Ida Dewa Agung Gde Agung raja Klungkung bertahta di Puri Agung Klungkung bersama putra mahkota sebelum perang puputan. Foto ist
abad.id-Klungkung yang terletak di sebelah timur Pulau Bali mencatat banyak perisiwa besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Galgel yang menjadi pusat pemerintahan pernah terjadi banjir darah setelah terjadi huru hara hingga membuat pemerintahan kacau.
Intevensi ini terjadi akibat pemberontakan penduduk Bali terhadap upaya Belanda yang menerapkan monopoli opium yang menguntungkan Belanda. Raja Karangasem menentang monopoli sehingga mencetuskan kerusuhan di ibu kota Karangasem. Kerusuhan juga terjadi di Gelgel yang diawali saat penduduk Bali membunuh seorang pedagang opium asal Jawa.
Sebelum kerusuhan ini pecah, perlawanan terhadap Kolonial Belanda di tanah Bali telah berlangsung lama. Belanda dianggap intervensi dengan melakukan patroli keamanan laut di wilayah Klungkung. Patroli Belanda di wilayah kerajaan dilakukan sejak awal April 1908. Kemudian secara terbuka Belanda mulai mendaratkan pasukan dan melakukan patroli di Desa Gelgel, yang membuat semakin marah warga dan pembesar Kerajaan. Warga terpancing provokasi Belanda dengan melakukan penyerangan hingga membuat 10 serdadu kolonial mati. Termasuk pemimpin pasukan Letnan Haremaker. Mendengar kejadian itu, pihak kolonial Belanda murka dan menuduh Kerajaan Klungkung melakukan penyerangan.
Belanda mengirimkan pasukannya untuk memadamkan pemberontakan. Di Gelgel, aksi mereka menewaskan 100 orang Bali dan memaksa Raja mengungsi. Hingga Akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Puri Agung Semarapura Klungkung. Di tempat Ida Dewa Agung Gde Jambe berkuasa dan tinggal bersama pura mahkota Cokorde Raka Pugeg serta Anak Agung Ngurah Jelantik.
Sebenarnya hubungan antara raja klungkung Ida Dewa Agung dengan Belanda tidak pernah bermasalah. Hubungan mereka sejak tahun 1900. Kolonial Belanda sering ke Puri dan mengabadikan momen kersamaan keluarga. Rupanya cara kunjungan ini bentuk intervensi serta merupakan suatu siasat. Raja Klungkung Ida Dewa Agung Gde Jambe marah besar saat mendengar Belanda mulai masuk Klungkung. Raja mengumumkan perang Puputan.
Raja Klungkung mendapat ultimatum untuk menyerah dengan batas waktu sampai 22 April 1908. Akan tetapi, ultimatum tersebut dihiraukan raja dan rakyat Klungkung yang sangat menjaga kedaulatan. Pihak Belanda kemdian menyerang Klungkung dengan modal beberapa meriam serta bantuan pasukan dari Batavia. Sedangkan rakyat Klungkung maju berperang bermodalkan semangat gagah berani dengan senjata tombak dan keris.
Pada 21 April 1908, pasukan Klungkung dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Belanda, tetapi raja masih menolak untuk menyerah. Setelah dibombardir selama 6 hari serta tambahan pasukan dari Batavia yang datang di Desa Kusamba dan Jumpai, langsung mengepung Istana Samarapura pada 27 April 1908. Pada perang terakhir ini, beberapa tokoh pembesar Kerajaan Klungkung gugur. Seperti Dewa Agung Gede Semarabawa, Dewa Agung Muter, dan putra mahkota kerajaan yang masih kecil Cokorde Raka Pugeg. Keadaan yang semakin genting membuat Raja Dewa Agung Jambe ikut maju menyerang Belanda.
Pada 28 April 1908, Raja Klungkung dibantu 200 orang pengikutnya berbaris keluar dari istana dengan pakaian putih sambil membawa keris untuk memecah belah musuh. Namun apa yang terjadi, keris tersebut gagal memenuhi ramalan bisa menang perang. Bahkan Raja sendiri ditembak oleh tentara Belanda dan tewas penuh luka. Melihat sang raja tewas, segera 6 istrinya melakukan bunuh diri atau puputan dengan kerisnya masin-masing. Kemudian diikuti sisa-sisa pasukan dan penduduk Bali lainnya.
Belum puas, Belanda membakar habis Istana Kerajaan. Setelah Klungkung berada di bawah kendali Belanda, Raja Bangli tunduk pada Oktober 1908. Serta raja raja Bali lainnya bersedia bernegosiasi untuk dijadikan protektorat Belanda seperti Gianyar dan Karangasem. Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan penduduk Bali terhadap Belanda. (pul)
Penulis: Pulung Ciptoaji