images/images-1743093836.jpeg
Indonesiana

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

57 views

24 Comments

Save

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset
 
 
Kebijakan perampasan aset yang seolah lebih menargetkan rakyat kecil ketimbang elit korup, serta kontradiksi dengan wacana Perpu Perampasan Aset sebagai pengganti UU yang tak kunjung rampung. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sudah mengendap belasan tahun di DPR, terakhir masuk Prolegnas Prioritas 2023 dan 2024, tapi hingga kini belum disahkan. Presiden Jokowi pernah mendorongnya via Surat Presiden (No. R-22/Pres/05/2023), tapi DPR tak kunjung bergerak. Ide Perpu muncul sebagai solusi cepat karena presiden punya wewenang mengeluarkan Perpu dalam "keadaan darurat" (Pasal 22 UUD 1945). Tujuannya mulia, yakni merampas aset hasil tindak pidana (korupsi, narkoba, dan lain-lain) tanpa menunggu putusan pengadilan, sesuai Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) 2003 yang diratifikasi Indonesia via UU No. 7/2006.
 
Namun, seperti yang disorot publik, realitas di lapangan justru berbanding terbalik, justru aset rakyat kecil yang disita, bukan aset koruptor besar.
 
Aset Rakyat yang dirampas antara lain:
1. Surat Kendaraan Mati 2 Tahun
Aturan: Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Pasal 74), kendaraan yang tidak didaftarkan ulang selama 2 tahun setelah masa berlaku STNK habis akan dihapus dari registrasi. Polisi, seperti dijelaskan Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto pada 2024, bisa menyita kendaraan tersebut karena dianggap tidak sah lagi.
Praktiknya mulai 2024, kebijakan ini ditegakkan lebih ketat di beberapa daerah. Kendaraan disita, data registrasi dihapus, dan pemilik kehilangan hak kepemilikan meski kendaraan itu aset pribadi yang sah dibeli.
Banyak warga protes karena ini dianggap sebagai "perampasan" tanpa kompensasi atau proses hukum yang jelas. Padahal, keterlambatan bayar pajak sering terjadi karena faktor ekonomi, bukan niat melanggar.
2. Tanah Rakyat Disita tanpa Justifikasi yang jelas. Beberapa laporan kasus dimana tanah dengan surat lengkap (SHM/SHGB) dan PBB rutin dibayar tiba-tiba diklaim negara atau pihak lain tanpa alasan hukum yang transparan. Contohnya, konflik agraria atau proyek infrastruktur dimana kompensasi tak adil atau proses ganti rugi diabaikan.
 
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) seharusnya melindungi hak atas tanah yang sah. Namun, praktik "pengadaan tanah untuk kepentingan umum" (UU No. 2 Tahun 2012) sering jadi alasan untuk menyita tanah rakyat denga semena-mena, sering tanpa prosedur yang sesuai Pasal 33 UUD 1945 (hak atas kepemilikan dilindungi). Realitas justifikasi sering kabur, dan warga kecil sulit melawan karena biaya hukum itu tinggi atau malah mendapatkan intimidasi.
 
Target awal diwacanakan Perpu Perampasan Aset didesain untuk menjerat aset koruptor, seperti kasus Surya Darmadi (kerugian negara Rp48 triliun), dengan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCBAF). Aset senilai Rp100 juta ke atas atau terkait pidana 4 tahun penjara bisa dirampas tanpa menunggu pelaku dihukum.
 
Namun menjadi ironi karena realitasnya alih-alih koruptor besar (yang asetnya triliunan) yang disasar, yang terdampak justru rakyat biasa. Kendaraan disita karena STNK mati, tanah diambil tanpa ganti rugi memadai, sementara aset elit pemerintah atau kroni politik tetap utuh. Hingga ada statemen keresahan publik: "RUU Perampasan Aset ditahan-tahan, malah diputar balik ke rakyat. Lupa bayar PBB, tanah disita; lupa pajak motor, kendaraan hilang."
 
Hal ini terjadi karena kepentingan Elit, bahwa DPR dan pemerintah didominasi oleh elit yang punya aset "abu-abu" (terkait korupsi, gratifikasi dan lain-lain). Perpu yang agresif bisa menjadi boomerang ke mereka.
 
Selain itu berdasarkan prioritas kebijakan, pemerintahan Prabowo lebih fokus pada program populis (makan bergizi gratis, ketahanan pangan) ketimbang reformasi hukum yang berisiko politis.
 
Juga kelemahan sistem bahwa penegakan hukum yang lebih selektif ke rakyat kecil yang jadi sasaran mudah karena tak punya kuasa dan kekuatan untuk melawan, sementara koruptor besar dilindungi jaringan politik.
 
Idealnya Perpu Perampasan Aset harus menargetkan aset hasil tindak pidana besar (korupsi, narkoba) dengan mekanisme NCBAF, melindungi rakyat kecil dari penyitaan sewenang-wenang. Misalnya, kendaraan STNK mati cukup didenda, bukan disita; tanah dengan PBB rutin dilindungi kecuali ada bukti kuat pelanggaran.
 
Namun, tanpa tekanan publik masif atau polical will yang kuat, Perpu ini tak akan lahir, apalagi diarahkan ke elit. Malah, aturan seperti penyitaan kendaraan atau tanah rakyat terus berjalan karena lebih "aman" bagi penguasa.
 
Menjadi ironi bahwa wacana Perpu Perampasan Aset yang katanya untuk keadilan malah kontras dengan praktik di lapangan yang "merampas" aset rakyat kecil; kendaraan disita karena STNK mati 2 tahun, tanah diambil meski PBB rutin dibayar. Ini bukan soal Perpu itu sendiri, tapi soal political will. Prabowo, dengan latar belakangnya, kecil kemungkinan akan tega "memukul" elit misalnya mantan presiden Jokowi, DPR, elit Pertamina, pengemplang pajak atau kroni militer dan lain-lain. Jadi, yang dirampas tetap aset rakyat, sementara koruptor besar tertawa di balik layar. Tanpa revolusi sistemik, "raja tega" yang diharapkan sulit muncul.(Mda)
 
 
Kopi_kir sendirilah!
*Malawu_OmahKopi, 20/03/2025

Artikel lainnya

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Sikap Kritis PDIP Terhadap Danantara

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

Pertamina sebagai "Mesin Uang" Politik

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Prabowo dan Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Dari Hero ke Blunder

Malika D. Ana

Mar 23, 2025