images/images-1668161874.jpg
Riset

Dunia Makin Tidak Lucu, Melawakpun Butuh Gelar Sarjana

Author Abad

Nov 12, 2022

533 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Abad.id-Seorang komedian sekelas Cak Lontong dianggap lucu dengan bandrol Rp 60 juta sekali tampil. Sementara komedian Mongol Stress bisa seharga Rp 50 juta untuk bisa membuat penonton tertawa tiap 2 menit. Dua komedian papan atas ini telah mengisi jagad media sosial sejak 10 tahun terakhir. Mereka bisa dilihat secara gratis di youtube atau tiktok dengan guyon segar dan aktual. Memang tak mudah untuk membentuk Cak Lontong dan Mongol Stress ini. Mereka bergelar sarjana dan berjasa membuat dunia tertawa.

 

Jauh sebelum para sarjana pelawak Cak Lontong, Dodit Mulyono, Mongol Stres, Deni Cagur hingga lawak Patrio muncul, dunia lawak sudah sangat mengenal Warkop DKI. Mereka para intelektual pada masanya. Bertemu secara kebetulan pada jamboe perkampungan Universitas Indonesia tahun 1973.  Komposisi awal Kasino, Dono Nanu, Rudi Badil, dan saling kenal sekedar sebagai teman di dunia kampus. Namun di tengah malam perkemahan dan ngoceh sana sini membuat malam yang dingin menjadi segar penuh tawa. Secara kebetulan acara tersebut diasuh Temi Lesanpura yang juga bekerja di Prambors Radio. Dari ngoceh sana sini itu diwujudkan menjadi program obrolan lawak dengan nama Warung Kopi. “Awalnya Saya, Badil dan Nanu saja yang aktif di acara Prambors, dan kemudian Dono ikut bergabung,” kata Kasino dalam sebuah wawancara tahun 80an.

 

Siaran lucu-lucuan di radio memungkinkan orang luar ikut nimbrung dan semakin meriah. Sedangkan penungu warung tetap Badil dan Kasino. Hingga tahun 1976 seorang anak muda siswa SMA negeri 4 Jakarta bernama Indro yang kemudian menjadi mahasiswa Universitas Panacasila ikut nimbrung. Bergabungnya Indro di Warkop semakin lucu dan menghibur. “Selama 1976 menjadi tahun terberat bagi Warkop, sebab tiga personil telah lulus diwisuda dari UI, serta kami harus menentukan akan terus manggung sebagai pelawak atau harus kerja kantoran sesuai harapan orang tua,” kata Kasino.

 

Bagi Kasino, dunia panggung merupakan tambang emas yang sudah terlanjur digali. Hingga tahun 1979 saat dirinya diwisuda, Kasino tetap yakin akan dunia panggung lawak sebagai ladang hidupnya. “Saya bilang ke orang tua, saya akan coba dulu dunia lawak, kalau nanti gagal akan pakai gelar sarjana untuk cari kerja,” cerita Kasiono.

 

Banyak orang yang memulai mengeruk tambah emas dunia lawak, sementara Warkop sudah menemukan jalannya. Hingga akhirnya pasangan Warkop DKI (Dono, Kasiono, Indro) semakin yakin terhadap profesinya dan masih terus berkarya.

 

Sementara bagi Dono yang sempat merasakan menjadi asisten dosen Sosiologi UI dalam sebuah wawancara mengaku, sempat diragukan mertua karena profesi dunia lawak. “Beruntung mertua yang kerja di Kementrian Luar Negeri justru mendukung, bahkan setiap kali saya diwawancarai wartawan tulisannya mereka kliping,” cerita Dono.

 

Menjadi pelawak memang pilihan profesi yang penuh resiko. Saat masih menjadi mahasiswa di UI, Dono sudah dikenal sebagai asisten dosen Prof Selo Sumarjan. Namun pada tahun 1979 saat Warkop sedang banyak job dan sibuk shooting film, pilihannya harus sering meninggalkan kampus. “ Saya tidak punya waktu lagi untuk buka buku, dan memilih mengundurkan diri dari tugas asistensi,” cerita Dono

 

Sedangkan bagi Indro yang bergaung di warop DKI sejak masih SMA mengaku, sudah lama terbiasa survivel. Meskipun orang tuanya seorang pejabat di Jakarta, ternyata pola hidunya sangat sederhana dan menular ke anak-anaknya.

 

Cak Lontong saat podcast dengan Deddy Corbuzier. Foto Youtube

Mereka betiga pernah mengabdi ke masyarakat melalui dunia keseniaan lawak. Dunia lawak merupakan peta kesenian yang paling sulit dan sejajar dengan nilai-nilai seni yang lain. Menurut Cak Lontong dalam sebuah wawancara podcast dengan Deddy Corbuzier,  lawak itu seni yang rumit. Sebab setiap tapil di sebuah acara satu dengan lainnya harus beda apa yang disampaikan agar orang bisa tertawa. Jika penyanyi bisa menyanyikan lagu yang sama di panggung berbeda, seorang pelawak harus berbeda yang dilawakan di panggung berbeda lain. “Kalau ada mageri yang sama pasti orang yang melihat sudah tidak tertawa lagi, karena pernah melihat sebelumnya. Bahkan sudah bisa ditebak arahnya, jadinya gak lucu,” kata Cak Lontong yang seorang insinyur alumni ITS itu.  (pul)

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023