images/images-1742370800.jpg
Sejarah
Data
Indonesiana
Tokoh

Korupsi di Pertamina, Pola Lama dalam Wajah Baru

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

94 views

24 Comments

Save

Korupsi di Pertamina, Pola Lama dalam Wajah Baru
 
 
Jika membandingkan kasus korupsi Pertamina saat ini dengan era kepemimpinan Ibnu Sutowo, memang ada kesan "déjà vu" yang kuat jika kita lihat pola-pola tertentu. Ibnu Sutowo, yang memimpin Pertamina dari akhir 1960-an hingga pertengahan 1970-an, dikenal sebagai figur kontroversial: disatu sisi membawa Pertamina menjadi raksasa energi nasional, disisi lain ia meninggalkan warisan skandal korupsi dan utang yang monumental. Mari kita tarik benang merahnya dengan kasus sekarang, sambil melihat apakah sejarah benar-benar berulang.
 
Pada masa Ibnu Sutowo, Pertamina tumbuh pesat dari perusahaan minyak biasa menjadi konglomerasi yang punya kapal tanker, maskapai penerbangan, bahkan hotel seperti Hilton. Tapi megahnya ambisi ini didanai dengan utang besar-besaran, termasuk pinjaman jangka pendek dari bank asing yang tidak sesuai kapasitas. Pada 1975, Pertamina kolaps dengan utang US$10,6 miliar (setara ratusan triliun rupiah saat ini), memicu krisis ekonomi nasional. Penyelidikan menemukan banyak penyimpangan: kontrak-kontrak "aneh" dengan pihak swasta, mark-up biaya proyek, dan dugaan aliran dana ke kantong pribadi serta proyek-proyek non-migas yang tidak jelas. Ibnu disebut-sebut punya "backing" kuat dari Soeharto, yang membuatnya sulit disentuh hukum. Meski akhirnya dicopot pada 1976, dia tidak pernah benar-benar diadili, dan kasusnya menguap meninggalkan kesan impunitas.
 
Apakah kasus korupsi di Pertamina dari 2018-2023 merupakan Pola Lama dalam Wajah Baru?
 
Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina (2018-2023) yang ditaksir rugikan negara Rp193,7 triliun di 2023 nampaknya punya kemiripan mencolok. Pertama, modus manipulasi bisnis: dulu ada kontrak tanker dan proyek mercusuar yang meragukan, sekarang ada mark-up impor minyak mentah dan BBM via broker, blending atau oplosan BBM RON 90 jadi RON 92, serta pengondisian agar produksi lokal tak terserap. Kedua, dari skala kerugian sama-sama fantastis untuk zamannya. Dahulu miliaran dolar, sekarang triliunan rupiah. Ketiga, dugaan backing seperti era Ibnu yang didukung Soeharto. Dan kini kasus yang hampir sama berlangsung tanpa terdeteksi (2018-2023), baru terbongkar di 2025, yang memunculkan spekulasi adanya pelindung kuat yang baru "lengser" atau kehilangan pengaruh. Bedanya, kalau dulu lebih ke arah ekspansi liar dan manajemen ceroboh yang bercampur korupsi, sekarang lebih terstruktur melibatkan jaringan pejabat Pertamina dan swasta (misalnya PT Navigator Khatulistiwa atau anak-anak Riza Chalid) dalam skema yang sistematis. Tapi esensinya mirip, yakni Pertamina menjadi "sapi perah" bagi elit tertentu, dengan rakyat dan negara yang menanggung akibatnya; dulu berakibat krisis ekonomi, sekarang BBM oplosan dan harganya tinggi.
 
 
 
Yang membuat perbandingan ini terasa "déjà vu" adalah soal hukum(Déjà Vu dalam Penegakan Hukum). Ibnu Sutowo tak pernah diadili serius meski ada penyelidikan, kasusnya ditutup dengan alasan "stabilitas nasional," tipikal sangat Orde Baru. Sekarang, Kejagung memang sudah menetapkan sembilan tersangka dan menggeledah banyak lokasi, tapi ada keraguan yang sangat di benak khalayak apakah proses ini akan tuntas atau berhenti ditengah jalan seperti dulu. Publik masih ingat kasus-kasus besar lain yang mandek, dan persepsi "hukum pro koruptor" menguat karena preseden seperti ini. Bedanya, tekanan publik dan media sosial di 2025 jauh lebih besar ketimbang era 1970-an, mungkin menjadi faktor pendorong agar kasus kali ini tak sekadar jadi "kenangan buruk" yang menyisakan traumatis lagi.
 
Pertamina kembali jadi ladang korupsi berskala raksasa, dengan pola manipulasi bisnis dan dugaan pelindung kuat yang mirip era Ibnu Sutowo. Tapi konteksnya beda: dulu lebih personalistik dibawah satu figur, sekarang lebih kolektif dan terorganisir. Pertanyaannya, apakah akhir ceritanya juga sama, pelaku lolos, dan rakyat yang bayar tagihan? Atau 2025 jadi titik balik dimana hukum akhirnya "belajar" dari sejarah? Sejauh ini, langkah Kejagung menjanjikan, tapi bayang-bayang masa lalu Ibnu Sutowo tetap mengintai. Sebuah pengingat bahwa tanpa perubahan sistemik, sejarah akan terus berulang.(Mda)
 
Kopi_kir sendirilah!
Malang, 08/03/2025

Artikel lainnya

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Sikap Kritis PDIP Terhadap Danantara

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

Pertamina sebagai "Mesin Uang" Politik

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Prabowo dan Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Dari Hero ke Blunder

Malika D. Ana

Mar 23, 2025