Musium Pendidikan di Jalan Genteng Kali Surabaya sebelumnya menjadi sekolah Taman Siswa. Foto Pulung
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Gubernur Jendral De Jonge resmi menggantikan De Graff mulai tahun 1931. Tercatat dalam sejarah seorang yang berciri khas Belanda kolonial. Bahkan seluruh penampilannya menunjukan watak kolonialnya. Mulai tinggi badan yang mencapai dua meter, tubuhnya tegap serta wajahnya yang keras, seakan cocok disebut tuan besar di tanah Hindia Belanda. Kehadiran De Jonge di Hindia Belanda ini sangat kurang beruntung, sebab dunia sedang mengalami resesi ekonomi.
Sebenanya De Jonge sudah membaca kondisi krisis dunia itu sejak November 1929. De Jonge paham, ekonomi di Hindia Belanda sangat tergantung dengan ekspor. Sehingga ikut merasakan dampak resesi dunia itu. Banyak produk ekspor tanah Hindia Belanda ditolak eropa, karena lesu pasar. Jika ada berniat beli, harga komoditi sangat murah sehingga lebih cenderung merugi. Gula yang menjadi pengukur naik turunnya ekonomi di Hindia Belanda paling berdampak harganya. Jika tahun 1929 dari 78 pabrik gula di Jawa mampu memproduksi 3 juta ton. Maka dalam kurun waktu 6 tahun berikutnya, produksi pabrik gula di Jawa hanya mampu produksi setengah juta ton saja. Itupun diproduksi dari 38 pabrik gula, sedangkan 40 pabrik gula lainnya bangkrut. Tak terhitung, berapa jumlah pekerja yang harus dirumahkan dampak dari resesi ekonomi ini.
De Jonge menyadari, dalam kondisi ekonomi Hindia Belanda yang terpuruk tersebut ternyata ada pihak yang masih bisa bertahan. Yaitu mereka yang disebut rakyat jelata atau pribumi yang tinggal di pedesaan. Orang pribumi ini secara alamiah lebih memiliki kapastias untuk menahan pukulan perekonomian fornal Belanda. Pihak yang paling terpukul adalah golongan Indo atau orang Belanda kelas pekerja yang dihantui jatuh miskin. Atau dihantui bayangan akan turun derajad sosial karena miskin.
De Jonge mulai putar otak, sebab krisis ekonomi ini telah menyentuh keuangan negara. Dalam waktu 4 tahun kekayaan Hindia Belanda menurun dari 523 juta gulden ke 256 juta gulden. Begitu pula pemasukan dari pajak juga turun. Bahkan tahun angaran 1933 terjadi defisit sebesar 121 juta gulden. Pilihan satu satunya yang dilakukan De Jonge adalah penghematan.
Mulai pengeluaran departemen pertahanan, hingga departemen pendidikian banyak yang dipangkas. Pada tahun 1936, pemerintah Hindia Belanda hanya mengangarkan 25 juta gulden untuk pendidikan. Bahkan khusus warga pribumi, anggaran pendidikan sudah diturunkan sejak awal krisis ekonomi.
Saat pemerintah menelantarkan pendidikan kaum pribumi, kelompok cendekia semakin giat untuk menyelenggarakan sekolah secara swadaya. Sebut saja Taman Siswa dan Muhammdyah misalnya. Serta banyak sekolah yang tidak diakui pemerintah atau disebut sekolah liar yang tidak mendapat ssubsidi sama sekali dari pemerintah. Sekolah liar ini dianggap banyak menghasilkan lulusan kaum intelektual pengangguran yang jumlahnya makin bertambah. Departemen pendidikan yakin cara penghematan anggaran pendidikan dengan mengurangi subsidi, dengan cara menyeleksi ijin penyelengara sekolah. Cara itu sering disebut ordonasi.
Maksud ordonasi ini untuk menertibkan kuwalitas pendidikan. Namun ternyata secara psikologis menjadi tindakan yang salah sasaran. Sebab banyak berdampak banyak sekolah pribumi yang dihentikan subsidinya, sehingga berhenti di tengah jalan. Banyak kelompok cendekia marah dengan politik ordonasi ini. Termasuk Ki Hajar Dewantara dengan cara berkirim surat langsung ke Gubernur Jendral De Jonge.
Bagi Ki hajar Dewantara, Taman Siswa sebuah organisasi pendidikan alternatif yang didirikan pada 3 Juli 1922 di kota Yogyakarta, bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. Siswa Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat jelata hanya diberikan pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD), sedangkan kaum priyayi dan bangsawan Eropa diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, banyak kaum priyayi yang mendapat akses untuk berkuliah di Eropa.
Salah satu halaman depan ruang aula pertemuan siswa Taman Siswa Surabaya. Foto Pulung
Ki Hajar Dewantara sangat dirugikan dengan UU Sekolah Liar berlaku. Sebab Belanda bisa menutup seluruh kegiatan Taman Siswa atau membatasi ruang gerak para pengajar. Bahkan dikawatirkan akan mencul gerakan pasif terhadap pemerintah Hindia Belanda yang berkepanjangan. Setelah membaca telegram dari Ki Hajar Dewantara, De Jonge mengutus Kiewiet De Jonge. Saat pertemuan selama 3 jam, Ki Hajar Dewantara menyatakan sebenarnya tidak keberatan dengan niat aturan Ordonasi tersebut, namun dirinya kawatir dengan pelaksanaan di lapangan. Sebab organ-organ pelaksana bisa melakukan tindakan berlebihan represif diluar sistim perijinan ordonasi.
Rupanya gertakan Ki Hajar Dewantara ini tercium kelompok nasionalis lain yang tergabung dalam PPPKI, Partindo dan PNI Baru. Kelompok ini bereaksi jauh lebih keras dari pada aksi kooperatif Ki Hajar Dewantara. Sementara bagi De Jonge, munculnya dukungan secara politik ini bisa membahayakan posisi pemerintah Hindia Belanda. De Jonge tidak ingin stabilitas politik dan keamanan terganggu saat krisis ekonomi terjadi. Serta muncul figur baru menggantikan Sukarno, Hatta dan Syahrir yang tengah dipenjara. Langkah buntu De Jonge ini tertolong Jaksa Agung G Vonk yang mencoba menjadi penengah tanpa ada pihak yang kehilangan muka.
Berdasarkan penasehat dari Volsraad bernama Wiranatakusuma, undang undang Ordonasi tidak diberlakukan sementara waktu. Agar tercipta peluang saling mempelajari keadaan dan situasi lebih tenang. Atas keputusan ini, Ki Hajar Dewantara sangat senang, sebab telah menang protes atas De Jonge. Namun Ki Hajar Dewantara tidak menyombongkan kemenangannya serta tidak merendahkan lawan menjadi hina. Seelah putusan itu, Taman Siswa yang dia bangun sejak tahun 1922 bisa beroperasi kembali. Begitu pula lembaga pendidikan lain seperti Muhammadyah dan sekolah Missi dan Zeding. (pul)