Epilog Budaya
Pemilu di Hari Sarik Agung Dalam Astrologi Jawa
Abad.id - Orang Jawa menyadari betapa hidup sangat bergantung pada alam. Dalam pandangan kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi tempat tinggal manusia dan alam dibalik realitas empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris dipengaruhi oleh alam metaempiris (Frans Magnis Suseno: 2001).
Demikianlah mengapa manusia dan alam memiliki relasi intim. Perubahan iklim ekstrim juga diyakini sebagai efek domino dari perilaku masyarakat modern yang abai pada keseimbangan mikrokosmis. Pencemaran udara (polusi), perusakan lingkungan ekologis hutan, laut, sungai, penambangan liar, dan sejumlah perilaku rendahnya kepedulian terhadap alam mengakibatkan keseimbangan bumi terganggu dan tak terjaga secara baik.
Dalam bahasa Yunani, cosmos berarti keteraturan, keserasian atau keharmonisan, lawan kata dari chaos yang berarti keadaan kacau balau (Hamersma, 1981). Kata kosmos ini digunakan untuk menyebut segala kejadian di alam semesta atau jagad raya yang penuh dengan keteraturan dan keharmonisan (Cox, 1978).
Dalam pengertian luas disebut makrokosmos yang berarti suatu susunan keseluruhan atau kompleks yang dipandang dalam totalitasnya atau sebagai suatu keseluruhan yang aktif serta terstruktur. Arti lain dari makrokosmos adalah alam semesta sebagai sebuah keseluruhan atau sistem yang terpadu dan tunggal. Lawan dari makrokosmos adalah mikrokosmos yaitu bagian kecil dari satu keseluruhan (Asy'ari cit Haryati, 2017).
Segala perilaku manusia baik ataupun buruk akan berimbas juga pada jagad besar (makrokosmos). Jika mengelola alam secara baik, alam juga akan membalasnya dengan hal baik, namun sebaliknya, jika perilaku manusia merusak, alam juga akan terkena vibrasi buruk. Sehingga untuk kembali pada keselarasan, alam semesta akan cenderung bergerak menyesuaikan, gerakan alam tersebut seringkali mewujud sebagai apa yang disebut bencana alam.
Demi tujuan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, sesuai tradisi dan kebiasaan, orang Jawa selain sering menggunakan simbol dan sanepan juga melakukan perhitungan berdasarkan ilmu “titen”. Ilmu “titen” dalam pemahaman keseharian orang Jawa, hukum ini disebut kecenderungan akan similiaritas, kesaman-persamaan meta kognitif, dan kepercayaan bahwa benda-benda yang bentuknya “mirip”, letaknya “berdekatan”, polanya “senada”, kehadirannya “bersamaan” adalah bentuk dari resonansi simpati, atau mudahnya ada keterhubungan yang di hubung-hubungkan oleh pikiran kreatif kita, bahwa segala sesuatunya menjadi “pertanda” dan “penanda”. Ilmu titen (ingat, eling) segala sesuatu dititeni. Itu yang lalu dikenal sebagai ilmu astrologi Jawa yang bukunya disebut Primbon. Primbon adalah buku yang memuat perhitungan; prediksi; pemberitahuan tentang sifat yang dimiliki seseorang berdasarkan tanda-tanda pada dirinya (tahi lalat, keduten/getaran urat); informasi tentang kejadian yang akan datang; dan lain-lainnya, berdasarkan ilmu titen dan perhitungan pujangga Jawa tempo dulu.
Bangsa Cina pun masih mendasarkan semua perilaku dan tindakannya berdasarkan Fengshui dan Shio sampai kini. Dulu gerakan Mao Tse Tung yang untuk long march dan melakukan perlawanan terhadap Pemerintahan Chiang Kai Sek mendasarkan gerakan juga pada fengshui. Mao Tse Tung akhirnya menang dan menguasai Cina dengan RRT-nya. Tetapi disini sinisme sering menyebut sebagai othak-athik gathuk, klenik, takhayul, musrik dan seterusnya, padahal perhitungan Jawa atau pawukon itu adalah bagian dari kearifan lokal.
Dalam setiap aspek kehidupan, orang Jawa selalu melihat segala sesuatu yang terjadi dengan perhitungan penanggalan (pawukon). Mau mengadakan hajatan pernikahan misalnya, pake hitung-hitungan weton, membangun rumah, atau dalam skala lebih luas kerajaan yang akan membangun candi, akan menanam padi pun demikian selain tentu saja melihat mangsa (dibaca: mongso) alias musim. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai takhayul karena ini adalah kearifan lokal. Ini baru skala kecil keluarga, dan masyarakat desa. Jika menyangkut negara, tentunya lebih jeli lagi perhitungannya. Apalagi soal hajatan nasional pemilu langsung. Hari dimana seluruh rakyat Indonesia memilih pemimpin beserta para wakilnya di parlemen tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
Namun yang terjadi di panggung politik nasional justru mengherankan. Entah kesengajaan oleh penanggap pagelaran alias kemauan yang punya hajat (pemilik modal alias oligarki) atau memang kebetulan, tapi sejumlah data temuan sangat mengejutkan.
Jika kita flash back, dimulai dari pemilu tahun 2014 saat peristiwa penggenapan sumpah Dewi Cempa tentang munculnya dua sumber air yang ditafsirkan sebagai dua (poros) kekuatan yang sama-sama lahir dihari dan pasaran sama, pemilu presiden dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Juli 2014. Hari yang oleh orang Jawa disebut Sarik Agung. Hari yang harusnya tidak boleh digunakan untuk hajatan, dan jika digunakan, maka akan timbul konflik yang sulit berakhir kecuali ada upaya dari pihak-pihak yang berkonflik untuk mengakhirinya. Realitasnya memang demikian, memang timbul konflik berkepanjangan yang masih berlangsung hingga hari ini.
Disusul kemudian pilkada DKI yang berlangsung di hari Rabu, 26 Oktober 2016. Hari itu adalah Rabu Wage, Wuku Marakeh. Ini adalah juga hari Sarik Agung. Hari yang sama dengan pilpres 9 Juli 2014..
Sebelum pilpres hingga selesai pilpres terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan. Terbukti paska pemilu 2014 terjadi konflik perebutan siapa yang menang, dengan siding gugatan pemenang pilpres ke Mahkamah Konstitusi, berlanjut dengan terpecahnya DPRRI menjadi 2, dan beberapa partai menjadi 2 kubu; pendukung pemerintah dan oposisi.
Sarik Agung selalu bertepatan dengan Rabu Legi Wuku Kurantil (W-4), Rabu Kliwon Wuku Galungan (W-11), Rabu Wage Wuku Marakeh (W-18) dan Rabu Pon Wuku Bala (W-26). Hari Sarik Agung adalah hari naas yang sangat berbahaya dan tidak bisa disyarati atau tidak ada antidotnya. Hari Sarik Agung ini tidak boleh digunakan untuk hajatan, pesta, atau untuk hal-hal yang bersifat duniawi.
Yang mengherankan lagi bahwa Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 kemudian justru diselenggarakan pada hari Sarik Agung. Pilkada tersebut bertepatan dengan hari Rabu Legi Wuku Kurantil. Tahun JE 1950 Jawa – Islam, Windu Sangara. Dalam perhitungan pawukon, 15 Februari 2017 adalah Hari Sarik Agung dan termasuk dalam ranah Kala Tinantang. Kala artinya nafsu amarah pada hari itu besar sekali. Tinantang artinya ditantang atau dilawan untuk gelut, tukaran alias berantem dan bertarung. Jadi, jika dihari Kala Tinantang ini kita lakukan pekerjaan yang bersifat untuk memenuhi hawa nafsu, seperti mau memilih pemimpin, apalagi didalam kampanyenya banyak provokasi dengan melakukan kebohongan publik, trick deception hingga pembodohan publik; maka yang bakalan terjadi adalah keangkaramurkaan. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika hajatan yang membangkitkan hawa nafsu dilakukan pada hari Sarik Agung yang Kala Tinantang?
Siapa sesungguhnya yang merancang hari pelaksanaan pilkada tersebut? Mengapa ditempatkan pada hari Sarik Agung pada saat pilpres dan pilkada 2017? Seperti ada aroma konspirasi jahat tingkat dewa.
Situasi Kala Tinantang bisa berguna disaat negara sedang dalam keadaan berperang dengan negara lain, atau sedang mengusir penjajah, bolehlah inisiatif untuk maju perang dan mengusir penjajah itu sebaiknya dilakukan pada Hari Kala Tinantang. Namun, agaknya sang penjajah lebih mengerti pawukon daripada orang Jawa sendiri, maka penjajah berusaha menghilangkan perhitungan pawukon, dan itu dilakukan hingga hari ini dengan cara menganggap perhitungan pawukon itu primitif dan itu perhitungan klenik, musyrik. Itu kenapa bangsa ini mudah diadu-domba, karena merasa tidak percaya diri, tidak mengerti dan paham pawukonnya sendiri, juga tidak menggunakannya dalam berkehidupan sehari-hari. Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Juri Lyna, bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa: 1. Hancurkan sejarahnya, 2. Kelirukan sejarahnya, dan 3. Rendahkan martabat leluhurnya
Bau konflik yang telah muncul sejak pemilu dan pilkada sebelumnya kemudian memicu peristiwa 411, 212, 112 dan 313 dan entah peristiwa apalagi dan menjadi peristiwa "Tabuh Rah"; yakni pertumpahan darah, tumbal bagi bumi Nusantara. Lanjut Pilkada putaran kedua kemudian mengulang kesalahan yang sama; diadakan di hari Sarik Agung, Rabu Wage. Dan ini sudah pasti kesengajaan. Apasih yang tidak by design di negeri ini...
Pada periode 2019 pun kesalahan pemilihan tanggal, hari dan pasaran itu diulang kembali. Pemilu serentak diadakan di tanggal 17 April yang jatuh di hari Rabu Pahing, dan 22 Mei 2019 adalah tanggal yang digunakan untuk mengumumkan pemenang capres, hari itu adalah pasaran hari Rabu Pahing.
Dalam penanggalan Jawa, hari Rabu Pahing itu disebut hari Sunya (Suwung) dan sekaligus Tali Wangké. Korban telah banyak berjatuhan dari pesta demokrasi tersebut. Diantaranya banyaknya korban adalah petugas KPPS yang meninggal sekitar 554 orang. Lepas dari apa penyebab kematian mereka --- yang terus diberitakan oleh media pemerintah adalah mereka meninggal karena kelelahan. Lepas dari apapun penyebabnya, korban pemilu sudah berjatuhan, dan itu dalam alam pikiran orang Jawa dianggap sebagai tumbal. Hajat yang besar biasanya memerlukan tumbal korban jiwa atau nyawa, semakin besar hajat dan keinginan, akan semain besar yang harus ditumbalkan.
Sebenarnya pemakaian hari Sunya untuk hajatan sangat bisa dilakukan, asalkan hajatan itu bukan untuk tujuan kecurangan maupun kejahatan. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Hari itu seperti direncanakan untuk dijadikan tontonan pembodohan segenap bangsa Indonesia dengan biaya fantastis, 24 Trilyun. Maka bêbêndu (hukuman) lah yang niscaya akan terjadi, dengan tumbal anyir darah kematian banyak korban.
Kini pemilu 2024 didepan mata. Para gladiator politik pun sudah giat melakukan kegiatan berbumbu kampanye. Dan yang membuat schock adalah, penyelenggara sudah berencana mengulang kesalahan yang sama. KPU dan DPR (komisi 2) menetapkan Pilpres dan Pileg pada 28 Feb 2024. Kalau berdasarkan hitungan Jawa, dilihat dari sisi kamarokamnya, pemilihan yang baik itu pada 1 Mei 2024, yang bertepatan dengan Rabu Pon, 21 Sawal 1957 Jimawal. Itu hari Menga dan Jaya. Maksudnya 1 Mei 2024 itu untuk pileg dan pilpres juga.
Kenapa bangsa ini suka sekali masuk dalam pusaran konflik yang tak pernah selesai? Selalu mengulang-ulang kecelakaan sejarah yang sama, tidak pernah belajar dari kejatuhan, tidak mau belajar bangkit dari keterpurukan...??
Maju atau mundur seminggu dari 28 Feb 2024 itu jatuhnya hari yang buruk yang sengaja ditetapkan oleh Sang Dalang agar jagoannya menang dengan akibat rakyat menderita. Terlebih dibarengi dengan pilkada serentak. Mohon dicatat juga pada tanggal itu adalah Hari Raya Galungan, hari raya keagamaan untuk umat Hindu seluruh Nusantara. Masyarakat Bali dipastikan 89,7 persen golput.
Jika Pilkada serentak memilih 27 Nov 2024, Rabu Pon juga Hari Buruk untuk pil-pilan. 27 Nov 2024 itu Hari Sangar Tahun. Jadi, Sang Dalang sengaja memilih hari yang buruk semenjak 2014. Karena dari 2013 - 2021 itu Windu Sangara. Setelah itu baru Windu Sancaya, seharusnya dipergunakan untuk membangun kerukunan hidup antar masyarakat. Tetapi, ibarat jika musim hujan tak dimanfaatkan untuk menanam yang baik, ya akibatnya buruk seperti sekarang ini; memanen dari apa yang sudah ditanam dan diskenariokan, yakni KONFLIK sepanjang 2 periode, dan mungkin hingga 3, 4 periode selanjutnya. Wallahu a'lam....
Kalau saja pilihannya dihari Rabu Pon 1 Mei 2024, misalnya --- itu adalah Hari Beteng, artinya hari makmur, dan baik untuk melakukan rekonsiliasi. Sila cek kalender Bali. Jika hastawara, sangawara, dan dasawara dihitung juga, hasilnya adalah Kala (berharga), Tulus (langsung, sifat air), dan Sri (feminin).
Artinya, jika memilih pemimpin pada hari itu, maka yang akan terpilih adalah manusia yang bisa melakukan rekonsiliasi terhadap rakyatnya, memakmurkan warganya, dan bersifat ratu keibuan, maksudnya memiliki sifat welas asih yang tinggi (keibuan/feminin).Dan semua calon yang curang pasti tumbang. Nah, beranikah sang dalang memilih hari itu?
Para tokoh negeri ini harusnya kembali pada kearifan lokal agar tidak terjadi mismanajemen. Semoga bangsa ini selamat, mulia, jaya, sampurna.(mda)
*dari berbagai sumber
Malika D. Ana
07.01.23
Kisah Si Burung Merak; Awal Masuknya Islam dan Keruntuhan Majapahit
Abad.id - Burung Merak adalah simbol derajat yang tinggi. Jika dalam pewayangan, biasa dipersonifikasi oleh sosok Krisna. Krisna lahir di tempat makmur, hobinya makan keju dan minum susu, yang merupakan simbol kemakmuran dan kekayaan. Krisna tidak bisa memakai kain rombengan, di kepalanya selalu ada bulu burung Merak yang menghiasi. Dia juga hoby memainkan seruling.
Perempuan juga digambarkan jika berdandan cantik dan anggun laksana burung Merak yang dikagumi oleh semua orang. Bulu-bulunya indah memukau setiap mata yang memandang. Paduan kemewahan, kecantikan dan keanggunan.
Dalam sejarah kesenian Reyog Ponorogo, burung Merak adalah symbol tokoh utama kisah Putri Cempa yang jelita digambarkan sebagaimana burung Merak yang menghinggapi kepala harimau, lambang Brawijaya V yang takluk oleh pesona kecantikan permaisurinya tersebut. Akibatnya, banyak wilayah-wilayah di bawah Majapahit kecewa dan ingin melepaskan diri, salah satunya Wengker (Ponorogo).
Masa Awal Islam di Jawa - "Runtuhnya Kerajaan Majapahit"
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar, yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja, beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, yaitu Tiongkok dan Majapahit.
Lambang kerajaan Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan internasionalnya adalah Gresik.
Agama resmi kerajaan adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi, sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah kerajaan di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta, Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta.
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang- gemilang.
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Paregreg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri).
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Agama Islam mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan Awal Penyebaran Islam di Jawa, kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa), karena dikuasai oleh China kemudian berubah nama sebagai Vietnam. Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo (nama Champa dari Sayyid Ali Murtadlo).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda ketaklukan. Dan salah satu upeti persembahan yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah Indo-China ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati. Dalam suatu kisah karena Putri Champa berhasil menyembuhakan sakit raja singanya sang raja, maka si Putri Champa diangkat sebagai permaisuri.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah yang kelak kembali ke Jawa dan mendirikan keraton Demak, yang kemudian terkenal sebagai Demak Bintara (Demak Bintoro). Kata bin dalam bahasa Arab merujuk pada "anaknya si", jadi Demak Bintara, artinya Demak anak si Tara, atau si Toro, Patahilah artinya kemenangan, putra Brawijaya dengan ratu berkulit pucat dan bermata sipit.
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu.
Si Putri Champa Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong(mungkin julukan tokoh yang tidak mau diketahui nama sebenarnya), punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Dalam sebuah versi folklor nama ini adalah samaran dari Pembayun, putri Brawijaya. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hampir didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendapat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurit yang bertingkah polah seperti banci. (Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Penari Jathilan, simbol para pejabat dijaman Majapahit, dokumentasi mda
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah simbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah simbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah simbol dari Pejabat daerah.