Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Lagunya masih abadi di hati jutaan anak-anak di Indonesia. Berbagai anugrah juga pernah dia raih, dan terakhir Satyalancana Kebudayaan. Dialah legenda Saridjah Niung atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Sud, perempuan kelahiran Sukabumi 26 Maret 1908 dan meninggal dunia 26 Mei 1993. Bangsa ini harus bangga, sebab dari buah karyanya telah menyatukan imajinasi anak di seluruh Indonesia.
Awal kesan kecintaan Sarijah terhadap dunia anak saat dari sebuah surat yang ditujukan untuk Sinterklaas. Surat dalam amlop itu bertuliskan Lieve Sint Nikollas Mag ik een pop heb-ben. De pop kan zingen. Dank U Lieve Sint. Saridjah
Surat itu ditulis sendiri si kecil Saridjah atau nama kecil Ibu Sud. Sebagai anak kecil yang kaya imajinasi, Saridjah ingin memiliki boneka yang bisa bernyanyi. Opa lalu menyuruhnya mengirim surat untuk Sinterklaas yang dibungkus dalam amplop. Lalu surat itu diantar ke kantor pos. Lalu Opa menyuruh Sarijah kecil menyiapkan sepatu yang diisi rumput. Menjelang tidur, Sarijah kecil sudah membayangkan boneka bisa menyanyi yang akan dikirim Sinterklaas besok paginya.
Pagi hai itu, Sarijah sudah mendapati sepatu berisi rumput itu sudah berserakan. Sebuah bungkusan besar sudah tergolek diatas sepatu yang dipungut Saridjah. Setelah dibuka ternyata isinya sebuah boneka yang diimpikan. “ mama-mama-mama” boneka itu bersuara.
Itulah awal perjalanan imajinasi Sarijah hingga menjiwai seumur hidupnya. Meskipun pada akhirnya Saridjah tahu bahwa Opa yang membelikan boneka dan meletakannya di atas sepatu. Opa yang dia maksud ayah angkatnya seorang pensiunan Jaksa Tinggi di Sukabumi Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer. Dari tangan Opa inilah, kemahiran Saridjah bermain biola diasah sejak kecil. J.F. Kramer seorang indo-Belanda kerurunan Jawa ningrat yang pandai menembang dan menyanyi.
Sebenarnya Saridjah lahir sebagai putri bungsu dari 12 orang bersaudara. Ayah kandung Saridjah bernama Mohamad Niung, seorang pelaut asal Bugis yang menetap di Sukabumi dan menjadi pengawal J.F. Kramer. Sang jaksa ini harus memperoleh pengawal, sebab sering menangani perkara besar selama di Batavia. J.F. Kramer memperkerjakan Mohamad Niung sekaligus mengangkat Saridjah sebagai anak. “ Opa tidak mengharuskan memeluk agama Protestan, dan tidak mengharuskan saya memakai rok seperti anak Belanda umumnya,” kenang Saridjah dalam sebuah wawancara di majalah Femina tahun 1984.
Setiap hari Minggu Saridjah diberi uang khusus untuk dibagikan ke pengemis dan pengamen. Saridjah sering mendengarkan dongeng dari Opa tentang perbuatan baik akan mendapat hadiah dan perbuatan jelek akan mendapat hukuman. Juga diajari mengenal alam, menyayangi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sangat beruntung, masa kecil Saridjah begitu sempurna di tengah keluarga yang menyayanginya.
Pindah ke Surabaya dan Menjadi Guru
Mulai umur 12 tahun Saridjah melanjutkan belajar di sekolah guru. Saridjah masuk ke asrama Kweekscool Pieterspak Bandung untuk belajar mengajar sekaligus mengasah kemampuan vokal, bermain musik, sandiwara dan deklarasi. Dalam hal musik, Saridjah memilih biola. Tidak jarang Saridjah diminta gurunya untuk menjadi contoh membacakan deklarasi di depan kelas. Menyadari Saridjah sangat minat di bidang seni, suatu hari Opa mengunjungi ke asrama. “Dari Sukabumi Opa datang ke Bandung khusus menjemput saya untuk diajak nonton konser besar dari Amerika. Penontonnya orang Belanda dan kaya-kaya. Kalau melihat itu, saya merasa bangga bisa menonton langsung konser langka di tanah Hindia Belanda,” kenang Saridjah.
Lulus dari Hoogere Kweek School (HKS) Bandung, Saridjah melanjutkan mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Jakarta. Kemudian guru muda usia 17 tahun itu pindah mengajar ke sekolah Kartini khusus muridnya perempuan. Dari sinilah awal Saridjah mulai mengarang lagu. Awalnya lagu-lagu sederhana berbahasa melayu pasar, seperti menciptakan lagu Nenek Moyangku seorang pelaut, terinspirasi dari ayah kandungnya Mohamad Niung yang berasal dari pelaut Bugis. Kesadaran cinta terhadap tanah air muncul mulai tahun 1926, Saridjah mengarang lagu dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Pada tahun 1927, Saridjah menjadi Istri Raden Bintang Soedibjo putra patih Semarang. Raden Bintang ini berpendidikan Recht Scool di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai negeri. Sejak saat itulah Saridjah lebih sering dipanggil Ibu Soed, singkatan dari Soedibjo nama suaminya.
Pasangan muda memulai memulai hidupnya di Kota Surabaya. Ibu Sud menjadi Kepala Sekolah Kartini dan tinggal In De Kost pada Ibu Noto seorang wanita asal Solo. Kedekatan dengan ibu induk semang kost itu berbuah banyak ilmu. “ Ibu Noto mengajari tembang-tembah dan bahasa jawa halus, serta mengenalkan saya tentang batik, sebab suami saya termauk orang ningrat Jawa maka saya harus mengenalnya,” cerita Ibu Sud.
Ada kesan yang selalu diingat Ibu Sud saat di Surabaya, yaitu 100 murid sekolah Kartini menyambut kedatangan Gubernur Jendral Belanda dengan tembang Kinanti Subakastawa. Sang gubenur jendral sangat menyukai paduan suara yang diasuh Ibu Sud ini.
Hanya sebentar di Surabaya, setelah anak pertama perempuan lahir tahun 1927, keluarga kecil ini kembali ke Jakarta. Ibu Sud tetap menjadi guru dan semakin rajin menciptakan lagu pada anak. Empu lagu anak-anak Indonesia ini dalam catatan sejarah telah mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia sebab produktif menciptakan 480 lagu. Mulai dari Burung Kutilang, Naik Delman, Kupu-Kupu, Naik-Naik ke Puncak Gunung, Desaku, Hai Becak, Berkibarlah Benderaku, Bendera Merah Putih dan Tanah Airku. “Sebenarnya bisa lebih, sebab karya saya banyak yang tidak dibukukan atau direkam,” kata Ibu Sud.
Terlibat Menjadi Panitia Kongres Pemuda
Tahun 1928 banyak pemuda terpelajar di Jakarta ikut berjuang. Begitu juga dengan Ibu Sud ikut menjadi anggota Indonesia Muda. Selanjutnya ia dipercaya menjadi Sekretaris 1 Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda. Karena aktif berorganisasi ini, Ibu Sud dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Mohamad Yamin, Mr Asaat, Mr Tamsil serta Lena Mokoginta. Masa-masa inilah pertama kalinya Vereniging voor Oostrese Radio Omroep (VORO) mendengarkan lagu-lagu karya Ibu Sud. “ Saya sangat senang sebab pertama kalinya anak-anak Indonesia tidak menyanyikan lagi lagu berbahasa Belanda,” kata Ibu Sud.
Tepat tanggal 28 Oktober 1928, Ibu Sud bersama aktifis gerakan mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Ibu Sud yang dikenal sebagai pionir pencipta lagu serta pandai bermain biola bertugas sebagai protokol acara. “Dengan menakai kain putih dan berkebaya, saya perempuan sendiri yang memainkan alat musik. Lagu itu Indonesia Raya karya WR Supratman. Hanya insrumen saja karena tidak boleh diperdengarkan di khalayak ramai, namun membuat kami sangat bangga,” kenang Ibu Sud.
Ilmu mengarang lagu dan berolah vokal semakin terasah sejak Ibu Sud belajar ke Nyonya Kempers. Wanita belanda ini sebelumnya pernah menjadi guru olah vokal di Amsterdam. Turut dalam kegiatan belajar dari Nyonya Kempers ini Cornell Simanjutak, Binsar Sitompul, Rosidi hingga Ismail Marzuki. Dengan teman-temanya itu Ibu Sud membentuk paduan suara yang pernah dimainkan di gedung Komidi.