Sudah menjadi "rahasia umum" di kalangan pengamat dan masyarakat bahwa Pertamina sebagai "mesin uang" untuk gerakan politik dan kepentingan kelompok berkuasa. Pola ini, seperti yang dibilang; "mengganti mafia lama dengan mafia baru", bukan hal baru dan tampaknya terus berulang, seolah jadi bagian dari DNA perusahaan ini di bawah berbagai rezim. 

 

Sejak era Ibnu Sutowo di Orde Baru, Pertamina memang sudah menjadi alat politik. Dulu, dana dari proyek-proyek besar dialirkan untuk mendukung agenda Soeharto, baik lewat pembiayaan Golkar maupun proyek mercusuar yang menguatkan citra kekuasaan. Ketika Pertamina kolaps tahun 1975, utangnya dilimpahkan ke negara, tapi elit yang diuntungkan tetap aman. Pola ini berlanjut pasca-Reformasi: Pertamina sering jadi "sapi perah" untuk kepentingan kelompok tertentu, entah itu partai politik, elit bisnis, atau jaringan kekuasaan di balik layar. Pengamat seperti Faisal Basri kerap menyebut bahwa BUMN strategis seperti Pertamina rawan menjadi bancakan karena kontrol politiknya kuat, sementara pengawasan lemah.

 

Kasus 2018-2023 yang sekarang ramai, kerugian Rp193,7 triliun di 2023 saja bisa dilihat sebagai contoh terbaru. Skema mark-up impor minyak, blending BBM, dan kontrak dengan pihak swasta tertentu (seperti PT Navigator Khatulistiwa) tidak mungkin berjalan lama tanpa sepengetahuan atau restu level atas. Munculnya nama-nama seperti anak-anak Mohammad Riza Chalid, saudagar minyak yang punya jejaring politik luas, memperkuat dugaan bahwa ini bukan sekadar korupsi "teknis," tapi ada dimensi politik yang lebih besar.

 

Pertanyaannya: ke mana dana itu mengalir?

 

Bisa jadi ke kantong pribadi, tapi tak tertutup kemungkinan juga ke pendanaan mesin-mesin politik; kampanye, lobi, atau konsolidasi kekuasaan. Ada pola "mengganti mafia lama dengan jalur mafia baru." Ini terlihat dari sejarah pergantian kepemimpinan dan kebijakan di Pertamina. Setiap rezim baru biasanya "membersihkan" jejaring lama entah lewat audit, reshuffle direksi, atau kasus hukum, tapi ujungnya sering kali hanya menggantikan pemain, bukan sistemnya. Era Ibnu Sutowo digantikan oleh figur-figur baru pasca-1976, tapi praktik kontrak bermasalah tetap ada. 

 

 

Di era Reformasi, kasus seperti Karen Agustiawan (divonis 2024) atau skandal sebelumnya di Blok Natuna menunjukkan hal serupa: ada "pembersihan," tapi jejaring baru muncul dengan modus yang diperbarui. Kasus sekarang punya aroma yang mirip. Penyidikan Kejagung di 2025, yang baru mengungkap kasus 2018-2023, bisa diartikan sebagai bentuk "mengganti mafia lama." Dugaan bahwa skema ini baru terbongkar karena ada pergeseran kekuasaan, mungkin pelindung lama melemah...ini menguatkan tesis soal pergantian mafia. Tapi mafia baru biasanya lahir dari celah yang sama, yakni pengendalian politik atas Pertamina, leletnya reformasi tata kelola BUMN, dan minimnya transparansi. Misalnya, pengondisian agar minyak lokal tak terserap dan impor dimark-up menunjukkan ada "jalur baru" yang dibangun untuk menguntungkan pihak tertentu, entah itu broker swasta atau elit di belakangnya.

 

Siapa yang diuntungkan?

 

Jika Pertamina memang menjadi mesin uang politik, maka yang diuntungkan adalah kelompok yang berkuasa, siapapun mereka pada masanya. Di era Orde Baru, itu jelas Soeharto dan kroni. Di masa kini, sulit menunjuk nama spesifik tanpa bukti, tapi polanya mengarah ke koalisi politik, elit bisnis energi, dan mungkin oknum di pemerintahan yang punya kuasa atas kebijakan migas. Fahmy Radhi, pengamat energi UGM, bilang mafia migas ini punya backing yang kuat, mungkin sampai ke level legislatif atau eksekutif, yang membuatnya sulit dibongkar total. Dana dari korupsi ini bisa dipakai untuk apa saja: dari pendanaan Pemilu (yang biayanya triliunan), konsolidasi partai, hingga proyek-proyek "pencitraan" yang menguntungkan kelompok tertentu.

 

Sistemnya sendiri yang memungkinkan pola ini terus berulang, jadi sulit untuk berubah. Pertamina, sebagai BUMN strategis, terlalu besar dan politis untuk dibiarkan murni profesional. Pengangkatan direksi sering dipengaruhi pertimbangan politik, bukan kompetensi. Ditambah lagi, UU Migas yang ada belum cukup kuat untuk mengisolasi Pertamina dari intervensi. Jadi, meski mafia lama diganti, mafia baru akan selalu punya ruang. Selama sistemnya tak dirombak total dan publik tak punya kuasa nyata untuk mengawasi.

 

Rahasia umum itu boleh jadi benar, bahwa Pertamina sering menjadi mesin uang politik, dan kasus 2018-2023 ini sepertinya cuma babak terbaru dari drama lama. Pola mengganti mafia lama dengan jalur baru terlihat jelas dari era Ibnu Sutowo sampai sekarang. Tapi siapa yang berkuasa dan mengeruk, itu berganti-ganti tergantung zaman. Yang konstan adalah sistem yang membiarkan ini terjadi. Kejagung mungkin menangkap beberapa pelaku sekarang, tapi tanpa perubahan mendasar, déjà vu ini bakal terus berulang, hanya pemainnya yang ganti kostum.(Mda)

 

Kopi_kir sendirilah!

Abiansemal, 06/03/2025