Pasar malam Gambir tahun 1923. Foto keluarga RM Pujodo
abad.id-Semua orang pasti mengenal pasar malam. Sebuah arena mirip pasar kaget yang digelar pada malam hari. Pasar malam selalu berpindah-pindah tempat, dan identik dengan festival atau fair. Ditempat itu disediakan stan jualan barang, panganan dan pameran hasil pembangunan, juga disediakan wahana permain anak-anak. Seperti komidi putar, bianglala dan kereta api mini, tong edan (atraksi motor setan) serta atraksi sircus.
Untuk jualan panganan tersedia es krim, roti bakar, burger, hingga kembang gula gulali. Sedangkan atraksi sircus selalu mengundang binatang liar seperti gajah, singa, ikan lumba-lumba dan monyet. Pasar malam biasanya digelar satu sampai beberapa hari dalam sepekan. Pasar ini juga identik dengan tawar-menawar harga antara penjual dan pembeli.
Pasar malam jaman sekarang sudah menjadi arena yang menguntungkan secara ekonomi. Banyak yang memanfaatkan pasar malam untuk ajang mengumpulkan uang dengan cara transaksi dagang, juga hasil dari jasa lain seperti tiket masuk, parkir kendaraan hingga jasa penitipan barang. Ada juga hasil dari kegiatan pasar malam untuk aksi swadaya membangun masjid, pondok pesantren dan gedung balai desa. Di Jakarta misalnya, pasar malam yang paling terkenal dikelola secara moderen bernama Jakarta Fair yang digelar memperingati HUT Jakarta.
Pasar malam di Solo tahun 1939. Foto keluarga RM Pujodo
Lalu, bagaimana sejarah lahirnya pasar malam. Pasar malam merupakan proses transaksi dagang yang dilaksanakan pada malam hari, layaknya pasar tradisional yang beroperasi di siang hari. Segala hal yang diperjualbelikan sama seperti pasar tradisional, yang membedakan hanyalah waktunya malam hari. Pengelola pasar malam biasanya unit kelompok dan siap berpindah tempat. Maka perangkat yang dimiliki semuanya mudah bongkar pasang. Seperti tenda, panggung dan stan.
Dalam catatan sejarah, pasar malam sudah ada dan sudah mulai beroperasi sejak abad ke-6 dan ke-7 M masa Dinasti Sui, Tiongkok. Sedangkan di Indonesia, pasar malam sudah ada dari masa kolonial Belanda, dimulai sejak tahun 1870 atau setelah terbitnya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang Gula (Saka Wet) oleh Pemerintahan Hindia-Belada.
Paling berkesan saat itu Pasar Malam Gambir di tahun 1923. Awalnya pasar malam hanya dihadiri beberapa stan dan lebih banyak pengunjungnya. Bahkan pengunjung rela antri masuk dan para pedagang kehabisan barang yang dijual. Setiap tahun selalu ada perbaikan dan penambahan stan yang dipamerkan. Hingga pada tahun 1938, pintu gerbang pasar malam diperlebar agar pengunjung mudah masuk.
Pasar Malam di Semarang tahun 1937. Foto keluarga RM Pujodo
Di Semarang pada tahun 1937 sering digelar pasar malam. Serta tahun berikutnya digelar di Bandung yang dingin. Para pemilik stan rela memboyong perangkat dan dagangannya dari Semarang ke Bandung yang jaraknya sangat jauh. Sedangkan di Jember, pasar malam digelar di sebuah lapangan dan didukung seorang juragan tembakau. Pasar malam di Jember digelar usai warga menerima upah kerja setelah panen kopi dan tembakau, sehingga dipastikan warga memiliki uang. Para pedagang dan pemilik stan datang dari Surabaya dan Solo, sedangkan pengunjungnya dari kabupaten lain warga Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi. Tidak jarang pengunjung rela tidur di lapangan meskipun stan sudah ditutup.
Ada banyak dampak ditimbulkan dari adanya pasar malam, yaitu munculnya kegiatan ekonomi dan mengenalkan hasil pembangunan. Salah satu bukti yaitu pesatnya pertumbuhan industri perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Sejak akhir abad ke-19 di Sumatera Timur sudah menjadi pusat industri perkebunan modern. Perusahaan perkebunan (onderneming) yang ada di Sumatera Timur milik bangsa asing lainnya seperti warga Jerman, Polandia, Amerika Serikat.
Pertumbuhan industri ini telah menyerap tenaga kerja. Mereka direkrut dan dipekerjakan di perkebunan dan industri dengan upah bulanan atau perjanjian kerja saat panen. Para pekerja pekerbunan juga didatangkan dari luar negeri, misalnya dari warga Tiongkok, dan India.
Sebelum mereka mulai bekerja, kuli-kuli terlebih dahulu diikat dengan perjanjian kerja atau yang lebih dikenal dengan kontrak. Kontrak ini biasanya disetujui selama satu tahun dan gaji diberikan di awal sebelum mulai kerja.
Tenrnyata pekerjaan di perkebunan sangat berat. Ancaman penyakit malaria, kurang gizi, binatang buas hingga konflik antar buruh sering berujung kematian. Akhirnya banyak kuli memilih melarikan diri karena tidak tahan menanggung beban kerja. Setelah banyak kuli perkebunan kabur dan muncul aksi mogok kerja, akhirnya pemilik lebih melonggarkan beban kerja dan menaikan upah. Agar lebih nyaman dan krasan tinggal di area perkebunan yang jauh dari keramaian, pada hari tertentu pemilik menggelar pasar malam.
Pasar malam di Solo tahun 1939. Foto keluarga RM Pujodo
Pasar malam dibuat sebagai sarana hiburan bagi para pekerja untuk melepas penat mereka. Biasanya pasar malam digelar saat para kuli sudah menerima gaji atau pasca panen. Di beberapa kota yang memiliki industri, pasar malam biasanya digelar sekaligus ajang slametan persiapan musim masuk giling. Pengelola pasar malam menawarkan berbagai sarana hiburan bagi para kuli, perjudian, minuman keras, seni pertunjukkan atraksi, menjual pakaian, menjual makanan dan barang untuk kepentingan kelarga dengan harga murah. Karena para pekerja menganggap cari duit itu mudah, tidak jarang mereka langsung menghabiskan gaji nya hanya semalam di pasar malam.
Sementara itu bagi pemilik modal, sengaja menggelar pasar malam dengan segala sarana dan kelengkapannya tidak sekedar membuat senang para buruhnya. Lebih dari itu, mereka berharap putaran uang para pekerja berakhir di pasar malam. Sebab saat para buruh terlena menghabiskan seluruh penghasilan mereka, maka uang tersebut tetap kembali ke pemilik modal. Bahkan tidak jarang para pekerja semakin menambah hutang.
Akan tetapi tidak semua buruh perkebunan berpikiran seperti itu. Sebagian buruh selalu memanfaatkan sebagian gajinya untuk ditabung demi menutupi keperluan yang lebih besar di kemudian hari. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji