images/images-1742366944.jpg
Indonesiana

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

58 views

24 Comments

Save

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan
 
 
Ada kesamaan pola dalam kasus penggantian diksi "pengoplosan" jadi "blending" dengan "mudik" diganti "pulang kampung", keduanya bisa dilihat sebagai upaya untuk mengubah persepsi publik dengan bahasa yang lebih "lembut" atau netral. Dalam konteks tertentu, ini memang bisa dianggap pembodohan jika tujuannya sengaja untuk menutupi realitas atau mengelabui masyarakat agar tidak mempertanyakan substansi masalahnya.
 
Untuk kasus Pertamina seperti yang rame dibahas, "pengoplosan" diganti "blending" oleh pihak perusahaan bisa terasa seperti permainan kata. Diksi "Pengoplosan" langsung membuat orang membayangkan kecurangan, sedangkan "blending" terdengar teknis, sah, dan profesional, padahal Kejagung menduga ada manipulasi di balik proses itu yang merugikan negara dan konsumen. Efeknya, publik yang awam soal teknis kilang bisa saja "dibuai" oleh istilah ini, sementara fakta dugaan korupsinya kabur dari perhatian.
 
Sama halnya dengan "mudik" versus "pulang kampung." "Mudik" adalah tradisi spesifik di Indonesia, identik dengan perpindahan massal saat Lebaran atau hari besar, sering diasosiasikan dengan kemacetan, risiko kecelakaan, dan beban infrastruktur. Ketika pemerintah terutama saat pandemi COVID-19 mengganti "larangan mudik" jadi "hindari pulang kampung," itu terasa seperti upaya kosmetik. "Pulang kampung" lebih personal, emosional, dan tidak se-"genting" konotasinya dibanding "mudik." Padahal larangannya sama: yakni jangan bepergian. Banyak yang menilai ini cuma ganti baju kata supaya masyarakat tidak bereaksi keras atau merasa tradisinya dihambat, meskipun intinya tetap membatasi mobilitas.
 
Kedua kasus ini menunjukkan bagaimana diksi bisa jadi alat untuk framing. Dalam komunikasi publik, pilihan kata bukan cuma soal makna literal, tapi juga bagaimana ia memengaruhi emosi dan persepsi. Kalau diksi "blending" atau diksi "pulang kampung" dipakai untuk menyamarkan fakta keras, yakni korupsi di Pertamina atau urgensi larangan perjalanan, maka wajar jika kemudian disebut pembodohan.
 
Tapi, dari sisi pelaku (Pertamina atau pemerintah), mereka mungkin berdalih ini cuma soal "menjaga stabilitas" atau "menghindari kepanikan." Bedanya, publik sekarang makin kritis. Di media sosial misalnya, orang langsung menyorot dan berusaha membongkar jika ada bau-bau manipulatif bahasa kayak gini. Jadi, meski strateginya mirip, efektivitasnya buat "membodohi" malah makin diragukan karena awareness masyarakat yang naik.
 
Lalu kini ada diksi "pengoplosan" yang disamarkan jadi "blending" memang jadi salah satu poin yang bikin publik geram dalam kasus Pertamina ini. Istilah "pengoplosan" punya konotasi negatif, mengarah pada tindakan curang atau ilegal, seperti mencampur bahan berkualitas rendah untuk tujuan menipu konsumen. Sementara "blending," yang dipakai Pertamina dalam pembelaannya, adalah istilah teknis industri migas yang merujuk pada proses pencampuran komponen bahan bakar untuk memenuhi spesifikasi tertentu, misalnya RON (Research Octane Number) 92 untuk Pertamax. Secara teori, blending sah-sah saja dan memang praktik standar di kilang minyak dunia.
 
Tapi di kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga blending yang dilakukan Pertamina bukan sekadar proses teknis biasa. Menurut keterangan Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar pada Februari 2025, ada indikasi bahwa RON 90 (setara Pertalite) dicampur dengan komponen lain untuk dijual sebagai RON 92 (Pertamax), yang harganya lebih mahal. Ini diduga bagian dari modus korupsi untuk meraup keuntungan tambahan, dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun. Jadi, meskipun Pertamina bilang itu "blending" standar dan bukan "oplosan," Kejagung melihatnya sebagai manipulasi yang merugikan.
 
Pertamina membantah keras tuduhan "oplosan," dan ngotot bahwa semua proses sudah sesuai SOP, dan bahwa RON 92 Pertamax tetap memenuhi standar kualitas. Mereka bilang pencampuran itu wajar, misalnya dengan menambahkan aditif atau komponen berkualitas tinggi, bukan sekadar "meningkatkan" RON 90 jadi 92 secara asal. Tapi publik dan pengamat, termasuk di media sosial skeptis. Banyak yang julid sekaligus nyinyir, "Kalau cuma blending biasa, kenapa kok kerugian negara sebegitu gedenya?" atau "Blending kok RON-nya naik tapi kualitas di SPBU diragukan?"
 
Nahh, penggunaan diksi "blending" oleh Pertamina memang terasa seperti upaya soften the blow, alias pembodohan yang disengaja untuk meredam kecurigaan dengan istilah yang lebih netral dan nampak profesional. Ini strategi komunikasi yang sering dipakai korporasi saat krisis, tapi dikasus ini malah bikin orang makin curiga. Apalagi, laporan Kejagung soal markup impor dan penolakan minyak lokal memperkuat narasi bahwa ada permainan di balik proses yang diklaim "teknis" ini. Jadi, wajar kalau publik bilang "pengoplosan" disamarkan jadi "blending". Persepsi itu lahir dari ketidakpercayaan yang sudah mengakar. Sampai penyidikan selesai dan ada bukti teknis jelas (misalnya hasil uji laboratorium independen), debat diksi ini bakal terus jadi amunisi kritik.
 
Bagaimana jika diksi "korupsi" diganti "maling" atau "rampok," memang bakal ada efek yang jauh lebih keras dan langsung ke persepsi publik. "Korupsi" itu sendiri sudah jadi istilah resmi yang sering dipakai di hukum dan birokrasi, bahasa yang dingin, teknis, dan kadang terasa jauh dari emosi rakyat biasa. Sementara "maling" atau "rampok" lebih mentah, dekat dengan bahasa sehari-hari, dan langsung membangkitkan gambar seseorang yang nyata-nyata mencuri atau merampas hak orang lain. Dampaknya, orang mungkin bakal lebih geram dan merasa kejahatannya lebih nyata, ketimbang cuma mendengar "korupsi" yang sering tumbuh karena terlalu sering diulang.
 
Bayangin kalau Kejagung bilang, "Kami tangkap sembilan pelaku perampokan di Pertamina dengan kerugian negara Rp 193,7 triliun," dibanding "Kami tetapkan sembilan tersangka korupsi di Pertamina." Kalimat pertama langsung bikin orang ngerasa, "Wah, ini bandit beneran!" "Bajingan beneran...!" Emosi publik bisa lebih terpicu, dan tekanan ke penegak hukum buat bertindak cepat mungkin juga akan naik. "Maling" atau "rampok" punya daya pukul yang lebih personal, gak cuma soal angka, tapi juga rasa kehilangan yang lebih dekat ke hati.
 
Tapi, ada sisi lain. Pemerintah atau korporasi mungkin sengaja pakai diksi "korupsi" karena istilah itu lebih "steril" dan gak terlalu provokatif. Kata seperti "maling" atau "rampok" bisa bikin situasi memanas, apalagi di tengah distrust publik yang sudah tinggi. Di medsos, misalnya, orang sering pake istilah-istilah kasar kayak gitu buat ngamuk soal kasus Pertamina. Pertamina "Rampok rakyat!" atau "Maling minyak!", dan itu bikin narasi jadi lebih liar dan sulit dikontrol. Jadi, "korupsi" mungkin dipilih biar tetap ada jarak emosional, meski buat rakyat efeknya malah terasa dingin dan jauh.
 
Kalau beneran diganti, mungkin bakal ada perubahan kultur juga. Hukuman buat "koruptor" sekarang sering dirasa ringan, orang cuma bilang, "Ah, cuma korupsi biasa." Tapi kalau disebut "perampok," publik bisa lebih militan minta hukuman maksimal, bahkan teriak-teriak "hukum mati!" kayak di kasus perampokan bersenjata. Dan penegak hukum juga bakal ketar-ketir kalau gak serius tangani "rampok" ketimbang "koruptor." Jadi, dari segi framing, ini bisa jadi senjata ampuh buat membangun kesadaran, sekaligus berisiko bikin chaos kalau gak diimbangi penegakan hukum yang tegas.(Mda)
 
Kopi_kir sendirilah!
*Gn Soputan DPS, 04/03/2025

Artikel lainnya

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Sikap Kritis PDIP Terhadap Danantara

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Pertamina sebagai "Mesin Uang" Politik

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Prabowo dan Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Dari Hero ke Blunder

Malika D. Ana

Mar 23, 2025