Penulis : Pulung Ciptoaji
Di bulan bulan pertama pasca proklamasi kemerdekaan teradi banyak kekacauan di negara baru terbenuk. Kekacuan itu timbul karena para penggerak kemerdekaan masih saling adaptasi dengan kedudukan daan jabatan di negara baru. Salah satunya sejak awal terbentuknya BKR pada 22 Agustus 1945 yang menjadi cikal bakal TNI. BKR ternyata masih morat marit dan tidak terorganisasi secara nasional dalam satu komando. Carut marut ini langsung diambil alih Wapres Mohammad Hatta dengan mengundang tokoh mantan Mayor KNIL Oerip Sumoharjo pada 5 Oktober 1945. Keputusan hari itu pula, Wapres memerintahkan Mayor Oerip dan Didi Kartasasmita untuk membentu sebuah kesatuan keamanan dengan anggota gabungan BKR dan sukarelawan KNIL serta pasukan organik didikan tentara Jepang PETA. Oerip ditunjuk denan jabatan Kepala Staf TKR dengan berkedudukan di markas besar Yogjakarta.
Hanya 1 bulan berjalan, rupanya Sukarno mulai memikirkan sebuah jabatan yang bisa mengelola 3 matra di TNI yang mulai terbentuk. Pilihan Sukarno pada tanggal 12 November 1945 itu jatuh ke Supriyadi mantan pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Namun rupanya sejak pengangkatan Supriyadi sebagai panglima TKR ini belum ada tindakan lebih lanjut, sebab yang bersangkutan tidak pernah muncul. Sodanco Supriyadi rupanya hanya ikenal melalui legenda tentang kegagahan dan keberanian memimpin aksi perlawanan ke tentara Jepang. Kekosongan jabatan panglima ini semakin membuat Sukarno gelisah. Dia butuh sosok panhlima yang masih muda dan masih hidup.
Sikap main kuasa bagi perwira lulusan KNIL dan lulusan PETA sering membuat gaduh di setiap koordinasi tugas. Dalam bukunya Onze Strid (perjuangan kami) Sjahrir mengingatkan agar besikap hati hati menghadapi gejala itu. Syahrir tidak bisa menghalangi Sukarno melakukan salah pilih jabatan strategis Panglima TKR ini. Sebab dirinya tidak dilibatkan, dan penunjukan Supriyadi dilakukan 2 hari sebelum dirinya diangkat menjadi Perdana Menteri.
Rupanya di tingkat perwira TKR terjadi saling gunjingan siapa yang bisa menjadi Panglima setelah kesalahan salah tunjuk itu. Perwira bekas KNIL sepakat menunjuk Oerip Sumoharjo menjadi panglima, sementara perwira didikan Jepang mendukung Soedirman. Nama terakhir pemuda berusia 28 tahun ini harum namanya setelah terlibat memimpin kemenangan perang di Semarang. Soedirman kelahiran Salatiga ini juga memimpn palagan Ambawara dengan mengusir Inggris ke wilayah pinggir laut.
Musyawarah di internal TKR tidak menghasilkan mufakat apapun. Maka selanjutnya harus dilakukan pemungutan suara. Ternyata para perwira PETA jumlahnya lebih banyak, tentu sangat menguntungkan dan berhasil mencalonkan jagonya Soedirman. Akhrinya Soedirman diangkat menjadi Panglima oleh Soekarno, dan Oerip Sumoharjo yang berusia 51 tahun tetap menjadi Kepala Staf. Ternyata keduanya bisa bekerjasama dengan baik. Soedirman membiarkan Oerip mengurusi masalah teknis di tubuh militer. Misalnya soal pengangkatan anggota TKR baru, Pendidikan tentara, pangkat dan anggaran. Sementara Soedirman memperhatikan urusan poliik sesuai jabatannya dan pendidikan revolusioner pada pasukannya. Menurut Lambert Giebels dalam bukunya Otobiografi Sukarno, rupanya bekas guru madrasah ini sangat tepat sebagai pemimpin dan pejuang menurut ksatria tradisonal jawa.
LB Moerdani Dari Bintang 2 Menjadi Panglima
Putusan jendral bintang 2 menjadi panglima ABRI juga pernah dilakukan Presiden Soekarno pada tahun 1982. Saat itu Suharto harus memilih 3 nama jenderal bintang 3 TNI AD yang menjadi kandidat Panglima ABRI pengganti Jenderal M Jusuf. Selalu memang, bursa calon Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kian menghangat. Suharto benar benar harus selektif memilih orang yang dipercaya memimpin 4 matra ABRI. Alasan Suharto butuh orang yang bisa mengendalikan keamanan dan ketertiban yang selalu berubah secara dinamis.
Nama-nama perwira tinggi mulai menyeruak ke permukaan jelang berakhirnya masa pengabdian Pangab Jenderal TNI Andi Muhammad Jusuf. Informasi yang beredar, Mabes TNI menyetorkan tiga nama jenderal bintang tiga nama. Tiga nama tersebut yakni Pangkowilhan I Sumatera Letjen TNI Soesilo Sudarman, Pangkowilhan II Jawa Madura Letjen TNI Yogie S Memet, dan Pangkowilhan III Letjen TNI Himawan Susanto.
Mereka yang diusulkan tentu bukan jenderal kaleng-kaleng. Selain sosok senior, mereka merupakan perwira tempur dengan pangkat bintang 3. Jasa-jasa mereka dalam menjaga NKRI juga luar biasa. Sebut saja misalnya Letjen TNI Himawan Susanto. Jenderal berkumis tebal lulusan Akademi Militer turut bertempur melawan Belanda. Setelah itu, prajurit Divisi III Siliwangi ini turut serta melawan pemberontakan DI/TII. Kemudian menumpas PKI di Madiun. Begitu pula Letjen Yogie S Memet. Jenderal Baret Merah yang banyak berkecimpung di Pasukan Kujang Divisi III Siliwangi ini keluar masuk hutan untuk menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Karena prestasinya yang menonjol, dia pernah dipercaya memegang tiga jabatan sekaligus: Danjen Kopassus, Pangdam Siliwangi, dan Pangkowilhan. Letjen TNI Soesilo juga lulusan Akademi Militer Jogjakarta. Kariernya banyak dihiasi dengan pertempuran melawan agresi Belanda. Sebagaimana Himawan, dia juga terlibat operasi penumpasan PKI-Madiun 1948. Soesilo juga ikut Operasi Perang Kemerdekaan II di wilayah sekitar Jogja, bergabung dalam kesatuan Sub-Werkhreise 104, Werkhreise III.
Lantas siapa panglima ABRI dipilihan Soeharto. Ternyata tidak satu pun dari mereka, sebab Soeharto tidak pernah percaya dengana tradisi utut kacang. Secara mengejutkan justru memilih jenderal bintang dua alias mayor jenderal, yaitu Benny Moerdani. Ketika memutuskan Benny sebagai Panglima ABRI, Soeharto menggunakan caranya yang sangat khas. Kalem dan halus. Maksudnya, Soeharto tak langsung menyebut nama Benny sebagai penerus M Jusuf, melainkan dengan kode tertentu ciri khas raja Jawa yang percaya wangsit dan insting. (pul)