Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Tugu Proklamasi atau sering disebut dengan tugu jarum, dibangun untuk memperingati satu tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946. Di lokasi kompleks Taman Proklamasi, Tugu Proklamasi menjadi monumen pertama yang didirikan. Pembangunan Tugu Proklamasi diprakarsai oleh Ikatan Wanita DJakarta, dan beberapa tokoh seperti Nyonya Johanna Masdani, Latifa Khodijad, Mien Wiranakusumah, Zus Ratulangi (putri Sam Ratulangi), Zubaedah, Nyonya Gerung, dan Maria Ulfa.
Saat itu situasi politik daan keamanan yang baru diploklamasikan masih tegang. Perdana Menteri Syahrir yang berada di Jakarta memimpin kegiatan upacara setahun Indonesia Merdeka. Sementara Presiden Sukarno dan Wapres Muhammad Hatta dan sejumlah menteri sudah berada di YogJakarta ibu kota Indonesia. Ketika tokoh bangsa meninggalkan Jakarta, para aktifias Ikatan Wanita Djakarta justru secara spontan berinisyasi menyelenggarakan upacara detik-detik proklamasi di tengah suasana tegang. Tidak hanya itu, mereka sekaligus meresmikan Tugu Proklamasi di tempat Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Awalnya Nyonya Johanna Masdani, wanita asal Minahasa yang tidak bisa diam saat pemimpin bangsa berada di YogJakarta. Dirinya tergerak mengajak aktifis lainnya untuk menggelar upacara, sekaligus membuat tugu peringatan. Kepada kawan seperjuangan Min Wiranakusumah dan Zus Ratulangi mereka bergerak mengumpulkan dana. Waktu hanya tinggal 2 bulan sebelum peringatan 17 Agustus 1946. Kelompok ini mulai membuat desain yang disempurnakan oleh Kores Siregar mahasiswa arsitek ITB yang meninggalkan bangku kuliah akibat pendudukan Jepang.
Setelah proposal dibuat, selanjutnya mereka bergerilya menggalang dana. Mereka mengajak wanita Republikein untuk mendapatkan dana. Nyonya Sukemi Ketua Peringatan HUT Pertama Proklamasi Kemerdekaan juga meminta agar sekaligus mencarikan dana untuk para pejuang di garis depan. “ Wah pekerjaan mencari dana untuk dua kepentingan cukup berat kami laksanakan,” kenang Nyonya Johanna Masdani di sebuah wawancara dengan Femina tahun 1983.
Usaha yang dilakukan dengan meminta bantuan dari rumah ke rumah warga se Jakarta. Kemiskinan di Jakarta serta waktu yang terbatas membuat jumlah yang dikumpulkan tidak banyak. Kerja keras itu hanya bisa menggalang 60 ribu uang Jepang. Sementara uang untuk membuat Tugu tersebut kemungkinan hanya habis 33 ribu uang jepang. Maka sisanya diberikan untuk pejuang di garis depan.
Setelah dibangun secara cermat sesuai dengan gambar arsitek, tugu tersebut berdiri bulan Agustus 1946. Namun masalah lain muncul, sebab kemungkinan Tugu tidak bisa diresmikan tepat pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada permintaan dari Suwiryo Walikota Jakarta yang berharap Tugu diresmikan besok harinya atau tanggal 18 Agustus 1946. Pernyataan Suwiryo ini beralasan, sebab ada perintah dari Sekutu agar penduduk Jakarta tidak melakukan kegiatan setahun peringatan proklamasi kemerdekaan. “ Mereka takut ada hal yang tidak diinginkan terjadi di hari itu,” cerita Nyonya Johanna Masdani.
Mengetahui situasi ini, Nyonya Tirta Admadja menyarankan untuk pergi menemui Perdana Menteri Syahrir yang akan tiba dari Yogjakarta naik kereta. Tepat pukul 17.00 kelompok aktifis wanita menemui Bung Syahrir dan menyampaikan masalah rencana persemian yang harus ditunda. “Kami tetap akan melaksanakan persemian apapun resikonya,” cerita Nyonya Johanna Masdani.
Sikap ngeyel para aktifis wanita itu ternyata disambut baik Bung Syahrir. Tak disangka, bung Sahrir memberikan jawaban yang membuat kami lega.” Nah, kita lakukan saja “ kata Bung syarir.
Akhirnya aktifis wanita ini segera membuat panitia. Sekitar 200 pemuda pemudi Jakarta bermalam di pegangsaan timur 56. Mereka membuat api unggun dan makan seadanya. Sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan sesekali meneriakkan yel yel” Merdeka”.
Sementara Tugu Proklamasi yang baru dibangun sudah dirias dengan cantiknya. Ada banyak bunga dengan tema merah putih. Sementara di tugu tersebut sudah diselimuti kain merah putih, yang nantinya akan dikibarkan selayaknya bendera.
Semakin tengah malam, mereka tidak bisa tidur. Sebab radio yang dinyalakan berkali-kali berisi peringatan kepada siapapun untuk tidak melakukan kegiatan di tanggal 17 Agustus 1946. Peringatan langsung dari tentara sekutu ini juga disertai ancaman tembak di tempat. Mereka juga meragukan akan kehadiran massa yang lebih banyak, setelah mendengar intimidasi dari radio.
Jarum jam terus berjalan. Pagi itu tepat tanggal 17 Agustus 1946. Nyonya Johanna Masdani sudah sibuk menunggu kawan-kawan lainnya dengan gelisah. Waktu menjelang pukul 09.00 yang berarti menjelang detik-detik proklamasi segera dibacakan. Bung Syahrir yang sudah berada di lokasi juga ikut gelisah dan menyarankan segera dimulai dengan peserta seadanya. “ Pikiran saya sudah tamat, sebab semakin siang massa belum juga tiba di lokasi,” kata Nyonya Johanna Masdani,
Berfoto bersama setelah peresmian Tugu Proklamasi selesai. diantaranya Nyonya Masdani ( kedua dari kiri) Des Alwi anak angkat Syahrir dan Nyonya Lily Sutanto ( IPPHOS)
Ternyata niat besar menggelorakan kemerdekaan dijawab baik oleh Tuhan. Beberapa kelompok pemuda mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Massa mulai membanjir di depan kawasan jalan Pegangsaan. Bahkan ada yang turun dari kereta api langsung berlari menuju belakang Pegangsaan Timur 56. Upacara tetap harus dimulai menjelang pukul 10.00, tanpa harus menunggu massa lain yang terhadang pasukan Gurka yang berjaga. “ Saya berpidato dan Bung Syahrir memberikan sambutan yang diikuti peresmian Tugu Proklamasi, kebanggan kaum wanita republik,” kata Nyonya Johanna Masdani bangga.
Di luar dugaan tepat saat detik-detik proklamasi dibacakan massa yang tidak bisa masuk ternyata bisa bergabung. Acara belangsung lancar dan sukses hingga akhir. Selesai acara, sebagian massa masih berada di sekitar Tugu Proklamasi dan tidak segera beranjak pulang.
Pasukan Gurka sambil menodongkan senjata sengaja menghambat gerakan ribuan massa yang hendak masuk mengikuti upacara satu tahun Indonesia merdeka di Jl Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta
Tugu Proklamasi Berubah dan Diubah
Sejak diresmikan, Tugu Proklamasi menjadi tempat perayaan Hari Kemerdekaan setiap tahunnya. Namun, melalui Sidang Pleno Istimewa Dewan Perancang Nasional (Deparnas) pada 13 Agustus 1960, Presiden Soekarno ingin mendirikan Tugu Proklamasi yang baru. Adapun lokasi Tugu Proklamasi yang baru itu harus berada di tempat Soekarno-Hatta berdiri membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Presiden Soekarno menginginkan Tugu Proklamasi yang baru memiliki tinggi 17 meter dengan lambang petir di atasnya. Menurut Presiden Soekarno, tugu yang diresmikan pada 1946 bukan Tugu Proklamasi, tetapi Tugu Linggarjati.
Meski mendapat protes dari banyak pihak, akhirnya Tugu Proklamasi yang lama dibongkar pada 15 Agustus 1960. Sebagai ganti dibangunlah Gedung Proklamasi, Presiden Soekarno membangun Gedung Pola yang sekarang disebut dengan Gedung Perintis Kemerdekaan. Kemudian pada 1 Januari 1961, Presiden Sukarno meresmikan pembangunan Tugu Petir.
Tugu Proklamasi dibangun kembali Setelah Presiden Soekarno dilengserkan dari kursi presiden Indonesia. Pada masa era Orde Baru tahun 1972, atas persetujuan Presiden Soeharto pembangunan kembali Tugu Proklamasi berada di lokasi yang sama dan dengan bentuk yang sama pula. Pembangunan Tugu Proklamasi baru selesai pada 15 Agustus 1972, kemudian dipasang plakat marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Tugu Proklamasi kemudian diresmikan pada 17 Agustus 1972 oleh Menteri Penerangan Budiardjo, yang mewakili Presiden Soeharto. (pul)