images/images-1667125836.jpg
Pariwisata

Tamasya di Kandang Naga Sudah Diminati Sejak Jaman Hindia Belanda

Author1 Abad1

Oct 31, 2022

246 views

24 Comments

Save

Film amatir karya Wim Kooper. Rekaman keluarga yang sedang berlibur di telaga Sarangan, pada pertengahan 1930-an. Mereka mendaki gunung Lawu untuk menikmati panorama dan keindahan pemandangan alam di sekitar telaga Sarangan. Foto Ist

 

 

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Abad.id. Tempat wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan sudah menjadi jujugan pengunjung sejak jaman Hindia Belanda. Tidak ada catatan resmi kapan warga Belanda mulai bermukim dan membuat villa di kawasan itu. Hanya dari berbagai dokuken yang muncul di banyak media sosial, mereka sangat mengagumi lokasi sarangan yang dianggap tidak jauh beda suhu udara negara asalnya.

 

“Orang Belanda sudah ada disini sejak 350 tahun lalu, mereka merasa nyaman dan ingin selalu singgah dan bahkan menetap di kawasan telaga sarangan,” kata Suprawoto Bupati Magetan saat menerima kunjungan wartawan 28/9/2019.

 

Karena sering disinggahi warga belanda, maka kawasan telaga saragan sempat dianggap wilayah wisata premium. Sangat jarang warga pribumi yang bertamasya di tempat itu, kecuali hanya pekerja vila atau pemilik ladang. Promosi wisata sarangan juga tidak gencar. Para warga Belanda yang merasa berkesan di tempat tersebut, kemudian menceritakan ke komunitas yang lain. Sehingga tempat ini menjadi ramai pengunjung. Bangunan vila yang disewakan mulai dibuat warga belanda itu. istilah bertamasya memang belum familier saat itu. namun kesadaran ingin melepas penat dengan merasakan hawa dingin dan suasana baru juga mulai dilakukan para pejabat lokal, bupati dan priyayi.

                                                                      

 

Pada tahun 1920 an keluarga Wongso Kojo seorang priyayi Jawa melakukan perjalanan tamasya di telaga Sarangan. Foto ist

 

 

Baru setelah Indonesia merdeka wisata Telaga Sarangan ini mulai dibangun untuk pariwisata. Di era tahun 1970an telaga ini mulai dikenal masyarakat namun belum terlalu banyak pengunjung. Kondisi wilayah itu masih berantakan terutama akses jalan. Hingga tahun 1980, telaga ini baru berkembang sedikit demi sedikit. Beberap pejabat pemerintah dan menteri mulai berkunjung sambil mempromosikan paket wisata dengan Tawang Mangu. “Alasan wisata sarangan dipilih karena lokasinya dekat dengan propinsi Jawa Tengah, sehingga banyak pengunjung datang dari warga sana,” tambah Suprawoto.

 

Tak hanya wisatawan luar negeri, turis domestik mulai membanjiri telaga Sarangan hingga sekarang. “Sarangan tambah maju dan berkembang hingga karena wujud nyata dari masyarakat untuk promosi wisata,” kata Suprawoto..

 

Telaga Sarangan ini berada pada ketinggian sekitar 1.287 Mdpl sehingga saat berada di telaga, wisatawan akan menikmati udara sejuk pada suhu 18-220 celsius. Kawasan sekitar telaga Sarangan ini banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang khas yakni pohon pinus dan cemara.

 

Di sekitar pepohonan inilah banyak penjual makanan hingga oleh-oleh yang berjejer, sehingga wisatawan dapat menikmati sejuknya suasana telaga ditemani makanan hangat di sekitar danau. Tak jarang kabut turun disini kerap turun saat siang atau sore hari sehingga membuat danau terlihat lebih mistis.

 

Selain menikmati suasana tenang, wisatawan juga bisa memilih makanan kuliner terutama sate kelinci dan jagung bakar di sepanjang telaga.

 

Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk. Menurut warga setempat, pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kiai Pasir dan Nyai Pasir.

 

Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan, suami istri ini belum dikaruniai anak. Lalu Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.

 

Akhirnya mereka pun mendapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Mereka bercocok tanam dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.

 

Kemudian, pergilah Kiai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam di ladangnya. Karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-pohon besar, Ia menebang beberapa pohon besar satu demi satu hingga menemukan telur berwarna putih.

 

Tidak berpikir panjang lagi, Kiai Pasir segera pulang membawa telur tersebut dan diberikan kepada sang istri.  Akhirnya suami istri itu sepakat untuk merebus telur tersebut. Telur kemudian dibagi dua. Setelah memakan telur tersebut, Kiai Pasir kembali pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Lantaran tak kuasa menahan gatal itu, Ia menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Kiai Pasir kemudian berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir hingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.

 

Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.

 

Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kiai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. (pul)

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Minangkabau Sudah Pancasilais sebelum Kemerdekaan RI

Malika D. Ana

Dec 31, 2022

Asisten II Kota Surabaya Mengunjungi Begandring Soerabaia di Peneleh

Malika D. Ana

Dec 24, 2022

Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Author1 Abad1

Nov 28, 2022

H.P. Berlage dan G.C. Citroen Untuk Surabaya. Apa hubungannya?

Author1 Abad1

Nov 27, 2022

Mengasumsikan Demokrasi di Indonesia

Author1 Abad1

Nov 26, 2022

Krue Film Koesno Road To Batavia

Author1 Abad1

Nov 22, 2022