images/images-1666071594.jpg
Sejarah
Data

Tanpa Inggrit Garnasih, si Bung Bukan Orang Besar

Author Abad

Oct 18, 2022

313 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

 

Surabaya, Waktu itu tahun 1930-an. Sukarno dipenjara di Sukamiskin karena keberaniannya melawan pemerintahan Hindia Belanda. Penjara yang dikenal angker dan penuh penderitaan itu, justru menjadi tempat penuh jiwa kasmaran bagi Sukarno. Padahal hampir setiap saat ada tahanan yang datang sehat keluar tewas. Banyak diantara tahanan itu disiksa dan stres bunuh diri. Sukarno memang pintar agar dirinya krasan di Sukamiskin. Di ruang sempit dan terisolasi itu, Sukarno masih memainkan perannya dan bisa mengatur para penjaga tahanan.

 

Sukarno memang cerdik. Caranya Ia meminta uang ke isrinya Inggrit Garnasih sebesar 60 gulden untuk dibagikan kepada para penjaga. Jaman itu uang sudah didapat dan harus bekerja keras agar bisa memiliki 60 gulden. Sebagai istri Sukarno, Inggrit Garnasih banyak akal pula. Untuk memperoleh uang itu, ia menjadi agen sabun, membuat dan menjual rokok linting merek “Ratna Djuami” yang belakangan diketahui nama anak angkatnya.  Bahkan pernah menjadi agen penjualan cangkul dan parang. Kegiatan itu tentu tidak meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai penjahit dan berjualan bedak kecantikan.

 

Uang 60 gulden permintaan Sukarno akhirnya terpenuhi, dan untuk mengirim dan diterima langsung ke tangan Sukarno tidak mudah. Inggrit Garnasih menyelundupkan uang tersebut melalui kue yang dikirimnya saat membesuk. Tidak hanya itu, Inggrit Garnasih juga menyelundupkan naskah dan buku dibalik baju untuk bekal pembelaan Bung Karno di pengadilan nanti. Inggrit tak penah mengeluh ke suaminya betapa sulitnya mencari uang itu. juga tidak pernah bercerita perjalanan dari Bandung menuju Sukamiskin yang jaraknya sangat jauh ditempuh dengan berjalan kaki, sambil menuntun anak angkat mereka yang masih kecil Ratna Djuami. Selain harus menghemat ongkos, saat itu sangat jarang angkutan umum dari Bandung ke Sukamiskin yang melintas pada malam hari.

 

Kehidupan berat  harus Inggrit Garnasih jalani justru setelah sidang pengadilan Hindia Belanda. Saat itu Sukarno diputus harus menjauh dari aktifitas gerakan dan dibuang ke pulau Ende Flores. Atas putusan itu, Inggrit Garnasihlah yang memberi semangat agar suaminya putus asa. Tahun 1932, Inggrit Garnasih ikut dalam pembuangan ke Ende dengan apapun resikonya. Ikut pula dalam rombongan itu Ibu Amsi Mertua Bung Karno yang telah sepuh dan sakit-sakitan. Hingga pada akhirnya Ibu Amsi meninggal dunia di tanah buangan Ende. Seperti dalam petikan buku Kuantar Ke Gerbang “Ia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta atau tahta, yang selalu memberi dan tidak meminta kembali, serta satu satunya yang menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan,”.

 

Inggrit Memberi Tanpa Meminta

Bagi Sukarno, ibu Inggrit Garnasih satu satunya kekasih dan cinta pertamanya. Meskipun selisih mereka 15 tahun lebih tua Inggrit Garnasih, pasangan ini selalu terlihat romantis dimanapun dan situasi apapun. Mereka berkenalan dan berjodoh seperti ditemukan  oleh situasi jaman. Saat itu Sukarno berniat In De Kost di rumah Haji Sanusi rekan seperjuangan HOS Cokroaminoto guru sekaligus mertua Sukarno. Saat masuk rumah Haji Sanusi, Sukarno bertemu dan langsung jatuh cinta dengan Ingrit Garnasih istri Haji Sanusi. Sang ibu kost berasal dari Desa Kamasan, Banjaran Bandung ini berkulit kuning dan cantik telah membuat Sukarno kehilangan akal. Inggrit awalnya mengaku rikuh bahwa pujaannya seorang ningrat Jawa dan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik. Sementara Ia sendiri tidak pandai berbahasa Belanda atau bahasa Melayu dan yang dimengerti hanya Bahasa Sunda. Walaupun demikian mereka tidak langsung menjalin hubungan. Keduanya sadar betul memiliki penghalang masing-masing cinta yang timbul secara spontan itu. kepada penulis bukunya Ramadhan, Inggrit bercerita memutuskan untuk secepatnya mengajak Utari ke Bandung guna mencegah melakukan perbuatan yang tidak pantas.

 

Ikatan batin antara Sukarno dan ibu kost semakin hari semakin mesra. Sedangkan di lain pihak menurut pengakuan Sukarno dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950 tulisan warga Belanda Lambert Giebels menyatakan, antara dirinya dengan Utari yang masih belia itu tidak terjadi hubungan sexual. Sukarno menandaskan perkawinan gantung dengan Utari seperti halnya kakak dan adik.

 

Permulaan tahun 1923 Sukarno mengantarkan Utari ke Surabaya. Kepada HOS Cokroaminoto yang bijak, Sukarno menjelaskan setelah 2 tahun belum terjalin hubungan suami istri  dengan putrinya. Sukarno mengambil putusan talak 3, dan selanjutnya menjadi lelaki yang bebas. Sesudah perceraian itu, Sukarno kembali ke Bandung  untuk menemui pujaan hatinya Inggrit. Dengan penuh keberanian dan tekat, Sukarno langsung meminta ke Haji Sanusi hendak meminang istrinya. Si Sanusi yang tak acuh menerima keadaan dengan sportif. Inggrit mengisahan percakapan dengan Haji Sanusi tentang persoalan ini.

 

“ Marilah kita bicara keadaan kita bertiga,” begitu kata Haji Sanusi

“ Saya tahu bahwa Sukarno ingin mengawinimu”

“Bagaimana pendapatmu?” Inggrit bertanya ” Lalu bagaimana dengan kita berdua?”

Reaksi Sanusi”Kamu akan berbuat apa jika saya lepas?”

“Saya akan kembali ke ibu saya,” begitu jawab Inggrit mengagetkan.

“Jangan-jangan”, Sanusi bergegas menjawab” Bakal susah nanti. Pasti nanti teman-teman dagang saya akan mendatangi kamu di rumah ibumu untuk merayumu. Tidak, lebih baik kau terima saja pinangan Sukarno dan kau jadikan Ia orang penting,”

 

Cinta itu sangat buta, dan jodoh itu tidak pernah dinyana. Mereka menikah di Bandung dengan upacara yang sederhana pada tanggal 24 Maret 1923. Acara itu dihadiri ibu Inggrit Amsi denan pernikahan secara Islam. dalam akta perkawinan itu ditulis umur sukarno 24 tahun, padahal sebenarnya 22 tahun. Sedangkan Inggrit Garnasih yang sudah berumur 36 tahun dibuat umur yang lebih muda dari suaminya yang lebih muda. Untuk sementara waktu suami istri ini menyewa rumah di Gang Jaksa. Setelah itu mendapatkan pemondokan di gang Godong Delapan.

Inggrit Garnasih diawat di rumah sakit dijaga Ratna Djuami. Foto dok Net

 

Boleh dikatakan, Inggritlah yang mencukupi kebutuhan dan kekurangan rumah tangga. Sebab Sukarno saat itu konsentrasi menyelesaikan kuliah, dan tentu tidak banyak penghasilan kecuali kiriman dari R Sukemi ayah kandung Sukarno dari Blitar. Inggrit Garnasih pula yang menemani perjalanan sang aktifis pergerakan selama rapat-rapat dan diskusi di pelosok kota dan daerah. Melayani makan dan minum tamunya yang silih berganti dengan menggunakan uang sendiri. Bahkan Ingritlah yang menemani masa pembuangan Bung Karno di Ende dan Bengkulu pada tahun 1939. Hidup di pembuangan memang tidak menyenangkan, namun Inggrit yang beranjak tua masih sabar dan tabah.

 

Pemakaman Inggrit Garnasih dilakukan secara militer. Foto dok net

Selepas masa pembuangan 9 Juli 1942 mereka tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang kemudian hari dipakai tempat pembacaan proklamasi. Namun Inggrit tidak pernah mememetik buah kemenangan bersama Sukarno. Sebab  pasangan ini berpisah. Inggrit Garnasih  dan Bung Karno  bercerai dengan alasan tidak memiliki keturunan. Ibu Inggrit Garnasih memilih tinggal di Bandung bersama Ratna Djuami hingga akhir hayatnya di usia 96 tahun. Dengan diantar doa dan puji, Inggrit Garnasih dimakamkan di kuburan umum Babakan Ciparay. Prosesi pemakaman dihadiri Gubernur Jawa Barat Kunaefi. “Ibu Inggrit Garnasih ini orang besar, Kita bukan apa-apanya bila dibandingkann dengannya,”  kesan Kunaefi seperti yang dikutip di koran Pikiran Rakyat.

 

Warga Bandung sangat mengenal ibu Inggrit Garnasih Garnasih. Sebagai tanda penghormatan memasang bendera setengah tiang secara serempak tanpa disuruh. Mereka juga berduyun-duyun ikut mengantarkan jenasah, seorang wanita tua berjiwa besar yang membesarkan pemimpin bangsa di negara besar.  (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022