Sesaji Dalam Triloka
Abad.id - Dalam konteks Triloka, makanan (pangan) disebut sesaji atau hidangan dengan tiga sifat: Satvik, Rajasik, dan Tamasik (Bhagavad Gita) yang disajikan untuk tiga katagori:
1. Makanan untuk para dewa, Food For Gods, Satvik Food, adalah makanan atau konsumabel yang memberikan manfaat kesehatan tertinggi, utamanya seperti susu atau barangkali di asia tenggara menjadi santan kelapa.
Dalam perkembangannya di Asia Tenggara, atau khususnya di Sumatera dan terlebih Jawa, makanan dewa ini diperkaya oleh kehadiran pinang, sirih, kapur, dan gambir.
Tidak diketahui kapan sesaji mulai memasukkan bunga sebagai salah satu komponennya, mungkin dalam prasasti atau relief candi ada data dan informasi tentang penggunaan bunga sebagai bahan pangan atau sebagai penghias penyajian makanan.
Penggunaan bunga dalam sesaji
Namun disinyalir penggunaan bunga sangatlah dipengaruhi oleh kebudayaan India Utara, terutama penggunaan melati dan mawar, karena ke-2 bunga ini tidak berasal dari Indonesia(Melayu Archipelago), penggunaan bunga sebagai pelengkap ritus memang sangat terlihat pada budaya Aria India Utara (pengaruh Hindu dan Buddha).
2. Makanan untuk para Raja, Bangsawan, Tetua Adat (Pemuka Agama/Brahman), dan Tetamu Terhormat, Food For Kings, Nobles, Elders, and Respected, yaitu makanan yang cara pengolahan dan penyajiannya memberikan kesan mewah, mengandung cita rasa yang kompleks. Zoetmulder, 1995:905 mengistilahkan sebagai "rajamangsa", yang secara harafiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja.
Makanan ini spesifik baik menu ataupun peruntukkannya, yang diperuntukkan kepada penugasa tertinggi di kerajaan, baik pada kerajaan pusat (disebut "maharaja") ataupun pada kerajaan bawahan/ vasal (hanya disebut "raja"). Pada sistem atau strata sosial "kasta" dan "varna", raja masuk dalam kasta "ksatria", yang secara sosial-politik bahkan religis menempati posisi penting dan tinggi di masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perlakuan khusus terhadap raja dan keluarga raja beserta aparat pemerintahannya.
Kata gabung "rajamangsa" didapati dalam kitab Purwadigama (9b.20), Siwasasana (44a.14), transkripsi prasasti kumpulan Kern (1917:1922) dengan kode VG VII.32f dan VIIIa. Pada prasasti ini disebut kalimat "wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawabg baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih'. Selain jenis menu ini, dalam kumpulan prasasti oleh Cohen Stuart (1865) dengan kode CSt 7 disebut pula "karung mati ring gantungan' dan pada kumpulan transkripsi prasasti oleh J.L. Branses (OJO 63, 1913) terdapat sebutan lain "asu ser". Prasasti Rukam (829 Saka = 907 Masehi) yang ditemukan di wilayah Temanggung pada 1975 menyebut sejumlah menu makanan yang hanya boleh disantap oleh raja.
Makanan Rajasik mengandung komponen rasa: manis (sweet), asin (salty), gurih (savory), sentuhan masam (zest), dan pahit (least but not last has bitterness), berbumbu (spicy), mengenyangkan sekaligus mengadung campuran rasa menyeluruh (wholesome).
Makanan rajasik disajikan dengan menggunakan peralatan makan (utensil) yang ornamentik. Di Jawa dan Sumatera menggunakan daun pisang, daun kelapa, daun talas, daun kayu jati, buluh bambu sebagai alat penyajian makanan yang penting menyertai cara makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu (eat with bare hands).
Sesuai dengan nilai peradaban Hindu, tangan yang digunakan untuk menyuap makanan dan memasukkannya ke mulut adalah tangan kanan, dan pola penyajian atau aturan duduk mengkonsumsi (kudap) makanan adalah dari kanan ke kiri, atau secara lurus, bagian depan sajian untuk raja tertinggi dan semakin ke belakang untuk posisi kebangsawanan yang lebih rendah.
Di Asia Tenggara khususnya di Jawa, pola makan bersama Rajasik yang tadinya aristrokat, hanya untuk para raja, kemudian diserap oleh masyarakat kebanyakan sehingga menjadi budaya "populer", atau makan bersama, berhidang bersama menjadi simbol kerekatan sosial ketimbang hirarki kebangsawanan, dari makanan untuk Raja menjadi makanan perekat sosial.
Ini adalah komponen utama sesaji, atau hidangan dalam kearifan lokal, dan mengembangkan kemampuan spiritual dalam menggunakan makanan sebagai sarana mantra, supata, shaktipat, doa, dan afirmasi untuk tujuan tertentu.(mda)