Mitos Nyai Roro Kidul dan Simbol Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda
Abad.id - Siapa sebenarnya Nyai Roro Kidul yang konon dilambangkan sebagai penguasa pantai Selatan Jawa? Banyak versi jawabanya mulai yang bersangkutan sebagai putri keturunan raja Kediri, Jayabaya. Versi lain meyakini Nyai Roro Kidul sebagai keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan. Belakangan, Nyai Roro Kidul juga disebut sebagai putri dari Raja Pajajaran bernama Dewi Retno Suwindo yang menolak kawin menurut kehendak ayahnya (Merle Calvin Ricklefs, dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008).
Di dalam folklore Jawa, ada keyakinan bahwa Ratu Kidul adalah dewi pelindung kerajaan Mataram dan istri gaib para raja Mataram. Di Babad Tanah Jawi (Olthof 1941:78-9, 140), juga diera Panembahan Senopati (bertahta sekitar 1584-1613) pun Sultan Agung (bertahta 1613-46) dikisahkan berangkat dari Parangtritis menemui Sang Ratu di istana di bawah laut, yang hanya dihuni roh alus, dan bersetubuh dengannya. Hubungan intim dan istimewa antara raja pendiri Mataram, membawa kerajaannya ke puncak kejayaannya pada awal abad ke-17 pada pemerintahan cucu Senopati, Sultan Agung.
Pada mitosnya, Ratu Pantai Selatan, atau sebutlah Sela Menangkep Selatan adalah pamomong dari tatanan baru setelah era Majapahit, atau era Siwa-Budha, era tersebut dimulai dari Demak, dan terus berlangsung lestari hingga era Mataram yang kemudian terpecah belah karena hal-hal yang sama sekali tidak dimengerti.
Mitos mengatakan, bahwa raja-raja Jawa dikaruniai atau orang Jawa menyebut sebagai kanugrahan Wahyu Jali, atau "Tajali", Raja-Raja jawa dinisbahkan memiliki kemampuan spiritual untuk menangkap gerak-gerik semesta, menangkap pesan-pesan semesta untuk diwujudkan sebagai tindakan keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyatnya.
Dalam konteks spiritual Jawa, Wahyu Jali menempati kedudukan lebih tinggi dari Wahyu Nubuatan (wahyu dalam bentuk teks). Wahyu Centini (tentang genealogi, kekuasaan, dan politik), dan Wahyu Gandarwa (syair, filsafat, sains, dan teknologi). Adapun Wahyu Jali ini terlihat sebagai sorot sinar dari Mandala Utara dan Timur, sementara Wahyu yang lain adalah dari Selatan dan Barat.
Mengikuti pola siklik, bahwa spiritual Jawa tidak linear, orang Jawa berpandangan segala sesuatunya berputar, seperti roda pedati yang kadang ditas kadang dibawah ada siklusnya, cakra manggilingan, era dan jaman selalu berganti, dan umat manusia selalu memiliki penjaga dan pemelihara yang sesuai dengan konteks kemajuan atau kemunduran peradabannya. Kali ini era Selatan berganti menjadi era Utara, dan Kaidah Materialisme Barat digantikan oleh Nurani Timur.
Setiap pribadi yang siap, setiap jiwa yang telah dikuatkan oleh penerimaan atas keberadaan dirinya, kelebihan dan kekurangan yang ia miliki, suka dan derita, menggapai harapan dalam realitas adalah mereka yang layak menerima "Wahyu Jali", dan menjadi beban, tugas bagi mereka untuk melakukan pamomongan, menjadi panuntun bagi dirinya sendiri, dan lingkungan di sekitarnya.
Tidak ada Nabi baru lahir, tidak ada lagi Messiah, tidak ada lagi Imam Mahdi, karena semua itu akan terlahir pada setiap pribadi, dan setiap jiwa menjadi panapimpin dari peradabannya.
Ada versi lain yang menyatakan pemunculan mitos Nyai Roro Kidul diinisiasi pujangga Istana Mataram guna mengobati atau sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat dua kali menyerang kekuatan Belanda di Batavia (tahun 1628 dan 1629) sekaligus kegagalan Sultan Agung mengusai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.
Untuk menutupi kekalahan tersebut, atau sebutlah sebagai cerita penghiburan, layaknya orang kalah dalam pertarungan atau orang gagal yang berpikir bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda --- pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai simbol bahwa Mataram masih menguasai laut, yaitu Laut Selatan (Samudera Hindia). Meskipun kalah dan kehilangan pantai utara jawa, Mataram masih menguasai laut selatan.
Demikianlah, dalam mitos Nyai Roro Kidul muncul pula tabu lainnya, semisal dilarang menggunakan pakaian hijau di wilayah pantai selatan, yang ternyata itu merupakan ungkapan bentuk kebencian para pujangga Mataram terhadap kompeni. Warna Hijau, merepresentasikan warna pakaian serdadu Belanda.(mda)