images/images-1671887965.jpg
Indonesiana

77 Tahun dan Sindrom Inferioritas Akut

Malika D. Ana

Nov 08, 2022

326 views

24 Comments

Save

77 Tahun dan Sindrom Inferioritas Akut
 
 
 
Abad.id - Konon 350 tahun lamanya terjajah sebagai bangsa seperti dikisahkan dalam buku-buku sejarah. Tapi 1908 baru terjadi konsensus bersama sehingga terbentuklah suatu bangsa yang disebut bangsa Indonesia. Dan 17 Agustus 1945 baru memproklamirkan diri sebagai negara, sehingga usia negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) baru 77 tahun. Dan disebut merdeka secara "etis".
 
Artinya, sebagai negara, NKRI sebenarnya tidak pernah dijajah. NKRI hanya sibuk berkecimpung didalam pergulatan politik dan ideologi serta jatidirinya sampai dengan saat ini.
Usia 77 tahun itu tergolong kewut alias tuwek. Diumur ini, manusia harusnya mengerti jejere manungsa, mengenal Jatidiri nya, mengenal siapa ruh yang menempati wadah(wadag) fisiknya. Mengenal visi misi atau tujuan hidupnya; dari mana berasal, dan akan kembali kemana. Atau disebut mengenal sangkan paran ing dumadi.
 
Disebut mengenali dirinya semisal sakit, dia akan mengenali penyakit yang menjangkitinya berikut cara mengatasinya. Saat migrainnya kambuh misalnya, ia akan mengerti untuk sesegera meminum analgesik, obat penahan rasa nyeri yang menunda kesakitan, meski tidak menyembuhkan. Atau saat sakit gigi, dia paham harus melakukan apa untuk mengatasi nyerinya. Atau saat encoknya kambuh, ia mesti tahu mesti ngapain. Jangan kok saat encok kumat dia justru beli obat panuan...
 
Jati diri akan terbentuk mana kala jiwa berhasil mengatasi masalah dan kesulitan-kesulitan hidup yang hampir-hampir membuatnya gila.
 
Sebagai negara, seharusnya bisa disandingkan dengan analogi soal manusia berusia 77 tahun. Pernah dikoyak-koyak disintegrasi karena pergulatan ideologi dan politik, lucunya pergulatan itu tidak pernah selesai meski sudah ada konsensus bersama yang disebut Pancasila, dan ketagihan rasa sakit itu diulang-ulang terus. Pernah ketipu di meja perundingan dan kehilangan banyak asset, Dan ketipu itu sialnya diulang-ulang seperti tak pernah belajar hikmahnya kehilangan. Entah karena bodoh atau lugu atau terlalu mulia hatinya, maka sindroma Stockholm sepertinya sangat cocok untuk menyebut kondisi sakit mental ketagihan rasa sakit dijajah dan ditindas tersebut.
 
Ibarat sudah kanker, pendarahan, gegar otak, dan sakit komplikasi tapi tidak pernah menyadari bahwa dirinya sakit parah. Disana-sini berkoar tentang dirinya yang sehat, kuat dan waras. Tapi literally, pengungkapan bahwa dirinya sehat justru membuka fakta bahwa dirinya sakit parah. Sudah sakit, baperan lagi... Ibarat, wes susah, mêlarat, bodoh, ngamukan pisan!
 
Dalam dirinya terjadi pertarungan yang tak ada habis-habisnya, antara nurani dan nafsunya. Nafsu pengen diakui selama 77 tahun sudah berhasil berdiri tegak, kuat, merdeka dan berdaulat. Realitasnya? Ya bingung, dan galau tak berkesudahan, cenderung tak punya kepribadian yang kuat, teguh, tegak, tenang dan tentram. Bangga menjadi bangsa yang kebarat-baratan, keindia-indiaan, kearab-araban, kechina-chinaan,dan kekorea-koreaan... Kepengen diakui sebagaimana bangsa idolanya. 77 tahun tapi pubernya tak selesai-selesai, tak kunjung anteng, meneng, seneng lan sugeng....settle, tenang, tentram, selamat, mulia dan menjadi bijaksana.
 
Hari ini, apalah kita. Beras yang kita makan ini impor dari Vietnam, garam beli dari Australia, bikin tempe kedelainya beli dari Amerika, susu dari New Zealand, cangkul dari China, buruh juga dari Tiongkok disaat pengangguran luar biasa jumlahnya, dan kita juga lebih suka dengan artis Korea, India dan turunan bule, ketimbang lokalan seperti Omas.
 
Asam di gunung
Garam di impor
Hutang menggunung
Rakyat yang tekor...
 
Karena merasa inferior, merasa rendah diri karena kulitnya coklat, hidungnya pesek, perawakannya kecil, maka mitos dan dongeng dibuat untuk mengatasi perasaan rendah diri yang sebenarnya tidak perlu. Mitos bahwa simbahnya dulu dewa-dewi yang turun dari kahyangan diatas sana yang jatuh gedabruk di gunung-gunung. Bahkan ada mitos bahwa nenek moyangnya turunan alien.
 
Sebut saja legenda Bandung Bondowoso yang mencipta seribu candi untuk Roro Jonggrang dalam semalam, atau Ajisaka yang mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan kibasan kain ikat kepala, atau tentang Prabu Anglingdarma yang punya ajian bisa bahasa binatang, juga Minakjinggo yang karena senjata gada wesi kuningnya bisa sakti mandraguna tidak bisa dibunuh dan lain sebagainya.
 
Rasa rendah diri itu masih tercermin sampai sekarang. Kalau lihat cewek putih mulus, hidung mancung teteknya melentung langsung sar sir ser, yang perempuan gatel kalau lihat cowok Korea imut atau bule tinggi gede... Jika sudah bisa 1, 2 kata bahasa Inggris, logatnya mendadak kebule-bulean, kalo pinter agama dikit, gayanya jadi kayak orang Arab atau kalo kaya dikit gayanya kebarat-baratan. Itu contoh-contoh INFERIORITAS, suatu penyakit kejiwaan masal. Soal selangkangan ajah, di tempat hiburan malam semacam Alexis saja yang lokal juga berharga murah dibanding yang impor dari Rusia ataupun Taiwan.
 
Begitu pula dengan etika, kalau bule dipersepsi lebih pinter, kalau Arab dipersepsi lebih suci, kalau Cina lebih kaya, dan seterusnya disubya-subya, dijunjung tinggi, sedang orang sendiri malah diinjak dan ditindas. Yang menyakitkan adalah TKA dianggap lebih berharga dan berkeahlian dibanding tenaga kerja lokal.
 
Penyakit inferioritas ini menghantui hingga saat ini, iri kalau lihat tetangga beli mobil baru, ngelirik kalau istri tetangga lebih cantik, dan bahenol, kedip-kedip kalau suami sebelah lebih gagah dan cakep, dan iri mau meniru terus apa yang dilakukan negara lain yang sebenarnya ngga ada konteksnya disini, termasuk sistem pemerintahannya yang mengadopsi demokrasi liberal.
 
Kapan sadarnya untuk kembali ke diri, kembali pada jati dirinya. Kok seneng mengadopsi segala sesuatu yang datang dari luar, dan mengabaikan keistimewaan yang telah ada di dalam. Mbuh sampai kapan...Sindrom inferioritas akut ini menjangkiti dihampir seluruh aspek, hingga yang notabene datang dari luar "dipaksakan" diaku-aku sebagai identitas dirinya. Hingga apapun yang impor dipandang sebagai kualitas super ketimbang yang lokal.
 
Bahkan pada nasionalismenya....sangat keblinger. "Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia", maksudnya cintailah produk-produk yang pabriknya disini, gak peduli pemiliknya mau China, Perancis, Inggris, Amrik, New Zealand, malaikat, peri, jin atau setan belang. Soal barangnya ya sama aja, tapi resepnya, mesinnya, sistem distribusinya, dan lain-lain ya buatan sono. Artinya apa? Artinya, tempat berproduksi, produk industri berikut residunya dibuang disini dan konsumennya ya kita-kita sendiri. Sedih kan...
 
Dahulu, Althenasius Uskup Alexandria di Abad IV, berjuang melawan Bidat (sebagai upaya Reformasi) Arianisme (yang juga didukung kepentingan politik-bisnis pada era Kaisar Romawi Constantius), terhadap Dogma Gereja diawal Perjanjian Baru. Problem utamanya perbedaan makna yang terletak pada satu huruf dalam kata homoousios (same essence/being), yang diganti oleh para Arianisme dengan homoiousios (of a similar substance) terhadap Keillahian Yesus Kristus yang dikukuhkan pada Kredo Nicea.
 
Perjuangan Althenasius berat dan penuh derita panjang terbukti merupakan bagian tetap tegaknya dogma gereja tersebut. Sejarah mencatat terjadi kegoncangan dalam kehidupan gereja dan kemasyarakatan di Eropa saat itu.
 
Refleksi dalam Sejarah Eropa tersebut barangkali bisa ditemukan similaritasnya pada Reformasi kita, yaitu pada perubahan kata yang sama seperti disebut diatas sehingga menjadikan :
1. MPR yang sebelumnya merupakan Lembaga Tertinggi menjadi hanya Lembaga Tinggi;
2. Keterwakilan diganti dengan Keterpilihan;
3. Demokrasi kita yang harusnya melalui Permusyawaratan dan permufakatan diganti dengan ala Demokrasi yang lebih liberal ketimbang di negara asalnya sana;
4. Penambahan kata Efisiensi di Pasal 33 UUD 1945 Amandemen merubah prinsip ekonomi kita menjadi kapitalistik.
 
 
Hal ini bukan saja menjadikan sistem ketatanegaraan menjadi amburadul, lembaga-lembaga maupun undang-undang turunannya berbenturan, juga sistem nilai termasuk budaya berbangsa jadi berantakan karena tercerabut dari jatidiri budaya berbangsa - bernegara seperti dicita-citakan Proklamasi dan The Founding Fathers Bangsa Indonesia.
 
77 tahun dilanda kepikunan dan kebingungan tanpa akhir.(mda)
 
 
Penulis : Malika D. Ana
 
 
Tag:

Most Popular

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022