images/images-1676466481.jpg
Sejarah
Budaya
Gastro-Kultur

Makanan Tradisional Jawa Dalam Serat Centhini

Malika D. Ana

Feb 16, 2023

1228 views

24 Comments

Save

Makanan Tradisional Jawa Dalam Serat Centhini

 

 

Abad.id - Ditengah serbuan berbagai jenis masakan atau makanan modern, kuliner “tempo doeloe” yang dikenal dengan sebutan jajanan pasar ternyata tetap saja eksis. Terutama di kalangan masyarakat Jawa, jajanan pasar masih dilestarikan, diuri-uri. Lihat saja upacara panen raya, atau pesta pernikahan, pindah rumah dll, jajanan pasar tidak ketinggalan dijadikan sebagai bagian dari uba rampe ritual.

 

Salah satu informasi mengenai kuliner Jawa tempo dulu tercatat pada Serat Centhini periode 1814-1823. Serat Centhini disusun oleh tim penulis yang dipimpin putra mahkota yang belakangan menjadi raja dan bergelar Paku Buwana V. Anggota tim terdiri dari Raden Ngabei Ronggowarsito, Raden Ngabei Yasadipura II dan Raden Ngabei Sastrodipuro.

 

Wikipedia menulis : Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

 

Dan Serat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang menceritakan tentang banyak hal, meliputi seni, kehidupan dan kebudayaan Jawa, agama, makanan tradisional, ramuan jamu atau obat tradisional, jenis-jenis tanaman dan kisah percintaan (termasuk tatacara suami istri berhubungan menurut kaidah Jawa) maka kita bisa melihat khazanah budaya orang Jawa hingga abad 18.


Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga ditulis oleh tim penulis yang dipimpin oleh KGPAA Hamangkunegara III yang kelak jumeneng nata sebagai Sunan Paku Buwana V di Surakarta Hadiningrat.



Anggota tim terdiri dari : Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II dan Kiai Ngabei Sastradipura. Serat Centhini ditulis pada tahun 1814 dengan menggunakan bahasa dan huruf Jawa. Ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.

 

Makanan Tradisional



Dalam hal makanan, perjalanan kuliner meliputi daerah2 seperti Bogor, Dukuh Argapura (daerah Lumajang), Padepokan Gunung Tidar Magelang, Ibukota Mataram (Kerta, sekarang masuk Kecamatan Pleret, Bantul), di rumah Pujangkara (Mataram), dan di Tembayat (sekarang Klaten). Berbagai tempat yang disebutkan antara lain : Bogor, Kroya, Wirasaba, Kandangan, Prawata (Undakan), Magetan, Matesih, Sumapala, Prambanan, Mataram, Blambangan, Banyuwangi, Jember, Wanagiri, Padukuhan, Karang, Wanamarta, Dukuh Caduk, Gua Sirup, Nusabarong, Sendang Wajak, Telaga Ngebet, Watusaba, Desa Lemahbang, Kanigara, Majarata, Gunung Tidar, Gunung Sindara, Gunung Gendhing, Bustam, Tajug, dan Gunung Lawu.


Jika dihitung, maka kuliner yang didapatkan dari Bogor hingga Wanamerta itu ada sebanyak 1.606 menu.



Kira-kira seperti apa saja makanan Jawa pada kurun 1800an ?



Ada banyak fragmen cerita, diantaranya dalam salah satu kisah (bagian 30) dimana Ki Damarjati, Kepala Desa Prawata, menyiapkan Jamuan, menyambut kedatangan Raden Jayengresmi dengan Gatak Gatuk ke Desa Prawata.



Ki Damarjati menyuruh istri dan anaknya, Wara Surendra pergi ke ladang dan memetik tanaman hasil bumi. Wara Surendra memetik jambu dersana, manggis, kepel, kokosan, rambutan, duwet putih, salak, delima dan pelem madu. Ia menyediakan makanan berupa sayur bening, sambal jagung, sayur menir, pecel dengan ayam muda, aneka sayuran mentah (lalapan), betutu ayam, ikan gabus asin, ayam goreng betina, acar dari bawang putih dan mentimun kecil. Ia juga menyediakan makanan kecil seperti criping ubi kayu, criping linjik (jenis ketela), pisang goreng memakai gula, criping ketela, putu tegal, mendut, semar mendem, nasi yang lunak, nasi ayam jago dan karag gurih.


Sedangkan minuman yang disajikan berupa kopi gula tebu disaring dengan tapas (jaringan pada pangkal pelepah daun kelapa) dan air panas seduhan daun belimbing wuluh.


Dalam babak lain terdapat juga menu yang sekarang sudah jarang seperti : Tongseng bajing, tongseng emprit, Oseng-oseng Manuk Emprit, Rawong Kutuk (ikan gabus), Sekul Goreng Manuk Emprit, Soto Kambangan (soto bebek), Gule Banyak (angsa) dan banyak lagi (termasuk buah-buahan yang sudah sangat jarang ditemui).

 

Tongseng

 

Sebagaimana diketahui, Serat Centhini berbahasa dan berhuruf Jawa bertutur banyak mengenai seni, kehidupan dan kebudayan Jawa, agama, makanan tradisional, ramuan jamu tradisional, jenis-jenis tanaman Jawa termasuk di dalamnya adalah kisah percintaan.

 

Rentang wilayah yang diceritakan dalam Serat Centhini meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Mataram dan Jawa Timur.

 

Disebutkan di sana bahwa apa yang kemudian dikenal sebagai jajanan pasar dihidangkan untuk berbagai peristiwa penting seperti perjamuan makan tamu, pesta pernikahan, puputan anak, kematian, gekar kesenian, bergotong royong dan sebagainya.

 

Jajan Pasar

 

Makanan yang dihidangkan meliputi makanan utama dan berbagai jenis lauk pauk hewani maupun nabati, kudapan basah maupun kering, minuman dan aneka buah-buahan.

 

Pala kependhem

 

Dalam Serat Centhini diceritakan kebanyakan masyarakat mengonsumsi hasil bumi dan karangtiri berupa pala kependhem (umbi-umbian), pala gemanthung (buah-buahan) serta pala kesimpar (buah di atas permukaan tanah). Masyarakat pada jaman itu melengkapi sajian jajanan pasar dengan hasil pekarangan lain seperti sirih, obat herbal, dan bunga-bungaan yang digunakan sebagai penghias dan pengharum seperti anggrek bulan, wora-wari, kenanga, cempaka, melati, menur dan bunga dangan.

 

Ketika datang hajatan, keluarga Jawa akan mengundang tetangga dan teman untuk berdo’a dan makan bersama. Kondangan, itulah istilah yang digunakan untuk menyebut aktivitas mendatangi tetangga atau teman yang sedang punya hajat. Setelah pesta usai, para tamu undangan yang kondangan ini diberi buah tangan oleh tuan rumah yang disebut “berkat”.

 

Makanan Hajatan/Selamatan

 

Selain “berkat”, dikenal pula makanan “punjungan” yaitu makanan yang dikirim kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Ada juga makanan yang disebut “ulih-ulih”, yakni nasi dan lauk pauk untuk mereka yang terlibat among gawe.

 

Nasi-Berkat Wonogiri

 

Pada jaman itu, masyarakat telah mengenal dan membudayakan pola makan tiga kali sehari yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam.

 

Di antara waktu makan dalam sehari biasanya tersaji aneka kudapan kering maupun basah, gurih, dan manis. Sedangkan minuman yang dihidangkan biasanya minuman hangat, berupa sari nabati (air tebu, teh, kopi, wedang bunga srigading, minuman blimbing wuluh, minuman bunga tempayang, minuman bunga sridenta, wedang jahe, wedang daun kemadhuh, wedang temulawak) minuman keras berupa arak dan tampo (minuman keras tape), susu, legen, air kelapa, cao, dawet, tajin dan rode.

 

Serat Centhini juga menyebutkan, sajian makanan khusus juga diberikan kepada tetamu yang datang ke rumah. Hidangan ini terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, minuman dan aneka buah. Makanan utama yang disajikan bisa berupa nasi liwet, nasi tumpang, nasi uduk, nasi golong, nasi ketan, nasi megana, nasi kebuli dan nasi jagung. Selain nasi jagung, maka beras yang digunakan sebagai bahan pokok adalah beras gaga baik yang merah maupun putih.

 

Nasi Liwet

 

Lauk pauk yang dihidangkan meliputi lauk hewani seperti ayam panggang, ayam goreng, sate ayam, age, dendeng goreng, dendeng bakar, empal, rempah, besengek, bekakak, pepes ikan, gulai kambing, mangut, telur asin, opor. Sedangkan lauk nabatinya antara lain sayur bening, sayur lodeh, brongkos, kemangi, timun, sambal goreng, sambal bawang, dan sambal kacang.

 

Brongkos Khas Yogya

 

Menemani aneka jenis makanan itu adalah minuman seperti teh, kopi, air putih, legen, air kelapa, wedang temulawak, wedang jahe, wedang seruni, dan minuman belimbing wuluh. Pada umumnya, minuman dihidangkan bersamaan dengan keluarnya camilan, seperti putu, carabikan, mendut, semar mendem, aneka jenang, wajik, gembili, lemper, brem serta pipis kopyor.

 

Wajik

 

Terakhir, sebagai bagian dari pencuci mulut adalah berbagai macam buah, misalnya jeruk keprok, duku, manggis, kokosan, pakel, durian, putih, salak, kepundhung, pijetan, duwet dan srikaya.

 

Aneka makanan dan minuman tempo dulu itu memang tetap eksis sampai kini. Namun harus diakui, secara pelan-pelan tetapi pasti, mulai tergeser popularitasnya oleh makanan dan minuman “modern” seperti aneka kue dan tart serta soft drink sebagai pendampingnya.(mda)

 

*Dari Berbagai Sumber

Artikel lainnya

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023