakti" maka ritualnya ada pada Plaosan Kidul (selatan).
Candi Quadruplet, Plaosan Lor dan Plaosan Kidul
Candi kembar ini atau lebih tepatnya Candi Quadruplet, karena ada dua sisi kembar pada sisi Buddha dan kembar pada sisi Siwa, namun masing-masing memiliki arca yang menggambarkan Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani.
Relief candi Plaosan yang menggambarkan sosok Rakai Pikatan
Candi ini dibangun untuk merayakan keharmonisan rumah tangga, lahirnya generasi muda yang lebih kuat, maju, dan berjaya, serta menjadi simbol kesetian pada pasangan yang telah diresmikan oleh saresmi (perkawinan).
Stupa di sekitar bangunan candi, penanda penghormatan terhadap penganut Buddha
Disekeliling candi terdapat candi terdapat bangunan sebagai pengawal, atau perwara yang berjumlah lebih dari 116 dan 58 candi dan stupa. Dan semua ini adalah hadiah perkawinan dari berbagai kerajaaan, baik dari sisi Samaratungga Buddha, dan Rakai Kayu Wangi yang Siwa. Karena perkawinan Rakai Pikatan dan Dyah Pramodyawardhani merupakan perkawinan lintas agama dan kepercayaan, dan konon ditengarai sebagai tanda akan lahirnya Siwa Buddha di Jawa, atau tanda awal lahirnya Subuthi Tantra, yang artinya Keselarasan Tanpa Batas, atau Kemuliaan Tanpa Rintangan. Dalam bahasa sekarang Toleransi; hidup damai dalam keselarasan atau keharmonisan.
Bangunan candi-candi kecil di sekeliling candi Plaosan yang disebut sebagai candi pengawal, atau perwara, hadiah dari berbagai kerajaan
Sayang, satu-satunya arca Bodhistava yang nyaris utuh hanyalah Kubera, sementara arca lainnya sudah sangat rusak dan banyak hilang bagian kepalanya.
Kubera
Kubera adalah simbol kemakmuran, bahwa semakin berlimpah maka kita seharusnya semakin bisa membagi keberlimpahan itu, entah itu harta, asta atau bantuan, ilmu, dan pandangan. Hidup bergaya seorang diri tidak ada artinya sama sekali, hidup sakti untuk dibanggakan juga tak ada artinya, hidup mulia tanpa melindungi akan sia-sia, hidup berbagi dan berusaha untuk selalu selaras adalah pencerahan yang besar.
Demikianlah pandangan hidup tentang keselarasan di jaman Mataram Kuno.
Pintu masuk ruang utama candi
Pandangan harmonis dengan latar belakang konflik besar antara Syailendra - Sanjaya yang konon karena faktor politis dan perbedaan keyakinan, yang memuncak pada era Raja Rakai Pikatan.
Kisah diawali oleh Rakai Pikatan dari geng Sanjaya memikat Pramodyawardhani, gadis dari geng Syailendra. Maksudnya ingin mempersatukan dua wangsa yang bertikai. Mereka menikah untuk tujuan yang besar, yakni mempersatukan wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya, antara Siwa dan Buddha menjadi Tan Hana Dharma Mangrwa, tiada kebenaran yang mendua, tiada cinta yang berselingkuh, tiada kesetiaaan yang berubah, dan apabila itu berubah, terubah, dan diubah maka itu hanyalah Kama yang erupakan nafsu tamak, rakus, dan loba, yang tidak hanya menyengsarakan diri sendiri, tetapi juga semesta di sekitarnya.
Sehingga peristiwa perkawinan keduanya dituliskan kisahnya dalam lembaran pelat emas di Candi Plaosan :
Om Namo Vuddhaya, namo dharmmaya nammah samghaya tadyaha cuddhe vicuddhe codhani vicodhani gaganavichodani cittavicodhani pavaravichodani karmavaranavichodani vichude vichude kesine sarvaksine puspe supuspe rajoharane sarvapapa vichodani hare hare sarvarvarani daha daha sarvakarmavaranani paca sarvasstahnagatani padme padmaksi padmavica le pha pha pha pha pha pha svaha...
“Damai, inilah rumah pencerahan, rumah kebaikan, rumah penyatuan yang tak dapat diceraikan, dan engkau sejatinya murni, sempurna murni suci, pemberi kesucian, mensucikan udara yang terhirup dan terhembuskan, kesucian pada pikiran, suci dari halangan segala bentuk halangan, murni, sederhana, seperti bunga yang sekejap itu merekah sempurna, melepaskan keburukan yang kotor, dan dengan itu tiada yang dapat menghalangi mu dari keinginanmu, pengetahuan mu sempurna, menyempurnakan semua kesempurnaan, memperindah yang sudah teramat indah, pha pha pha, itulah jati dirimu…”
Lempeng pelat emas
Di lempeng pelat mas itu juga terkandung harapan kedua pengantin tentang perdamaian, persatuan dan lain-lain. Tetapi paman Pramodyawardani yang bernama Balaputradewa tidak terima dengan penyatuan keduanya, karena jika demikian nantinya yang akan menjadi raja adalah Rakai Pikatan, karena dia juga merasa berhak dan berambisi menjadi raja. Konflik pun tak terelakkan dan si paman kalah perang, lalu minggat ke Sumatera, ke rumah orang tuanya yang bangsawan Kerajaan Sriwijaya.
Sejak saat itu Balaputradewa menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya dan Sriwijaya sejak saat itu selalu bersitegang dengan Mataram. Ketegangan hubungan bertahan sampai lebih dari satu abad kemudian.
Lalu pada tahun 928M, Sriwijaya bermaksud melumat habis Mataram. Raja Mataram yang ketika itu adalah Dyah Wawa berhasil dikalahkan dan gugur di istananya. Sedangkan seorang menteri yang bernama Mpu Sindok berhasil kabur ke Jawa Timur, tetapi terus dikejar oleh pasukan Sriwijaya. Pertempuran sengit tak terelakkan, dan Sindok menang, Sriwijaya ngibrit, pulang kembali ke kampungnya.
Ini panteon yang disimpan di museum Anjuk Ladang, harusnya 90, terlengkap di dunia. Perkiraan dibuat abad 10
Kemenangan Sindok membawanya pada tahta Mataram dan istananya pindah ke Jawa Timur. Belajar dari konflik Syailendra-Sanjaya dimasa lalu, akhirnya Sindok melepas status Sanjaya-nya dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isyana. Visi utama wangsa ini adalah mempersatukan penganut keyakinan Siwa dan Buddha. Terbukti dari dibuatnya 90 panteon Buddha yang diletakkan di kompleks Candi Lor yang bercorak Siwa. Sejak saat itu konsep persatuan Siwa-Buddha tercetus dan terus berakar dalam sanubari masyarakat Nusantara. (mda)