Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membuat kantor di Jakarta, tepatnya di Jalan Menteng Raya Nomor 24. Foto dok net
abad.id- Perseteruan politik tahun 1950 an, bukan hanya soal pertarungan ideologis antara kubu Islamis, nasionalis, dan komunis. Namun juga meruncingnya perbedaan pendapat antara Islam tradisionalis dan Islam modernis di tubuh Masyumi. Puncaknya, tahun 1952, NU menyatakan diri keluar dari Masyumi.
Saat itu Rais Am NU KH Wahab Chasbullah mempelopori keputusan keluar dari Masyumi. Alasannya Kyai Wahab dan tokoh-tokoh NU lain tidak puas dengan hasil voting yang memenangkan KH Faqih Usman sebagai kandidat menteri agama dari Masyumi. Padahal sejak awal NU menawarkan KH Wahid Hasyim dan empat kandidat lainnya sebagai cadangan. Namun dalam rapat voting, KH Masykur yang maju mewakili NU, dan hasilnya kalah.
Alasan lain terjadi jumlah tokoh-tokoh dalam jajaran eksekutif, membuat NU merasa dikucilkan dari Masyumi. Merasa tidak didengar dan tidak memiliki peran-peran strategis dalam partai Masyumi. Meskipun jabatan ketua majelis syuro Masyumi dipegang KH Hasyim Asyari, NU menilai tetap tidak menguntungkan. Mengingat fungsi majelis syuro dalam AD/ART partai terbaru, hanya memberikan pertimbangan kepada pemimpin partai jika diminta. Putusan tersebut adalah hasil Kongres 1949 yang menganulir kewenangan majelis syuro pada periode sebelumnya.
Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1955, NU memperoleh suara mengejutkan. Suara pemilih partai NU sebanyak 6,9 juta suara (18,4%) hampir mengungguli suara Masyumi yang memperoleh 7,9 juta suara (20,9%). Foto dok net
Sementara itu menurut H.R Ardhi Yudhistira, SH. MH seorang tokoh Penggerak Budaya Indonesia, mundurnya NU dari Masyumi bukan sekedar beda pendapat di internal partai. Namun NU mulai mencium ketidak kemampuan Masyumi melawan arus besar kekuatan PKI yang cepat berkembang. Kelompok Islam harus lebih cepat dalam menyatakan sikap agar tidak selalu didahului kelompok syuyuiyin (PKI). Karena di daerah-daerah sudah ada tampak gerakan PKI memanfaatkan momentum apapun untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. “Karena itu, NU segera menyatakan sikap mundur dari gerakan politik Masyumi dengan dua tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia internasional jangan sampai menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasasi PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional,” kata Gus Ardhi yang mengutip pernyataan KH Wahab yang ditulis Abdul Mun’im.
H.R Ardhi Yudhistira, SH. MH, Penasehat Pusat Artjo Artis Kerja Optimis.
Wajar saja saat pemberontakan PRRI Permesta KH Wahab kaget dengan keterlibatan beberapa tokoh Masyumi, karena memperburuk citra umat Islam yang dimanfaatkan PKI. “Dan benar, akhirnya Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno karena dianggap tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan PRRI,” tambah Gus Ardhi.
Bagi NU, pembubaran partai Masyumi saat itu sangat merugikan umat Islam. Sebagai sesama partai Islam, NU dan Masyumi tentu saja memiliki banyak persamaan kepentingan dan tujuan dibandingkan dengan PKI. Namun disayangkan, beberapa kalangan menuduh NU ikut mendorong pembubaran Masyumi. Padahal justru NU merasa kehilangan dalam memperjuangankan aspirasi Islam pada saat itu. “Kehilangan teman di parlemen bagi NU sangat merugikan, sementara rival politik waktu itu PKI sangat kuat. Ini merupakan ancaman bagi Islam,” tambah Gus Ardhi yang dikenal Penasehat Pusat Artjo Artis Kerja Optimis.
Ada alasan lain NU harus menyatakan keluar dari Masyumi jauh sebelum partai itu dibubarkan, yaitu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saat menjadi pemimpin tertinggi terjadi beberapa perbedaan pandangan yang tak akan mendapatkan titik temu di antara tokoh-tokohnya. Kemudian NU menyatakan berpisah pada tahun 1952. Di antara pemicu keluarnya, peran para kiai dan aspirasi pesantren tidak mendapat respons secara baik. Bahkan semakin tersisih dari panggung politik.
Alasan lain sentimen Islam modernis dan Islam tradisionalis juga semakin membesar. Para Kyai NU gerah dengan kondisi Masyumi yang sudah tidak bisa menjadi tumpuan aspirasi politik. “Sudah berunding berulang kali, mengirimkan delegasi berkali-kali, tapi hasilnya tidak memuaskan. Maka NU keluar dari Masyumi dengan cara yang paling demokratis yaitu teori kristalisasi dan bukanlah perpecahan,” jelas Gus Ardhi yang juga aktif sekaligus pendiri pendampingan lembaga Bantuan Hukum anak jalanan dan pekerja malam.
H.R Ardhi Yudhistira, SH. MH, tokoh Penggerak Budaya Indonesia
Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang, 28 April-1 Mei 1952, secara resmi NU memutuskan diri keluar dari Masyumi. Keluarnya NU dari Masyumi diyakini bukan untuk melemahkan persatuan Islam. Hal itu dibuktikan, pada tahun yang sama 30 Agustus 1952, NU membentuk Liga Muslimin Indonesia bersama PSII dan Perti. Selain ketiga partai itu, anggotanya adalah Dar al-Da’wah wal-Irsyad dari Parepare Sulawesi Selatan dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Makassar.
Sedikit berbeda pendapat dari Greg Fealy, penulis buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 menyebut penarikan diri NU dari Masyumi sebagai guncangan terbesar dalam sejarah perjalanan politik Islam di Indonesia. Sebab akibat NU keluar, pada Pemilu 1955, Masyumi gagal meraih suara terbanyak dan harus puas di urutan kedua setelah PNI. “Padahal andai NU masih menjadi bagian dari Masyumi, tentu akan lain cerita. Jika suara NU dan Masyumi digabung, maka akan jauh melampaui suara dan kursi PNI di parlemen,” pendapat Greg.
Tapi dinamika politik itu memberikan pelajaran yang berarti. Perbedaan pendapat adalah hal niscaya, Hatta di dalam tubuh partai politik Islam sekalipun. Ia bisa memperkaya ide-ide dan pemikiran, tapi juga tak jarang berujung pada perpecahan. Kebesaran jiwa dalam menerima setiap keputusan musyawarah adalah kuncinya. Semua pertarungan pendapat bisa mengemuka, namun harus tunduk dan tiarap saat keputusan musyawarah sudah diambil melalui mekanisme yang benar dan semestinya. (pul)