images/images-1666951566.jpg
Indonesiana

Indonesia Dijadikan Pilot Project Neoliberalisme Melalui Ekonomi Ekstraktif ?

Author Abad

Oct 29, 2022

372 views

24 Comments

Save

Indonesia Dijadikan Pilot Project Neoliberalisme Melalui Ekonomi Ekstraktif ?

 

Abad.id - Pertanyaan pada judul diatas berangkat dari asumsi bahwa makin kesini, gerak ekonomi Indonesia semakin tidak berbasis pada kebutuhan dan kepentingan rakyat, bisa dibilang semakin menjauh dari esensi pasal 33 UUD 45 NRI. Tetapi sebaliknya, digerakkan oleh kepentingan kapital dan komoditas global. Demikianlah, pemerintahan dijalankan dengan tata kelola ekonomi yang buruk, salah urus, tetapi cenderung melakukan marketisasi di segala bidang.(Poor governance, mismanagement -yes- but at the root is marketization). 

 

Dalam amatan penulis, pijakan pembangunan (ekonomi) rezim ini bertumpu pada ekonomi ekstraktif, selain instan (cepat), berjangka pendek, ia juga memaksimalkan keuntungan perusahaan pemodal dengan menyedot SDA murah tanpa berpikir soal kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

 

Ngga mikir juga soal dampak jangka panjang akan terjadi. Kerusakan lingkungan, ekosistem yang parah, hingga mengganggu mekanisme alam semesta dan menyebabkan terjadinya bencana; tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, perubahan iklim dan lain-lain. Disini jelas yang untung siapa dan yang rugi siapa dari deep marketization ini. Kata Anthony Barnett; "This isn't democracy... It is the deep marketisation of our society, carried out at breakneck speed."

 

Hanya melihat sisi keuntungan deep marketization, yakni soal instant yield, cepat, jangka pendek, dan menguntungkan perusahaan dengan menyedot SDA secara murah, ya pantas saja kecenderungan pemerintah lebih suka impor pangan daripada menjadi eksportir (negara produsen), kecuali ekspor CPO. 

 

Panen padi di desa Gandrungmangu Sragen, doc. pribadi

 

Bahkan ide food estate atau lumbung pangan yang mengintegrasikan antara pertanian, perkebunan hingga peternakan, yang seharusnya digerakkan oleh pertanian keluarga (family farming) dan masyarakat, lagi-lagi -- food estate ini juga digerakkan oleh konsolidasi perusahaan. Siapa lagi yang diuntungkan? Padahal ketersediaan pangan (logistik) merupakan bagian dari ketahanan nasional dan strategi pertahanan. Jika pengelolanya perusahaan, apalagi perusahaan asing, lalu ketahanan nasional dan strategi pertahanan negara dikemanain?

 

Tampaknya peran negara lagi-lagi hanya selaku fasilitator atas geliat neoliberalisme di Indonesia yang mengeksploitasi SDA secara ugal-ugalan atau istilah kerennya, eksploitasi secara ultra neoliberalisme. Dan pemerintah hanya berfungsi sebagai makelar alias broker, alias 'blantik,' dengan konsumennya rakyatnya sendiri. Karena neoliberalisme adalah marketisasi semua bidang, baik ekonomi maupun sosial. Maka dalam situasi pasar, Anda adalah produsen atau konsumen.

 

Nah, fenomena dan trend ekonomi ekstraktif yang bertumpu pada kepentingan kapital dan komoditas global ini sesungguhnya merupakan fase ketiga dalam transformasi neoliberalisme dari participatory bergerak menjadi disciplinary neoliberalisme yang ditandai dengan deep marketization. 

 

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Indonesia kini dijadikan pilot project untuk mengamalkan nilai-nilai dan etika neoliberalisme secara utuh. Ini juga menjawab pertanyaan mengapa rezim ini lebih menyukai impor pangan daripada menjadi negara produsen pangan. Jadi jangan tanya soal swasembada pangan, kedaulatan, apalagi soal nasionalisme, sudah lama menghilang dari para pemangku kekuasaan di negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi ini. 

 

Betapa ironisnya! Negeri dengan tanahnya yang subur, ibarat tongkat kayu saja jadi tanaman, dan laut dengan sedemikian banyak ikan yang melimpah, garam yang tinggal diproduksi, tetapi pemerintahnya justru lebih suka mengimpor semuanya. Adalah hal yang sangat paradoksial.

 

Soal janji kampanye yang hendak mensejahterakan rakyat, membela wong cilik, memberantas mafia impor dan seterusnya? Ahh sudahlah! Ibarat "Kakean Gludug kurang udan"; banyak janji tetapi tak satupun yang nyata dan ditepati, semua hanya pepesan kosong bertajuk "Berikan suaramu, cobloslah aku, dan kesejahteraanmu hanyalah bualanku su...!"

 

Barangkali memang harus begitu, babak belur sepanjang hayat, dari rejim ke rejim, dari jaman ke jaman, dari era ke era, dari satu hutang ke hutang yang lain.

 

Kemerdekaan diibaratkan hanya membuka kolonialisme baru terus menerus, kolonialisme dan penjajahan modal. Karena kebanyakan elit pemangku kekuasaan penginnya cepat-cepat saja, semua doyan sama yang instan. Tugas mereka hanya memastikan bekerjanya satu kurikulum dari hilir neoliberalisme yaitu freedom financial. Roadmapnya: perbankan, asuransi, investasi, utang, kurs, valuta asing, devisa dan penetapan mata uang internasional via kurs bebas yang memosisikan warga negara menjadi warga melarat dan menderita, tuan tanah yang tidak berdaulat di negerinya sendiri.

 

Tidak ada di dalam benak mereka soal kesejahteraan, perlindungan rakyat, kecukupan sandang pangan dan papan, kesehatan dan pendidikan yang maju, bahkan mau negara bubar atau ambyar, atau besok bukan lagi milik bangsa Indonesia sekalipun, yang penting bagi mereka adalah bisa menumpuk kekayaan. 'ING NGARSA NUMPUK BANDHA, ING MADYA MANGUN DINASTI, TUT WURI HANGGROGOTI.' (mda)

 

Penulis : Malika D. Ana

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022