Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)
Abad.id, SURABAYA - Jumat, 28 Oktober 2022 secara nasional diperingati Hari Sumpah Pemuda ke 94. Di komplek Gedong Nasional Indonesia (GNI) di jalan Bubutan Surabaya terlihat ramai. Ada ziarah kubur di pusara dr. Soetomo. Juga ada seminar tentang GNI dan kiprah dr. Soetomo dalam gerakan kebangsaan yang digelar oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya.
GNI dan dr. Soetomo adalah satu. GNI didirikan dr. Soetomo dan di komplek GNI dimana pusara dr. Soetomo berada. Secara fisik, tepat di depan pendopo juga berdiri patung dr. Soetomo.
GNI memang menjadi jujugan dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda di Surabaya. Ini tidak lain karena dr. Soetomo dan kiprahnya menjadi embrio lahirnya Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Dokter Soetomo sendiri adalah salah satu dari tokoh pendiri Perkumpulan Boedi Oetomo (BO) yang terbentuk pada 20 Mei 1908 yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Perkumpulan ini membuka lembaran baru arah pergerakan bangsa Indonesia demi kemerdekaan.
Sejak itu dokter Soetomo dan rekan rekan lulusan STOVIA, Batavia (sekarang Jakarta) terus menyusun kekuatan melalui jalur jalur pendidikan, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Di jalur pendidikan, ia mendirikan Indonesische Studieclub Soerabaia pada 1924. Studie Club ini adalah kelompok belajar yang menginvestigasi persoalan persoalan yang ada di masyarakat yang terkait dengan sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
Pengurus dan anggota Indonesische Studieclub Surabaya pada 1927 di Sulung. Foto Repro
Secara umum, Studie club ini mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama untuk membangun Indonesia.
Di Surabaya, Indonesische Studieclub ini awalnya bertempat di jalan Sulung. Jalan Sulung adalah jalan di tepian sungai Kalimas sisi barat yang membujur dari selatan ke utara, antara jembatan Pasar Besar (selatan) dan jembatan Bibis (utara).
Enam tahun kemudia pada 1930, dalam rangka ulang tahun ke enam Indonesische Studieclub, dr. Soetomo menginisiasi pendirian Gedong Nasional Indonesia di jalan Bubutan. Gedong Nasional Indonesia (GNI) ini terdiri dari bangunan pendopo dan dua bangunan kembar tingkat dua di kiri kanan pendopo agak ke belakang (barat).
Purnawan Basundoro, Dr. Samidi dan Nanang Purwono, S.Pd.
Menurut Prof. Purnawan Basundoro, yang menjadi pembicara dalam seminar “GNI Jalan Menuju Proklamasi” bahwa sejak berdirinya GNI pada 1930 dan menjadi sentra pergerakan Bumi Putera, keberadaannya membuat pemerintah kolonial takut. Namun karena dr. Soetomo sebagai pendiri GNI dan dr. Soetomo menjalankan azas kooperatif dengan pihak pemerintah, mereka menjadi lunak.
Mengamati isi pemberitaan beberapa surat kabar, yang beredar dalam kurun waktu 1925-1927 seperti De Locomotive dan Indische Courant, yang diarsip oleh delpher.nl diketahui bahwa Indonesische Studieclub ditulis sebagai alat propaganda dalam upaya penguatan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Secara fungsi Studieclub ini memang mendorong kaum terpelajar bumi putera supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, dan secara bersamaan juga menjadi upaya penguatan kebangsaan untuk bebas dari penjajahan.
“Banyak sekali rapat rapat (vergadering) yang diadakan di GNI ini dan itu membuat pihak Belanda takut”, tegas Purnawan Basundoro.
Menyimak aksi aksi pemuda yang digelar di GNI bahwa aksi aksi pemuda ini tidak hanya menyokong tumbuhnya dan lebih bangkitnya rasa kebangsaan sehingga lahir Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, tetapi aksi pada pasca 1928 juga terus membara secara nasional sehingga terwujud lah memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Proklamasi kemerdekaan pun diikrarkan pada 17 Agustus 1945. Dokter Soetomo sendiri sebagai pembakar strategi perjuangan bangsa tidak sempat menikmati kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada 1938.
Gotong Royong
Jauh sebelum lahirnya Pancasila, nilai kegotong royongan sudah tampak di Surabaya. Kebersamaan untuk satu tujuan sudah ditunjukkan oleh masyarakat Surabaya. Gedong Nasional Indonesia (GNI) dibangun secara gotong royong pada 1930. Contoh lain dari nilai kegotong royongan di Surabaya adalah ketika Masjid Kemayoran diperluas pada 1934. Menurut pemberitaan Soerabaiasche Handelsblad bahwa dana pembangunan disokong oleh umat Islam. Sementara umat Islam yang tidak punya uang, mereka datang untuk menyumbangkan tenaga. Orang Jawa bilang ini adalah tradisi “sambatan”.
Dr. Samidi M. Baskoro dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, juga sebagai pembicara mengatakan bahwa ada sifat “bonek” dalam pembangunan GNI itu. Mereka punya niat, tekad (kemauan keras, bulat hati/pikiran) dan tindakan nyata.
“Disana ada gotong royong, kerja bersama mengkontribusikan tenaga dan material”, kata Samidi.
Kegotong royongan ini juga tampak dari kalangan seniman Surabaya. Mereka turut menyumbang uang dari hasil pementasan hiburan. Selain itu, sumbangsih juga datang dari kalangan perempuan.
“Tidak hanya di dapur saja, mereka juga ada yang jadi kuli”, tambah Samidi.
Kepengurusan GNI
Menurut Akte Notaris H.W. Hazenburg tanggal 21 Juni 1930 No. 101 bahwa susunan kepengurusan GNI ini adalah: Dr Soetomo (Ketua), R.P. Sunario Gondokusumo (Sekretaris), R.M.H. Sujono (Bendahara), R. Sunjoto (Komisaris) dan Achmad Djais (Komisaris). Untuk mengenang jasa dan perjuangan mereka, nama nama mereka menjadi nama jalan di Surabaya. Jalan dr. Soetomo ditempatkan di kelurahan Darmo.
Sementara nama nama , R.P. Sunario Gondokusumo, R.M.H. Sujono, R. Sunjoto dan Achmad Djais disematkan di lingkungan kelurahan Peneleh, tidak jauh dari lokasi GNI di kelurahan Bubutan.
Selama ini belum banyak yang tau siapa itu R.P. Sunario Gondokusumo, R.M.H. Sujono, R. Sunjoto dan Achmad Djais yang namanya menjadi nama jalan. Ternyata mereka adalah kaum pergerakan yang mendampingi dokter Soetomo mulai dari membina pendirian Studieclub, Goedong Nasional Indonesia hingga pada masa 1945 meski dr Soetomo telah tiada.
“Sunjoto itu adalah orang yang sangat berperan dalam negosiasi dengan belanda di tahun 1945”, tambah Purnawan Basundoro.
Belum lagi R.P. Sunario Gondokusumo. Sebetulnya kisah tentang Sunario Gondokusumo sudah terpajang di museum dr Soetomo di GNI. Ia pernah berkarir di Bumi Putera dan sebagai redaktur Soeara Oemoem. Pada pasca revoludi, pada 1954 dia diangkat menjadi anggota DPR Sementara (DPRS) oleh Presiden Soekarno dari Fraksi Parindra yang memiliki 7 kursi parlemen.
Reaktualisasi Nilai Perjuangan
Pendirian Indonesische Studieclub di Surabaya sarat akan makna perjuangan. Studieclub ini menunjukkan aksinya yang sekuat tenaga untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa. Mereka menggunakan aksinya melalui jalur sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
Indonesische Studieclub ini mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama untuk membangun Indonesia.
Studieclub yang terbentuk pada 1924 awalnya menempati sebuah rumah di jalan Sulung. Pada usianya yang ke enam tahun, Studieclub yang dipimpin dr. Soetomo ini memprakarsai pembangunan Gedong Nasional Indonesia (GNI) di Bubutan pada 1930. Sejak itu kegiatan Studieclub berpindah ke GNI.
GNI jauh lebih luas dibandingkan dengan rumah di jalan Sulung. Di GNI kegiatan yang melibatkan lebih banyak orang bisa ditampung. Apalagi dari hasil diskusi diskusi Studieclub, yang menyangkut persoalan persoalan masyarakat ini, sering dikemukakan dalam rapat rapat umum. GNI menjadi sarana rapat rapat (vergadering) para pemuda dan masyarakat.
Nanang Purwono, yang berbicara terakhir setelah Prof. Purnawan Basundoro dan Dr. Samidi, mengajak forum untuk mengidentifikasi peninggalan dr. Soetomo dan mereaktualisasi nilai nilai perjuangan dr. Soetomo. Salah satu nya adalah mereaktualisasi kan nilai perjuangan yang dilakukan pada, pendahulu melalui Studieclub.
“Studieclub di era dr. Soetomo ini adalah kumpul kumpul, yang mencoba mencermati persoalan bangsa seperti persoalan ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan yang dihadapi masyarakat. Dengan penguatan pada bidang bidang itu, maka ada alat untuk berjuang meraih kemerdekaan”, jelas Nanang Purwono dari komunitas sejarah Begandring Soerabaia.
Interaktif dalam seminar
Ia menambahkan bahwa pengajaran dengan model Merdeka Belajar adalah wujud reaktualisasi cara cara Indonesische Studieclub dalam pengajaran dan pendidikan masyarakat. Cara cara pengajaran melalui metode Merdeka Belajar juga mengajak siswa dan mahasiswa untuk belajar banyak hal diluar mata pelajaran dan mata kuliah yang disampaikan di dalam kelas.
“Ruang publik di tengah tengah masyarakat adalah ruang kelas yang menyimpan banyak pelajaran yang secara langsung bisa diobservasi dan dipelajari oleh para pembelajar. Di ruang publik itu, para pembelajar bisa mengamati persoalan persoalan ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan”, pungkas Nanang.