images/images-1667748265.JPG
Indonesiana

Kontemplasi Tentang Kekuasaan

Author Abad

Nov 07, 2022

344 views

24 Comments

Save

Kontemplasi Tentang Kekuasaan

 

Barangsiapa membuang keinginan untuk berkuasa maka ia adalah penguasa (karena sudah berkuasa). Dan barangsiapa mengambil keinginan untuk berkuasa maka ia butuh penguasa, dan rela terlebih dahulu menjadi budaknya, lalu tidak tahu kapan ia bisa merdeka.” (Tafsir Jalanlain).

 

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).

 

Kekuasaan itu bukan untuk cuma untuk berkuasa, atau sekadar jadi penguasa belaka. Atau pengin tercatat oleh sejarah, bahwa pernah berkuasa. Bukan begitu narasinya. Tetapi kekuasaan diraih untuk mewujudkan keadilan sosial. Itu maqam tertinggi bagi pemegang amanah atau pemegang kepercayaan. Jika berkuasa cuma ingin jadi penguasa lalu tercatat dalam sejarah, Fir'aun itu penguasa hebat. Kemal Attartuk juga pemimpin berkelas pada jamannya. Namun lihatlah akhir hidupnya, Fir'aun tenggelam di dasar laut, dan jasad Attartuk konon tidak diterima oleh bumi. Keduanya adalah prasasti atas sosok pemimpin yang tidak amanah. Melawan kodrat kepemimpinan dan unsur-unsur moralitas dari amanah itu sendiri.

 

Ya, mereka tidak amanah karena keluar dari rambu-rambu etis moralitas, atau mempecundangi kepercayaan yang dibebankan di pundaknya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Dan lebih sadis lagi, bahwa pengkhianatan kepada bangsa dan negara semata-mata untuk melayani kepentingan asing di negerinya sendiri.

 

Maka ada istilah bahwa Kekuasaan cenderung korup. Karena kekuasaan yang melekat pada jabatan ataupun pada diri orang tersebut seringkali disalahgunakan: 

1. Kekuasaan yang melekat pada posisi seseorang dalam sebuah organisasi.

2. Kekuasaan yang berada pada pribadi orang tersebut sebagai hubungan sosialnya.

 

Sebagaimana Lord Acton bilang : "power tend to corrupt, absolute power, corrupt absolutely!!"

Maka, produsen hoaks terbaik adalah kekuasaan mutlak yang korup. Keterhubungan melekat itu membuat pemilik kekuasaan menggunakan relasinya dalam organisasi maupun hubungan sosialnya untuk bertindak melebihi kewenangannya. Siapapun yang mengendalikan atau menguasai seluruh alat dan sumberdaya kekuasaan secara mutlak adalah calon produsen hoaks terbaik dan paling sempurna.
Kekuasaan mutlak itu menggenggam hingga mencengkeram regulasi dan birokrasi. Juga aparat dan pejabat. Bahkan dana dan media mainstream.

 

Maka dalam ajaran agama(Islam) pun ada tuntunan agar tidak memberikan kekuasaan pada orang yang berambisi berkuasa :

 “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)

 

Janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan disertai Tuhan namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya Tuhan tidak akan menyertaimu.

 

Jika seseorang berambisi memperoleh kekuasaan dan demi untuk meraihnya menggunakan taktik memberi masyarakat janji-janji palsu hingga melakukan sejumlah kebohongan dan menghalalkan segala cara, maka masyarakat harus waspada untuk tidak memberikan kekuasaan kepadanya. Jika kekuasaan diberikan pada orang dengan perilaku seperti itu, maka kemungkinan besar ia akan menggunakan kekuasaan itu untuk sesuatu yang tidak amanah, manipulatif, jahat, korup, bahkan berkhianat.

 

Salah satu artefak garuda di candi Sukuh, Sang Garuda tengah bebaskan. ibunya (Winata) dari perbudakan Kadru

 

Flashback ke belakang, sejarah berkali-kali membuktikan. Dahulu ada kisah tentang perbudakan Garudheya oleh Dewi Kadru. Dalam buku pertama (Adiparwa) kisah Mahabharata dikisahkan sejarah kelahiran Garuda dan Naga yang bersaudara karena sama sama keturunan Begawan Kasyapa yang pada akhirnya menjadi musuh bebuyutan. Ini karena kelicikan Dewi Kadru, ibu para Naga sehingga berhasil  memperdaya dan memperbudak Dewi Winata, ibu Garuda.

 

Garuda mencengkeram sepasang naga di candi Sukuh, inspirasi lambang negara RI

 

Kelicikan yang kemudian membuat Garuda murka setelah mengetahuinya. Dan hal ini  menjadi ihwal pertempuran sengit antara Garuda dengan para naga, setelah memenuhi syarat para naga dan berhasil membebaskan ibunya Dewi Winata dan dirinya dari perbudakan mereka.

 

Garuda, Putra Dewi Wibata setelah berhasil melawan para naga melebarkan sayapnya tanda kemenangan(Candi Sukuh)

 

Naga itu kini ada disekitar kita. Walau perbudakan secara terang-terangan seperti dalam cerita Mahabarata tidak terjadi lagi di Indonesia, namun sebagai mana watak dasar kelicikan para naga, maka perbudakan modern dalam bentuk tersamar terus dilakukan dengan berbagai cara.

 

Poin penting dalam cerita diatas yang bisa diambil dalam konteks kekinian adalah selalu mewaspadai strategi para naga sehingga Garuda-garuda muda Indonesia bisa melakukan kontra intelijen, yakni dengan mengantisipasi dan menghancurkan balik.

 

Tapi karena kelemahan bangsa ini yang tidak eling dan waspada sesuai pesan Eyang Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha :

 

Amênangi jaman édan / Éwuh aya ing pambudi / Mélu ngédan nora tahan / Yén tan mélu anglakoni / Boya kêduman mêlik / Kalirên wêkasanipun / Ndilalah kêrsa Allah / Bêgja-bêgjaning kang lali / Luwih bêgja kang éling klawan waspada.

Mengalami jaman edan / Sungguh sukar semua keadaan / Ikut edan tidak tahan / Tidak ikut edan / Bagaimana mendapat bagian? / Pada akhirnya kelaparan / Sudah jadi kehendak Allah / Seberuntung-beruntung yang lupa / Lebih beruntung yang tetap sadar dan terjaga.

 

Maka sejarah kelam perbudakan berulang dari jaman ke jaman karena bangsa ini tidak mau belajar dari masalalu. Realitas sosial politik yang terjadi, lebih banyak yang memilih menjadi edyan oleh gemerlap kekuasaan karena takut ndak keduman, takut tidak mendapatkan kursi, takut tidak  bisa makan, takut tidak bisa menyenangkan istri/suami, takut tidak bisa menyenangkan mertua, takut tidak bisa menyenangkan bos dan atasan, serta beribu-ribu ketakutan lainnya. Sehingga kekuasaan digunakan hanya untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menjajah sesama anak bangsa, hingga melacurkan diri pada kepentingan oligarki dan bangsa asing.

 

Lupa, bahwa sakbegja-begjane wong kang edan, isih begja wong kang eling lan waspodo.(mda)

 

Penulis : Malika D. Ana

Foto doc. pribadi

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022