images/images-1742365441.jpeg
Indonesiana

Korupsi di Pertamina dari Perspektif Konsumen

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

51 views

24 Comments

Save

 
Korupsi di Pertamina dari Perspektif Konsumen
 
 
Dari perspektif konsumen, Pertamina seharusnya akui kesalahan mereka kalau memang terbukti ngoplos BBM. Seperti  kasus Pertalite (RON 90) yang dicampur jadi Pertamax (RON 92) atau Pertamax Turbo yang oktannya ternyata cuma 91-92 padahal diklaim 98. Konsumen kan bayar mahal buat kualitas yang dijanjikan, jadi wajar kalau mereka merasa berhak mendapatkan yang terbaik, bukan produk yang diragukan keasliannya. Langkah cepat buat ganti rugi juga bisa nunjukin itikad baik, sekaligus menyelamatkan reputasi Pertamina yang sudah ancur banget.
 
Bayangkan, orang beli Pertamax Rp14.000-15.000 per liter (tergantung daerah) atau Pertamax Turbo yang lebih mahal lagi, harapannya mesin awet dan performa maksimal. Tapi kalo ternyata oktannya gak sesuai, mereka bukan cuma rugi duit, tapi juga resiko mesin knocking atau rusak, itu kerugian nyata yang gak kecil. Apalagi Kejagung sudah bilang ada kerugian negara Rp193,7 triliun. Kalau konsumen dirugikan massal, angka itu bisa jadi cuma puncak gunung es, karena ada dugaan bahwa nilainya sampai 1000 T atau 1 kuadriliun, fantastis kan ya... kebayang misal duwit segitu dibeliin es cendol dapet berapa ya?
 
Yang jadi pertanyaan berkecamuk kemudian, kenapa Pertamina ngga ngaku dan gerak cepet?
 
Jawabannya bisa jadi mungkin karena:
1. Takut Domino Effect: Ngaku salah berarti buka pintu buat gugatan massal, baik dari konsumen maupun mitra bisnis. Ganti rugi bisa nyampe triliunan lagi, dan mereka mungkin gak siap finansial atau takut jadi preseden buruk.
2. Pride dan Politik: Sebagai BUMN gede, ngaku salah itu kayak noda besar buat citra mereka dan pemerintah. Mereka mungkin berharap bisa redam isu ini lewat investigasi internal atau narasi “kami sesuai SOP” biar gak keliatan lelet.
3. Belum Ada Tekanan Maksimal: Konsumen sudah vokal diberbagai platform media sosial. Banyak yang bilang “Pertamina bohong” atau “bayar mahal dapet oplosan” tapi belum ada aksi kolektif yang kuat, kayak boikot masal atau gugatan kelas yang didukung lembaga konsumen. BPKN dan YLKI sepertinya masih tahap ngumpulin data, belum gerak agresif.
 
Harusnya, kalau Pertamina bijak, mereka bisa ambil langkah misalnya:
- Akui saja ada masalah di proses produksi atau distribusi (gak harus bilang “oplosan” kalau mereka memang anti menggunakan kata itu).
- Lalu tarik BBM bermasalah dari SPBU.
Kasih kompensasi ke konsumen, misalnya voucher BBM gratis atau diskon buat yang bisa buktiin beli produk mereka dalam periode tertentu.
 
Tapi nyatanya, mereka malah denial, bilang blending itu legal dan produknya aman, padahal publik sudah lari ke Shell atau BP. Konsumen pantas jadi prioritas, mereka bukan cuma pelanggan, tapi tulang punggung bisnis Pertamina. Pen misuh ndasmuuu gak?!
 
Jadi, apa yang bisa membuat Pertamina akhirnya nyadar dan bertindak cepet seperti diatas? Tekanan publik yang lebih gede, atau mungkin campur tangan presiden langsung?(Mda)
 
 
Kopi_kir sendirilah!
Ujung garasi, 28/02/2025

Artikel lainnya

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Sikap Kritis PDIP Terhadap Danantara

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

Pertamina sebagai "Mesin Uang" Politik

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Prabowo dan Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Dari Hero ke Blunder

Malika D. Ana

Mar 23, 2025