images/images-1742743631.jpg
Indonesiana

Blunder Yang Dilakukan Prabowo

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

81 views

24 Comments

Save

Blunder Yang Dilakukan Prabowo
 
 
Beberapa blunder signifikan yang dikaitkan dengan Prabowo Subianto, baik dari masa lalu maupun masa kepresidenannya hingga Maret 2025, berdasarkan fakta dan sentimen publik yang terdeteksi antara lain:
Blunder Historis dalam kasus Penculikan Aktivis 1998. Konteksnya sebagai mantan Danjen Kopassus, Prabowo dikaitkan dengan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi menjelang jatuhnya Soeharto. Dokumen rahasia AS (dirilis 2018) menyebut ia memerintahkan Kopassus untuk operasi ini. Dewan Kehormatan Perwira (DKP) memecatnya dari militer pada Agustus 1998. Meski ia mengklaim hanya menjalankan perintah, ini menjadi noda permanen dalam kariernya, dan memicu tuduhan pelanggaran HAM yang terus menghantui hingga Pilpres 2024.
 
Pernyataan Kontroversial Pra-Pilpres yang blunder. Contohnya; "Indonesia bubar 2030" (2018), diambil dari novel Ghost Fleet, ditafsirkan sebagai prediksi liar dan memicu kritik. Juga pernyataan "tampang Boyolali" (2018), yang dianggap menghina warga biasa, memaksa ia minta maaf. Gaya komunikasinya yang impulsif kerap jadi bumerang, memperkuat citranya yang gegabah.
 
Dimasa Kepresidenan (2024-2025), hingga Maret 2025, beberapa kebijakan atau keputusan Prabowo sebagai presiden menuai kritik sebagai "blunder"; adalah pengangkatan prajurit aktif di jabatan sipil dalam kasus penunjukan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, meski ia prajurit TNI aktif, melanggar Pasal 47 UU No. 34/2004. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 47 memang mengatur ketentuan mengenai penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil. Secara spesifik:
Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa "Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan." Artinya, secara umum, prajurit TNI aktif dilarang merangkap jabatan sipil kecuali mereka telah keluar dari dinas aktif.
 
Pasal 47 ayat (2) memberikan pengecualian, di mana prajurit aktif diperbolehkan menduduki jabatan tertentu di lingkungan sipil, yaitu pada 10 kementerian/lembaga yang secara eksplisit disebutkan, seperti kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
 
Jika ada prajurit TNI aktif yang menempati jabatan sipil diluar daftar pengecualian tersebut tanpa mengundurkan diri atau pensiun dini, maka hal ini bisa dianggap melanggar ketentuan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004. Terkait Pasal 47 ini, dugaan "blunder" kemungkinan merujuk pada kebijakan atau keputusan Presiden Prabowo Subianto yang melibatkan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil diluar pengecualian yang diizinkan UU tersebut. Salah satu kasus yang sering disebut-sebut adalah pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya, seorang prajurit TNI aktif, sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab).
 
Jabatan Sekretaris Kabinet tidak termasuk dalam 10 pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Berdasarkan aturan, jika Mayor Teddy ingin menduduki jabatan tersebut secara sah, ia harus mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif TNI terlebih dahulu. Pengangkatan ini menuai kritik karena dianggap melanggar UU TNI dan mencerminkan potensi kembalinya praktik dwifungsi militer, yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menegaskan supremasi sipil.
 
Pemerintahan Prabowo juga sedang mendorong revisi UU Nomor 34 Tahun 2004, khususnya Pasal 47, untuk memperluas jumlah kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 16. Usulan ini mencakup tambahan jabatan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Namun, sejauh ini revisi ini masih dalam tahap pembahasan di DPR dan belum disahkan. Dengan demikian, pengangkatan prajurit aktif di jabatan sipil diluar 10 pengecualian yang ada saat ini tetap dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU yang berlaku.
 
Jadi merujuk pada keputusan Prabowo untuk menempatkan prajurit TNI aktif, seperti Mayor Teddy, di jabatan sipil yang tidak termasuk dalam pengecualian Pasal 47 ayat (2) tanpa proses pengunduran diri atau pensiun dini. Hal ini bertentangan dengan UU TNI yang berlaku saat ini dan memicu kontroversi serta tuduhan bahwa Prabowo sedang mencoba mengembalikan pengaruh militer dalam ranah sipil, mengingat latar belakangnya sebagai mantan jenderal TNI. Namun, karena revisi UU masih berlangsung, keputusan ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi politik yang lebih luas, meskipun secara hukum tetap bermasalah hingga perubahan UU resmi diberlakukan.
 
Dalam Inpres No. 1/2025 tentang Efisiensi Belanja (Januari 2025) memangkas anggaran kementerian hingga 50-90%, termasuk perjalanan dinas dan THR PNS. Anggaran mitigasi bencana juga terpotong, dikritik saat banjir besar melanda awal 2025. Ekonom seperti Yudistira Hendra Permana (UGM) menyebut ini "desperatif," merusak daya beli dan sektor UMKM, serta melemahkan respons terhadap bencana. Publik bilang, "Rakyat jadi korban, elit aman." Ini blunder dalam efisiensi anggaran yang kontroversial.
 
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga menjadi blunder. Diluncurkan Januari 2025 dengan Rp71 triliun, tapi realisasinya minim hanya 19,47 juta dari 82,9 juta target penerima. Biaya diperkirakan membengkak ke Rp400 triliun setahun, memicu defisit APBN hingga 2,9% PDB (Rp800 triliun). Pakar UGM menilai perencanaan buruk dan eksekusi lelet. Sentimen di medsos menyebut bahwa, "Makan tidak bergizi, tidak gratis, dan tidak transparan."
 
Lalu Kabinet Gemuk dan Koalisi Berlebihan juga menjadi blunder. Faktanya, Kabinet Merah Putih punya 48 menteri dan banyak wakil menteri, ditambah badan baru seperti Badan Gizi. Celios prediksi pembengkakan anggaran Rp1,95 triliun dalam 5 tahun. Dinilai akomodatif-transaksional, bukan profesional. Koordinasi sulit, efisiensi hilang, dan publik kecewa karena janji "pemerintahan ramping" tak terpenuhi.
 
Konteks saat publik menuntut Jokowi diadili atas nepotisme dan warisan fiskal, Prabowo malah teriak "Hidup Jokowi" di acara publik (Maret 2025), dilihat sebagai pembelaan pada sekutu lama. Lagi-lagi blunder, karena gesture politiknya ke Jokowi... Ini memancing kemarahan rakyat yang ingin akuntabilitas, memperdalam persepsi Prabowo "lugu" atau terjebak loyalitas politik.
 
Jika dianalisis berdasarkan pola, blunder Prabowo sering berasal dari impulsivitas (pra-2024) dan kini dari keputusan yang prioritasnya dipertanyakan (kebijakan fiskal, militer di jabatan sipil). Ini kontras dengan citranya sebagai "jenderal tegas." Dampaknya, approval rating-nya (80% pada Februari 2025 menurut UGM) mulai diragukan karena eksekusi program lemah dan respons publik negatif di medsos, seperti "Indonesia gelap" atau "mitigasi bencana nol."
 
Kesimpulannya, blunder Prabowo mencakup pelanggaran hukum (kasus Teddy), kebijakan fiskal yang gegabah (dalam efisiensi anggaran, dan program MBG), dan gestur politik yang salah baca (dukung Jokowi). Hingga Maret 2025, ini menunjukkan tantangan besar bahwa ia belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalu dan belum solid mengelola ekspektasi rakyat.(Mda)
 
Kopi_kir sendirilah!
*Lereng Lawu, 18/03/2025

Artikel lainnya

Ironi Wacana Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Perubahan Diksi dan Proses Pembodohan

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Sikap Kritis PDIP Terhadap Danantara

Malika D. Ana

Mar 23, 2025

Pertamina sebagai "Mesin Uang" Politik

Malika D. Ana

Mar 19, 2025

Prabowo dan Perpu Perampasan Aset

Malika D. Ana

Mar 27, 2025

Dari Hero ke Blunder

Malika D. Ana

Mar 23, 2025