images/images-1667708574.jpg
Sejarah
Riset

Ketika Si Bung Masih Miskin di Awal Merdeka

Author Abad

Nov 06, 2022

347 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

abad.id-Waktu Indonesia merdeka tahun 1945, nyaris bangsa ini tidak punya kekuatan ekonomi apapun untuk modal membentuk sebuah negara.  Bisnis muai retail hingga skala menengah masih dikendalikan warga asia timur dan timur tengah. Sedangkan bisnis scala besar dan perkebunan banyak dikuasai bangsa kulit putih eropa.

 

Padahal sebelumnya para pendiri Indonesia ini sudah bercita cita “Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka,” demikian Bung Karno dalam pidato di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), 1 Juni 1945.

 

Bahkan Bung Karno melukiskan kemerdekaan itu sebagai jembatan emas, dan di seberang jembatan emas, bangsa Indonesia dapat dengan leluasa menata dirinya  dan membangun sebuah negara  yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita dari kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial!“ kata Bung Karno.

 

Namun sidang yang sering digelar Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini ternyata tidak pernah membicarakan tentang modal mendirikan sebuah negara. Jangankan membahasnya, setiap kali petemuan selalu berdebat soal ideologi dan dasar jika menjadi negara nanti terbentuk. Kelompok kanan ingin membentuk sebuah negara dengan dasar agama, sementara kelompok kiri menghendaki menjadikan bangsa yang akan merdeka nanti beridologi sosialis. Padahal saat itu di luar ruang rapat, banyak pemuda sedang menunggu kapan secepatnya merdeka.

 

Ternyata waku tidak dinyana itu menemui jawabannya. Setelah bom Hirosima dan Nagasaki meledak dan disusul tentara Jepang menyerah ke tangan Sekutu, muncul tekat untuk merdeka semakin kuat. Peristiwa yang berurutan yang berakhir proklamasi 17 Agustus 1945 itu ternyata tidak ada yang merancang dan semua bersifat spontan. Sehingga banyak cerita lelucon menggambarkan yang memerdekakan bangsa Indonesia ini kaum miskin.

 

Sebagai contoh, Bung Karno makan sate  di warung kaki lima setelah dipilih menjadi presiden. Waktu itu Bung Karno rupanya masih belum bisa membiasakan diri berperilaku sebagai pejabat negara atau sebagai rakyat. Sebab belum ada tata tertib protokoler serta anggaran belanja negara secara tertib. Usai terpilih menjadi Presiden, Bung Karno pulang jalan kaki. Di tengah jalan bertemu dengan seorang penjual sate yang menjadi makanan kegemarannya. Sebagai presiden republik Indonesia saya memesan 50 tusuk kepada penjual sate tanpa alas kaki itu. “ Setelah jadi dibakar, Aku makan sate sambil berjongkok di tepi jalan dekat selokan, dan itulah pesta besar atas pengangkataku sebagai presiden republik Indonesia yang berpenduduk 150 juta jiwa,” kata Bung Karno dalam catatan Cindy Adam.

 

Lain cerita dengan dr Leimena asal Maluku yang sangat dekat dengan Sukarno. Dokter Yohanes Leimena ini baru saja menjadi menterinya Sukarnro. Karena dirinya hanya seorang dokter biasa selama 2 tahun masa pendudukan jepang, yang dia punya hanya 1 celana dalam dan 2 kemeja yang secara bergantian digunakan.  Jika satu dipakai yang satu dicuci. Setiap resepsi resmi selalu meminjam dasi temannya.

 

Waktu mendadak diangkat menjadi diplomat oleh Sukarno, setiap tugas keluar kota dia memlih rekan sekamar dengan orang yang ukurannya badannya sama.  Setidaknya teman sekamar itu bisa meminjami jas atau baju lain. Sebab sebagai diplomat tentu hanya membutuhkan beberapa jam saja jas tersebut. “ Saya bisa menyelesaikan soal itu. Jangan kawatir, saya tidak akan memalukan negara kita,” kata dr Leimena kepada Sukarno teman dekatnya.

 

Soal baju memang menjadi kebutuhan pokok waga Indonesia yang sulit dipenuhi pada masa itu. Baju tidak hanya mahal, namun juga harus import untuk jenis tertentu. Banyak pabrik di Indonesia tutup kaarena perang. Jika ingin hemat untuk mendapatkana saatu baju, seseorang harus beli kain dan membawanya ke penjahit. Disana si penjahit akan bergerak cepat dengan mengukur tubuh serta menentukan modelnya. Atau jika ingin lebih hemat, baju yang sobek tersebut dibawa ke tukang jahit untuk mndapatkan solusinya. Bisa dimodifikasi bagian yang robek dengaan ditambal kain sejenis, ataua dipotong menjadi bahan baju lain.

 

Kisah modifikasi baju ini benar-benar dialami Mohammad Nasir. Dia nyaris tidak kelihatan sebagai seoranag menteri. Dalam catatan Haji Agus Salim tahun 1948 ketika mengunjungi kantornya di Kementerian Penerangan, yang dijumpai sosok yang sangat sederhana dan rendah hati. Pakaiannya sungguh tidak menujukan bahwa dia seorang menteri. “Ia memakai kemeja yang banyak tisikan atau jahitan yang kasar menggunakan tangan,” cerita Haji Agus Salim.

 

Bahkan diplomat ulung ini menilai belum pernah melihat pegawai manapun dalam suatu pemerintahan yang kesederhanaanya berpakaian berlaku sebagai norma. Hingga akhirnya terdengar kabar bahawa beberapa stafnya melakukan patungan untuk membelikan kemeja untuk pak menteri agar dipakai saat acara penting.

 

Pejabat Bersepeda dan Diplomat Digaji 6 Dollar

Saat awal awal pembentukan republik Indonesia situasi ekonomi benar-benar belum pulih. Perang masih berkecamuk membuat jalur ditribusi barang dan produksi terhenti.  Negara juga harus mengeluarkan biaya besar untuk kegiatan kemiliteran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Dampaknya tidak hanya menteri yang harus hidup sederhana. Pejabat tinggi lainnya yang tingga di ibu kota Yogjakarta melakukan hidup sangat hemat karena gajinya sangat kecil.

 

Dr Saharjo SH misalnya, seorang pejabat di kementrian kehakiman yang tidak mampu menyewa rumah di ibu kota Indonesia. Anak dan istri dititipkan di paviliun keluarga seorang saudagar batik si di Solo. Sedangkan Dr Saharjo SH setiap Sabtu usai pulang bekerja menjenguk keluarganaya dengan naik sepeda ke Solo. Lumayan jaraknya lebih kurang 65 kilometer bersepeda melewati Prambanan dan Klaten. Pada Minggu petang, Dr Saharjo SH kembali bekerja dan tinggal di Yogjakarta dengan menyewa kamar sangat kecil di dekat kantornya.

 

Untuk menambah penghasilan yang sangat minim, tanpa rasa rendah diri istri Dr Saharjo SH ini membuka warung di pavilium tempatnya menupang. Pada hari libur, sang pejabat tinggi ini ikut membantu di warung. Bahkan tidak segan mengantar dagangan atau ikut berbelanja ke pasar.

 

Di tahun 1959, Dr Saharjo SH diangkat menjadi Menteri Kehakiman sampai tahun 1962. Selama menjabat jadi menteri dan tinggal di Jakarta ini, Dr Saharjo SH belum pernah menempati rumahnya sendiri. Ia numpang di rumah mertuanya di jalan Salemba Tengah. Baru hampir berakhir masa jabatannya sebagai menteri, Dr Saharjo menempati rumah dinas di Komplek Kehakiman Utan Kayu.

 

Hidup prihatin di tempat tugas juga dirasakan para diplomat Indonesia yang bekerja di kedutaaan besar negara asing. Misalnya gaji utusan diplomat di Philipina hanya US 6 Dollar seminggu. Kantor kedutaannya berada di rumah milik tukang cukur yang disewa sekaligus dijadikan tempat tinggal. Jika ada undangan bertemu dengan Presiden Philipina, sang diplomat harus pinjam jas ke tukang cukur dulu. Hingga suatu hari keuangan duta besar Indonesia ini tinggal 20 sen. Ia dan istrinya hanya mampu membeli 3 buah apel. Dengan apel dan air minum itu bisa cukup untuk hidup hingga tiga hari.

 

Istana Pinjam Taplak Meja ke Tetangga

Mempunyai istana di negara yang baru terbentuk sangat penting. Sebab istana tidak hanya menjadi simbul sebuah keagungan dan kemasyuran negeri, namun juga tempat bertemunya para tamu. Tentu agenda-agenda tamu ini sangat penting menyangkut kedaulatan bangsa.

Husain Muntahar kepala protokol kepresidenan pertama dan pendiri Paskibraka. Foto Ist

Namun sebagai negara yang baru berdiri, bangsa Indonesia tidak memiliki banyak uang untuk membiayai kebutuhan rumah tangga presiden. Harus banyak akal dari petugas rumah tangga istana. Salah satunya terdapat aturan tamu tamu pemerintahan di tempatkan di sebuah wisma dan tiga kali dalam sehari dijemput menggunakan mobil. Para staf rumah tangga juga tidak banyak penalaman tata cara protokol menghadapi tamu asing di ibu kota Yogjakarta.

 

Pemimpin protokol istana ini seorang Habaib bernama Muntahar. Nama Muntahar ini sangat populer di Yogjakarta karena bertugas mengurusi banyak hal. Bahkan ibu negara Fatmawati sering ikut dilibatkan untuk membantu kepala rumah tangga istana kepresidenan ini. Sukarno sangat puas dengan pekerjaan Muntahar yang pengalaman di kapal itu.

 

Suatu saat negara China dan India hendak membuka kantor diplomatik di ibukota baru Yogjakarta. Maka Muntahar mendapat tugas harus menggelar jamuan makan malam untuk tamu. Secara kebetulan Muntahar menemukan bekas istana bercat putih yang dikelilingi tembok tinggi bekas rumah tinggal Gubernur Belanda. Selama masa pendudukan Jepang, istana tersebut hanya difungsikan sebaga gudang. Setelah disepakati perjamuan digelar di tempat itu, kini muncul masalah tentang perkakasnya. Hampir semua perkakas di istana tersebut tidak ada sebab telah diangkut tentara Jepang sebelum meninggalkana Yogjakarta. “ Saya hanya punya seperangkat cangkir plastik murah berwarna hijau dengan tatakan selundupan dari Manila,” Kata Muntahar.

 

Ternyata mudah saja Muntahar menyelesaikan masalah itu. Muntahar mendapatkan solusi dengan mendatangi Toko Oen dan restoran China untuk meminjam barang pecah belahnya, berikut sendok dan garbu. Tidak hanya itu, Muntahar memerintahkan staf lain berkeiling ke para tetangga untuk meminjam taplak meja. “ Waktu ibu Fatmawati tanya jenis mana yang harus dipakai, saya jawab pokoknya warna putih,” cerita Muntahar.

 

“Pandai benar kau, rupanya kau tahu banyak seni menata meja, lalu kenapa memilih warna putih,” tanya ibu Fatma.

 

“ Putih itu suci bu, melambangkan kemurnian, kebersihan, serta warna putih mudah didapat” jawab Muntahar saat bercerita ke Cindy Adam, (pul).  

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022