images/images-1675392269.jpg
Budaya
Indonesiana

Etika Politik dan Syahwat Berkuasa

Malika D. Ana

Feb 03, 2023

343 views

24 Comments

Save

Etika Politik dan Syahwat Berkuasa

 

 

Abad.id - Tanggung jawab terpenting dari seorang pemimpin negara adalah sebagai "penjaga konstitusi". Dalam ketidaksempurnaan konstitusi dan kelembagaan yang ada, kepemimpinan kharismatik bisa menutupinya dengan kewibawaan moral.

 

Dalam kaitan dengan hal tersebut, Lyndon B. Johnson mengingatkan, "Tugas berat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar."

 

Untuk mengetahui apa yang benar, seorang Presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental. Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena pengertian 'demokrasi konstitusional' itu demokrasi yang tujuan ideologis dan teologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

 

Dan selaku presiden, tugasnya melaksanakan seluruh amanat konstitusi (Pancasila dan UUD'45).

 

Setelah mengetahui apa yang benar, Presiden harus bisa bertindak benar dengan integritas moral yang tidak mudah goyah. "Sebagai presiden," seru Abraham Lincoln, "Aku tak punya mata kecuali mata konstitusi. Dengan mata konstitusi, presiden bisa mengetahui apa yang benar. Dengan integritas moral, presiden bisa bertindak benar, yang bisa mewariskan standar dalam kehidupan republik. Bahwa hidup ini pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka, janganlah demi kepentingan penghidupan-kekuasaan jangka pendek, kepemimpinan mengorbankan prinsip-prinsip kehidupan untuk jangka panjang."

 

Jadi, apa yang seharusnya diurus oleh negara--melalui pemerintah-- saat ini?

 

Mungkin jawabnya adalah: penanganan kesehatan termasuk pandemi, pendidikan yang memadai untuk rakyat, kesenjangan sosial, lemahnya hukum, dan korupsi. Bukan melakukan amandemen konstitusi, apalagi hanya untuk memperpanjang masa jabatan politisi.

 

Jika berprestasi, rakyat makin sejahtera, barangkali menjadi tidak terlalu dipermasalahkan mau seberapa lama menjabat atau duduk di jabatan politik, tidak apa-apa, seumur hidup juga mungkin rakyat akan rela dipimpin. Tetapi realitas yang terjadi, para pengambil kebijakan ini mentalitasnya pedagang dan makelar semuanya, di tangan mereka kekuasaan jadi rentan untuk diperjualbelikan.

Harusnya ada perasaan malu, prestasi pas-pasan tapi bicara perpanjangan masa jabatan? Ekonomi stagnan, korupsi mengganas, utang menggunung, pandemi tak terkendali, terus meminta nambah jatah kekuasaan?? Atau menggunakan wabah untuk lanjut berkuasa?

 

Logikanya terbalik, seharusnya bukan diperpanjang karena alasan pandemi, tapi diperpendek karena pandemi. Sebabnya jelas, karena gagal dalam mengantisipasi covid yang menyebabkan 120.000-an meninggal dunia. Merasa diri tak mampu, ada perasaan malu telah gagal, jadi merasa tidak sepantasnya meminta nambah jatah kekuasaan. Tenaga outsourcing saja ada batas masa kerjanya, mereka yang lima tahunan dan kerjanya ngga becus ya sudah sepantasnya diberhentikan atau lebih beretika jika memberhentikan diri sendiri alias mundur.

 

Dalam kondisi apapun dan bagaimanapun di negeri Indonesia, Pemilu mesti tetap berlangsung 5 tahun sekali karena itu merupakan amanah konstitusi negara yang mesti dipelihara dari penyamun-penyamun politik.

 

Jika Jokowi tidak bisa menambah periode dan tahun via Amandemen UUD 45, maka logika politik mengendus hegemoni kekuasaan yang akan tetap berusaha dipertahankan. Salah satunya dengan memilih penerus yang berasal dari golongan yang sama dengan mereka tentunya.

 

Lalu bisa dibayangkan, Indonesia akan dibawa menuju kehancuran melalui hutang dan kapling kekuasaan partai. Akan terpilih pemimpin yang dipimpin, oleh gerombolan atau oligarki partainya juga oleh para pemilik modal.

 

Jika berkaca dari Amerika, negara yang menganut sistem liberal dengan banyak negara federasi, disana mereka justru memelihara etika politik dengan berkuasa tidak lebih dari 2(dua) periode seperti pendahulunya George Washington, presiden AS yang pertama. Setelah masa jabatan kepresidenan pertamanya berakhir, George Washington berniat kembali ke kompleks peternakannya. Namun, niat itu terpaksa diurungkan, mengingat kondisi Amerika muda yang masih rentan dirundung konflik rebutan kekuasaan.

 

Setelah masa jabatan yang kedua berakhir, dia bisa saja berkuasa lagi sepanjang dia mau. Tetapi dia mengatakan "enough is enough". Dia tidak mau lagi dipilih sebagai presiden AS. Ini yang kemudian hingga sekarang menjadi standar etis masa bakti kepresidenan. Meski Konstitusi AS aslinya tidak memberikan batasan berapa kali seseorang bisa memegang jabatan Presiden, namun setiap ada orang yang berhasrat mencalonkan lagi setelah dua kali terpilih, akan merasa malu, selalu tak sanggup menghadapi pertanyaan galib nurani publik. "Apakah anda merasa lebih hebat dari George Washington?"

 

Mau sebesar dan sehebat apapun orang itu, keberlangsungan negara tidak boleh digantungkan pada hanya satu personal. Tunas-tunas baru harus dimunculkan untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan.

 

Etika berkuasa di Amerika ini sebenarnya sama esensinya dengan etika berkuasa di Jawa. Orang Jawa selalu berusaha menempatkan segala hal pada penilaian alus (kepekaan rasa). Semakin alus, semakin baik dan benar melaksanakan keselarasan. Makanya dalam etika kekuasaan Jawa ada pitutur luhur; "OJO RUMONGSO BISO, NANGING KUDU BISO RUMONGSO...!"

 

Rasa malu dan sikap tahu diri ini penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Malu dan tahu diri adalah dua hal esensial yang dapat membimbing moral seorang pemimpin untuk mempertahankan integritas. Hal ini menunjukkan adanya tatakrama, kesusilaan, etika, kesopanan, dan kebijaksanaan di dalam diri.

 

Ojo Rumongso Biso, Nanging Kudu Biso Rumongso”, pada dasarnya mengajarkan manusia untuk tahu diri, dan tahu batas kemampuan. Jangan sok merasa bisa, tetapi seyogyanya apabila “bisa merasa”. Berempati, introspeksi, mendalami pikiran dan hati rakyat.

 

Bukan mengorbankan rakyat dengan tetap bersikukuh berdiri ditampuk kekuasaan dengan sekedar sok-sokan. Sok merasa bisa--mampu, atau gaya-gayaan belaka dengan mengabaikan sense of crisis (kepekaan rasa terhadap segala permasalahan bangsa).

 

Merasa seolah-olah bisa melakukan sesuatu yang hebat dan seolah yang lain lebih rendah. Ada baiknya untuk mawas diri dan senantiasa tahu diri akan keterbatasannya sebagai insan. Orang yang selalu merasa bisa, cenderung bersifat sombong tidak memiliki kepekaan rasa, sadar diri, dan menimbang kualitas diri.

 

Mampukah saya membawa bangsa ini mencapai cita-cita luhur menuju kesejahteraan umum (well being), merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur?

 

Sebaliknya, dengan biso”a rumongso, seorang pemimpin akan mendapat nilai lebih dan terhormat di masyarakat, karena dia dianggap sebagai orang yang rendah hati. Selain itu sifat-sifat tidak sombong dan cerdas mengukur diri justru akan meningkatkan kredibilitasnya di lingkungan yang ia pimpin.

 

Manusia seperti ini yang akan menikmati tenteramnya kehidupan, sebab pasti dia bisa menempatkan diri dengan baik di lingkungannya. Dalam falsafah lain yang memiliki kemiripan arti disebutkan; "Aja Keminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka." Artinya, jangan merasa paling pinter agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.

 

Soeharto adalah contoh lain presiden yang mengedepankan rasa malu dan sikap tahu diri, selain Soekarno Presiden pertama Indonesia yang legawa dilengserkan karena sadar inflasi yang sudah melebihi 500%.

 

Betapapun otoriter dan militeristiknya Soeharto, atau betapapun narsisnya--one man show-nya Soekarno, keduanya rela mengundurkan diri dari jabatan presiden karena krisis politik dan resesi ekonomi yang telah menyengsarakan rakyat.

 

Demikianlah, sejarah memang bukan Panasea (obat ampuh untuk segala penyakit) dan tidak bisa dipake untuk menyelesaikan persoalan hari ini, tetapi dalam sejarah tersimpan pesan, tauladan dan hikmah kebijaksanaan yang berhubungan dengan rasa malu dan sikap tahu diri penguasa dalam mengelola kekuasaannya. (mda)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022