images/images-1675948639.png
Sejarah
Data

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Pernah Menyatu di Masyumi

Pulung Ciptoaji

Feb 10, 2023

775 views

24 Comments

Save

abad.id- Letnan Jendral Kokubu Shinshichoto dan Kolonel yamamoto Moishiro sadar untuk kelancaran peperangan harus dirancang sebuah organisasi baru yang dapat memobilisasi seluruh rakyat. Seharusnya sudah tidak ada lagi golongan pribumi, China, Arab dan Indo eropa. Kedua perwira militer ini sadar selain organisasi untuk gerakan para nasionalis dan golongan priyayi Jawa, juga harus merangkul kalangan pemimpin Islam. Tujuan Jepang ingin mengambil simpati Islam agar mau mendukung perang melawan negara-negara Barat

 

Sebelum Jepang tiba di Hindia belanda sudah ada organisasi MIAI ( Majisul Islam Alla Indonesia ) atau majelis islam tinggi  di Indonesia. Federasi ormas Islam didirikan oleh KH Mas Mansyur dan beberapa Ulama tahun 1937 di Surabaya. Di tubuh MIAI terdapat partisipasi golongan Muhammdiyah, Nahdlatul Ulama dan PSII (Sarekat Islam). Khusus untuk PSII terpaksa dibedakan oleh Jepang, sebab akan dibubarkan bersama organisasi partai lain. Saat ini Jepang hanya butuh organisasi massa dan bukan kelompok partisipan politik.

 

Kolonel Yamamoto Moishiro Pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama mulai melakukan penjajakan dengan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya. Yamamoto ingin berkenalan dengan para pemuka agama Islam. Ia minta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik.

 

Di Jawa Barat, Kolonel Yamamoto mengerahkan para pembantunya. Mereka terdiri dari orang Jepang yang beragama Islam, seperti Abdul Muniam Inada serta Moh Sayido Wakas. Tugas mereka secara bergiliran mengunjungi beberapa masjid besar di Jakarta untuk mengadakan ceramah dan khotbah Jumat. Jepang berusaha mengarahkan ulama dan umat Islam mencurahkan kegiatan keagamaan dan keumatannya lewat organisasi.

 

 

Karena dianggap masih sejalan dengan semangat organisasi, MIAI awalnya masih diperbolehkan berkembang. Jepang pun mengaktifkan kembali MIAI pada 4 September 1942. Markasnya yang ada di Surabaya dipindah ke Jakarta. Adapun tugas MIAI menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia, mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman dan ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

 

MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta serta mendirikan universitas. Namun Jepang tak sepakat. Jepang hanya program MIAI membentuk baitulmal atau lembaga pengelola amal.

 

Meskipun dalam tekanan Jepang, MIAI masih bisa berkembang menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Sofwan, dan membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan MIAI masih diperbolehkan menerbitkan majalahnya yaitu Soeara MIAI.

 

Melihat hal itu, Jepang menjadi waspada terhadap perkembangan MIAI. Kecurigaan jepang berawal dari dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat dan tidak diserahkan ke Jepang. Para tokoh Islam di daerah mulai diawasi. Jepang mulai intervensi ke organisasi dengan mengadakan pelatihan bagi para kiai selama satu bulan. Dari hasil pelatihan itu, disimpulkan para kiai tidak membahayakan. Hanya saja MIAI dianggap tidak berkontribusi terhadap perang. MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Penasehat Islam Indonesia yang dalam Bahasa Indonesia disingkat Masyumi.

 

Masyumi kelak akan menjadi kekuatan politik yang penting. Berkat campur tangan para tokoh Masyumi, seluruh kegiatan di masjid selalu mendoakan kemenangan Jepang dalam perang asia raya. Serta para petani diingatkan untuk menyetor hasil bumi kepada pemerintah Jepang dan dianggap kegiatan Baitulmal.

 

 

Pada awal terbentuk Masyumi diketuai Kepala Departemen Agama Hussein Djajadiningrat. Namun karena terlalu bersemangan membela pemerintahan Jepang, sehingga kegiatan di Masyumi menjadi berkurang. Maka kepemimpinan diambil alih ulama kharismatik Hasyim Ashari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo. Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar. Masyumi berkembang dengan cepat karena di setiap karesidenan ada cabangnya.

 

Tugas Masyumi menjadi wadah bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat.  Hasil kesepakatan para kyai salah satunya menolak budaya Jepang yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya yakni seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo. Gagasan penolakan itu dipelopori ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah,  dengan alasan umat Islam hanya melakukan posisi itu ketika rukuk saat shalat dan menghadap kiblat.

 

Sejak berdirinya tiga mitra kerja pemerintah Jepang, pemerintahan militer menjadi mudah memobilisasi rakyat. Tiga pilar itu yaitu para priyayi dari pamong praja telah berhasil diikat Sukarno Hatta melalui gerakan nasionalis bernama PUTERA. Begitu pula kelompok islam dipersatukan dalam Masyumi. Sedangkan organisasi kemasyarakat dan Partai Politik telah dilebur menjadi Persekutuan Pemerintah Kaisar ada awal tahun 1944. Jepang membentuk Jawa Hokokai atau organisasi pelayanan Pulau jawa yang bersifat perkumpulan atau federasi. 

 

Masyumi Menjadi Partai Yang Disegani

 

Awal Mula Masyumi bukanlah sebuah partai, melainkan sebuah organisasi Islam. Jepang membentuk organisasi ini karena menganggap Masyumi dapat membantu dalam mengendalikan umat Islam di Indonesia. Pada saat itu, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia. 

 

 

Dua bulan pasca Kemerdekaan Indonesia, digelar Kongres Umat Islam Pada 7-8 November 1945 yang melibatkan semua organisasi Islam di Indonesia, di gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Hasilnya harus ada solusi untuk membentuk kesamaan politik Umat Islam. Kesepakatan membentuk partai juga karena ada rasa kecewa sebagian kelompok atas penghapusan 7 Kata di Piagam Jakarta.  

 

Hadir dalam Kongres Umat Islam Indonesia sekitar 500 tokoh dan utusan.  Pertemuan ini memilih nama Partai  Masyumi. Pemilihan ini bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, namun pilihan nama lebih baik dari nama lain yang diusulkan, yakni Partai Rakyat Islam. Penggunaan nama yang sama karena pertimbangan Masjumi sudah dikenal dan kuat jaringan hingga pedesaan.

 

 

Pada Pemilu 1955 Masyumi sempat mendapat perolehan suara terbanyak setelah PNI. Pada pemilu pertama tersebut  Partai Masyumi mendapatkan 57 kursi legislatif dan 112 kursi anggota konstituante, yang berasal dari 10 daerah pemilihan dari total 14 daerah pemilihan di Indonesia. (pul)

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Peradapan Kuno Dari Kepuhklagen Gresik

Author Abad

Oct 03, 2022

Hakikat Qurban dan Sejarahnya

Malika D. Ana

Jul 01, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023