images/images-1671416960.png
Sejarah
Budaya

Menolak Punah Musik Keroncong

Author Abad

Nov 24, 2022

833 views

24 Comments

Save

Menolak Punah Musik Keroncong

 

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Foto diatas para pemain orkes keroncong Rayuan Timur yang diambil pada tahun 1934 di Batujajar Kabupaten Bandung. Foto diambil ketika usai menghibur masyarakat di sana. Orkes ini masih tetap eksis hingga Bangsa Indonesia merdea. Pada tahun 1960an, orkes keroncong Rayuan Timur masih sering mengisi di sejulah acara di Bandung. Bisa dibayangkan berapa lama umur orkes keroncong ini. Bahkan belum pernah kesepakatan orkes keroncong ini bubar, meskipun pemainnya sudah banyak yang meninggal dunia.

 

Keunikan dari orkes keroncong ini adalah pakaian dan atribut yang dipakai setiap kali menggelar pertunjukan. Padahal pemainnya tidak semuanya suku jawa, tapi mereka senang memakai baju adat jawa lengkap dengan blangkonnya. Menurut Sutan Abdullah Soelemaan salah satu pemain keroncong Rayuan Timur, pakaian tersebut sangat cocok dengan jenis musik yang dibawakannya. Sutan Abdullah Soelemaan meningal dunia pada tahun 1984 di usia 74 tahun. Untuk menjaga eksistensi orkes keroncong Rayuan Timur, para pemain yang meninggal dunia akan digantikan pemain baru dengan usia muda. Cara regenerasi keroncong ini bisa dilakukan agar genre musik keroncong tidak punah.

 

Ada group lain yang masih populer hingga kini yaitu orkes keroncong Tugu Jakarta. Bahkan dikatakan kelompok ini paling tua di Nusantara, seiring dengan berdirinya kampung Portugis di Jakarta Utara. Luasnya hanya 3 kilometer persegi, dan banyak menyimpan sejarah budaya dan peristiwa. Ciri-ciri khas yang dibawa dari budaya Portugis misalnya gereja tua, nama-nama keluarga seperti Abraham, Andrias, Cornelis.

 

Warga pendatang Portugis ini memulai membuka hutan dan rawa pada tahun 1661. Mereka berjumlah 150 orang warga yang dibuang Belanda karena kalah perang. Mereka ini bekas tentara yang pernah tinggal di Goa, Malaka dan Koromandel dengan bahasa dan adat istiadat Portugis. Karena terpencil dan dekat hutan, alat transportasi menuju Batavia hanya sebuah sungai.

 

Selama tinggal di sana, warga Portugis mengenal 5 kali perayaan dalam setahun. Yaitu Natal, tahun baru, hari raya mandi-mandi, pesta panen dan ulang tahun gereja. Hari raya mandi mandi diadakan di lapangan, pesertanya saling menggosok bedak. Sedangkan pesta panen diadakan setelah warga panen padi atau ikan. Kecuali hari natal, semua perayaan selalu diiringi musik keroncong.  Selain itu hampir setiap malam mereka tidak pernah absen memainkan musik keroncong. Mendengarkan musik terasa hambar tanpa suguhan, maka makanan yang khas yaitu dendeng babi, ketan bubur dan minum kopi atau arak.

 

Kepopuleran Keroncong Tugu ini tidak hanya sebantas Jakarta saja. Sejak jaman Hindia Belanda, mereka sering menggelar pertunjukan keliling di pasar malam atau undangan-undangan. Namun sempat berhenti karena perang kemerdekaan. Sebab banyak alat yang hilang dan aturan ketat pemerintah Jepang. Baru pada tahun 50an, Keroncong Tugu kembali sering menggelar pertunjukan keliling.

 

Seorang peneliti Jerman selalu mengikuti perkembangan Keroncong Tugu ini. Di sebuah buku Ath Manusama yang terbit di Batavia tahun 1918, sang peneliti menuliskan riwayat Keroncong Tugu sevcara lengkap. Bahkan surat kabar Wereldniews Geilustreed Weekblad yang terbit tahun 1956 menyatakan, group ini telah membuat 43 lagu keroncong yang masih sering dinyanyikan. Dari lagu tersebut yang paling abadi keroncong Moresco. Isi lagu itu mengisahkan para ibu yang menidurkan anaknya.

 

Sebenanya tidak ada yang mengetahui secara pasti tradisi musik keroncong bisa menyebar dengan cepat di Nusantara. Jika ada yang mengatakan musik keroncong berasal dari pengaruh bangsa Portugis saja, mungkin ada benarnya. Sebab beberapa alat yang digunakan musik keroncong kini bukan asli nusantara. Ada alat petik gitar, gesek biola dan tiup seruling. Namun kesimpulan itu juga kurang benar. Sebab ada beberapa alat milik nusantara yang masuk di genre keroncong. Misalnya kendang, dan celo yang mestinya digesek namun dipetik seperti bass. (pul)

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023