images/images-1673429190.png
Budaya
Riset

Uang Gerilya Dari Masa ke Massa

Pulung Ciptoaji

Jan 11, 2023

618 views

24 Comments

Save

Uang kertas yang beredar dikeluarkan Gubernur Sumatra di Bukittinggi pada 17 januari 1948 dan mata uang Banten yang ditaandatangani Residen Banten HM Chatib. Foto Istimewa 

 

 

abad.id-Bank Indonesia (BI) pada November tahun 2022 lalu memberikan proyeksi terbaru mengenai transaksi uang elektronik yang akan terus tumbuh. Hal ini menandakan uang kertas tidak akan lagi banyak digunakan oleh masyarakat luas. Transaksi e-commerce diperkirakan mencapai Rp 572 triliun pada 2023 dan Rp 689 triliun pada 2024. Digital banking juga diproyeksikan akan mencapai lebih dari Rp 67.000 triliun pada 2023 dan Rp 87.000 triliun pada 2024.

 

Sebenarnya darurat uang ini seperti ini bisa diartikan sebuah kemajuan ekonomi berubah ke era digital, namun juga sebuah kemunduran. Sebab pada masa e-commerce nangi jumlah uang kwartal yang beredar di masyarakat akan tidak banyak. Terekait jumlah uang kwartal tidak banyak beredaar ini pernah dialami bangsa Indonesia saat awal kemerdekaan. Pada masa itu belum ada pengaruh uang sebagai bagian dari bauran kebijakan untuk memperkuat ketahanan, pemulihan, dan kebangkitan perekonomian, di tengah kondisi ekonomi global. Uang hanya dianggap berupa alat transaksi konvensional yang disepakati di sebuah wilayah atau antara pihak satu dengan pihak lain.

 

Sejarah uang pasca kemerdekaan dimulai dari munculnya istilah uang gerilya. Uang ini dibuat secara darurat hanya diketik diatas kertas kopi yang diterbitkan di Rantau Prapat dengan nilai nominal Rp 25 Juta. Di daerah lain ada pula uang kertas yang dicetak di atas kertas bergaris dari bekas buku tulis. Dua peristiwa itu terjadi dekade saat revolusi kemerdekaan 1945-1947.

 

Uang kertas yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948 dan 1949 dengan nominal tidak biasa, yaitu Rp 40 Rp 75 dan Rp 400. Foto istimewa

 

 

Sebenarnya sudah ada uang yang terlanjur beredar di negara yang baru terbentuk itu, yaitu terbitan pemerintah Jepang dan uang yang dibuat bank Hindia Belanda. Namun jumlah uang yang beredar sangat terbatas dan diteribitkan oleh negara yang tidak diakui. Serta sebab lain blokade wilayah telah memutuskan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dengan alasan itu pemerintah darurat di masing masih daerah diperbolehkan mengeluarkan uang gerilya.

 

 

Mata uang yang dikeluarkan Karisidenan Aceh di cetak di Singapura. Bentuknya lebih cantik kuwalitas kertas lebih baik. Foto istimewa 

 

 

Mata uang itu beredar di wilayah terbatas dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Namun hanya berlaku di daerah mereka sendiri di wilayah kesatuan Republik Indonesia. Mata uang resmi yang lebih sempurna cetakannya juga muncul di daerah lain dengan bentuk beraneka ragam. Misalnya mata uang di daerah Jakarta akan berbeda dengan mata uang yang beredar di Yogjakarta. Begitu pula yang beredar di Sumatra, Riau, Kalimantan hingga Sulawesi. Bahkan daerah kabupaten sangat terpencil  juga menerbitkan mata uang sendiri akibat terputusnya hubungan dengan pemerintah pusat.

 

Tujuan pemerintah pusat memperbolehkan menerbitkan uang darurat tersebut, agar roda perekonomian di daerah tetap berjalan. Serta perjuangan mengusir penjajah terus dilakukan melalui kampanye transaksi penggunakan mata uang republik Indonesia Rupiah.

 

Uang Daerah Wewenang Pejabat Daerah

Pemerintah daerah di Sumatra sering mengeluarkan uang daerah. Tidak kurang 19 daerah kabupaten dan propinsi terpaksa menerbitkan uang revolusi ini. Mulai dari pemerintah Aceh sampai pemerintah Palembang. Uang yang diterbitkan pemerintah Aceh memiliki desain yang menarik, mulai mutu kertas dan kwalitas tinta. Konon uang Aceh dicetak secara profesional di Singapura sehingga desain lebih maju.  

 

Uang yang beredar di daerah Sumatra Selatan ditandatangani Giubernur Militer Daerah Istimewa AK Gani tanggal 1 Mei 1949. Mata uang nilai nominalnya Rp 20 dicetak di atas kertas telsrook atau gulugan kertas di mesin hitung yang kasar dan tebal. Sedangkan uang kertas dari Kabupaten Rantau Prapat ditanda tangani oleh bupati dan dicetak menggunakan kertas stensil. Nilainya minimal Rp 100, dan terdapat lubang kecil-kecil membentuk tulisan Betaald ( sudah lunas) .

 

Mata uang dengan nominal seratys rupiah dengan tambahan kata " Baru". Foto istimewa

 

 

Uang daerah Tapanuli juga dicetak diatas kertas stensil dikeluarkan tanggal 18 November 1947 dengan nominal Rp 25 dan Rp 50. Uang kertas ini ditanda tangani kepala Kantor Pengawasan Keuangan Tapanuli dan 5 pejabat panitera. Bahkan di daeraah Sumatra lain juga terdapat uang dengan bahan kertas stensil, serta tanda tangan asli dari pejabat yang berwenang. Mungkin karena bupati kewalahan untuk menandatangani setumpuk uang kertas itu, maka dia meminta bantuan para stafnya. Seingga bentuk tanda tangan di masing-masing uang bisa berbeda, namun tetap atas nama bupati.

 

Di Sumatra juga muncul uang dengan bahan kertas kopi dengan nilai Rp 10, diketik biasa tanpa cetak. Ukuran uang itu 5 X 10 cm, lengkap dengan tulisan Kupon ORI. Pengganti uang resmi dan berlaku sah di daerah gerilya dalam daerah RI, Bank Dunia Merdeka RI. Uang kertas ini ditanda tangani oleh kepala Departemen Keuangan KG Honggo Djojo pada tahun 1948.

 

 

Uang darurat ditulis menggunakana kertas kopi, kemudian diketik secara sederhana lalu ditanda tangani lembar perlembar. Foto istimewa 

 

Bahkan ada daerah lain yang mengeluaran uang lebih darurat yang diketik biasa di kertas tulis garis garis. Uang tersebut dicetak hanya halaman depan saja. Klise yang dipakai untuk cap depan terbuat dari bahan ubi mentah yang digambar digunakan untuk stempel. Tinta berwarna hitam dengan cetakan yang mblobor nyaris tidak terbaca. Karena bentuknya sangat sederhana, uang tersebut lebih mirip alat cetak uang kertas.

 

Sementara di Pulau Jawa terdapat uang kertas darurat dengan bahan bekas kertas bungkus semen di daerah Cepu dan uang dengan bahan kertas payung di daerah Juwiring. Prinsip Pemerintah Daerah yang mencetak uang darurat itu bersifat sementara. Uang dari daerah hanya bisa beredar di daerahnya sendiri. Jika terdapat transaksi uang resmi dari ORI masuk ke daerah, maka bisa membantu menambah peredaraan uang. Sebab uang lokal tidak bisa ditransaksikan di daerah lain.

 

Sejarah Unik ORI

 

ORI ( Oeang Republik Indonesia ) mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Berdasarkan undang-undang tentang ORI (UU no 19 tahun 1946) disebutkan nilai RP 10 uang ORI sama dengan nilai emas murni seberat 5 gram. Ini menunjukan masa-masa awal kemerdekaan, pemerintah berusaha menentukan nilai mata uangnya. Uang ORI pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pecahan setengah sen, 1 sen, 5 sen, 10 sen, Rp 1, Rp 5, Rp 10 dan Rp 100. Mata uang ORI ini ditanda tangani Menteri Keuangan pertama Mr Maramis. Kertas dan hasil cetakan cukup bagus, namun tidak memiliki alat deteksi pengamanan.

 

Sementara itu sebagai peringatan atau kenang-kenangan, pemerintah juga mencetak uang emas. Jumlahnya hanya 12 keping dengan berat masing-masing 30 gram emas murni. Uang tersebut diserahkan kepada pemimpin nasional Sukarno dan Hatta. Tidak ada yang tahu nilai nominal kepingan uang emas itu. Sebuah catatan mengatakan bahwa nilai emas seberat 30 gram saat itu  jika dibelanjakan di pasar hanya dapat 4 kaleng beras. Mungkin karena situasi ekonomi masih sangat darurat pangan, sehingga beras dan bahan pokok lebih malah nilainya daripada emas murni.

 

Pemerintah pusat juga pernah mengeluarkan mata uang dengan nilai nominal ganjil. Uang tidak lazim tersebut ditanda tangani Menteri Keuangan Ad Interim M Hatta. Nilai uang yang tercetak dalam kertas tersebut Rp 40, Rp 60 Ro 74, Rp 400 dan Rp 600. Nominal ganjil ini hanya diterbitkan pada masa revolusi kemerdekaan, dan tidak pernah diterbitkan lagi pada pemerintahan selanjutnya.

 

Kejutan Inflasi di Awal Kemerdekaan

 

Inflasi di sebuah negara yang masih kacau dan baru terbentuk sangat lumrah terjadi. Sejak awal proklamasi 1945 situasi ekonomi di Jakarta masish carut marut. Penduduk Jakarta dihadapkan pada pilihan transaksi menggunakan mata uang Jepang atau Hindia Belanda. Sementara transaksi perdagangan tetap harus berjalan, untuk memenuhi kebutuhan warga atas pangan dan lainnya.

 

 

Uang darurat gerilya diterbitkan di palembang diperbanyak dengan cara distensil pada kertas gulungan mesin hitung. Foto istimewa

 

Sebelum ada uang ORI, uang yang beredar juga sangat terbatas dan pengeluaran dikendalikan oleh tentara Jepang. Jika seorang warga Jakarta memegang uang, maka dipastikan nilainya sangat jatuh. Orang tersebut harus berputar otak untuk mengelola uang untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok yang harganya sangat mahal. Selembar kain batik misalnya bila dijual dipasar gelap bisa untuk mencukupi makan sekeluarga 8 orang selama setengah bulan. Beberapa warga yang tidak memiliki uang lebih memilih bertransaksi secara barter atau tukar barang dengan nilai yang disepakati.

 

Seorang pengusaha batik yang mulai merintis kembali pasca Jepang menyerah ke tangan sekutu mengatakan, untuk membiayai keluarganya dia sering menyelundupkan batik dari Solo ke Semarang hingga Bandung. Kain itu dibelitkan di paha atau perutnya.

 

Inflasi benar-benar telah menghancurkan ekonomi Indonesia sejak 1945. Puncaknya pada masa jaman agresi militer Belanda tahun 1947, mata uang ORI dan mata uang lokal nyaris tidak ada nilainya. Untuk mengatasi kekacauan ini, pemerintah daerah di Sumatra Selatan punya cara. Yaitu semua yang memegang uang wajib ditempeli materai dengan nilai yang sama dengan mata uangnya. mIsalnya  pemilik uang dengan nilai Rp 25, wajib menempel materai senilai 25 rupiah. Dengan cara ini, uang yang beredar yang ditandatangani Gubernur Tengku Muhammad Hassa tidak dipotong dan nilainya tetap.

 

Cara unik lain mengatasi inflasi dilakukan Pemerintah Daerah Rantau Prapat. Yaitu menerbitkan uang dengan nilai nominal Rp 10 ribu, Rp 50 ribu Rp 5 juta dan Rp 25 juta. Uang tersebut ditulis lengkap jumlah nol dibelakangnya, menjadi 25.000.000 rupiah. Beruntung Uang dicetak dengan jumlah terbatas antara 15 Pebruari 1948 sampai 5 Mei 1948. (pul)

Penulis ; Pulung Ciptoaji

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022