Jejak Pecinan, termasuk Hong Swi Hoo atau Sunan Ampel, di Delta Kali Surabaya
Abad.id - Raden Rahmad, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, adalah salah satu dari sembilan penyebar agama Islam di Jawa atau yang umum disebut Wali Songo.
Sunan, yang juga disebut Susuhunan, adalah gelar yang merujuk pada penguasa monarki, termasuk buat bangsawan yang dihormati.
Menurut literasi Wikipedia, gelar Sunan atau Susuhunan berasal dari bahasa Jawa Kuno. Istilah "susuhunan" dapat diartikan sebagai "junjungan".
Di pulau Jawa gelar ini tidak hanya digunakan oleh penguasa monarki tetapi juga oleh ulama anggota Sembilan Wali (Wali Songo), yang merupakan penyebar agama Islam.
Disebut Sunan Ampel karena Raden Rachmad adalah orang, yang berkuasa di wilayah Ampel, yang kala itu bernama Ampel Denta. Ia tidak hanya seorang ulama Islam, tapi sekaligus seorang pemimpin di wilayah Ampel Denta. (GH Von Faber: Oud Soerabaia)
Raden Rachmad, menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Tumbulnya Negara Negara Islam di Nusantara" (2005), masuk tanah Jawa pada 1445 (Semarang) dan selanjutnya ke Ampel Denta pada 1451.
GH Von Faber dalam "Oud Soerabaia" menuliskan bahwa Raden Rachmad membawa penduduk dari Trowulan sebanyak 3000 keluarga ke Ampel Denta dan jumlah itu belum ditambah dengan penduduk lokal yang telah berdiam di Ampel Denta. Disanalah ia memimpin komunitas baru Ampel Denta.
Dalam kata pengantar, yang ditulis oleh Dr. Aswi Anwar Adam dalam buku Prof. Slamet Mulyana, dituliskan bahwa di Surabaya sejumlah besar penduduknya adalah orang orang China. Laporan ini sebagaimana dikutip dari tulisan Ma Huan (1433).
Jika Ma Huan melihat bahwa ketika ia datang bersama Cheng Ho sudah melihat banyak orang China di Surabaya, diduga mereka adalah orang orang keturunan dari prajurit yang datang jauh sebelumnya bersama Mongol di 1293.
Raden Rachmad (atau bernama Hong Swi Hoo), yang datang dan mendiami Ampel Denta, sebuah wilayah di utara Pecinan, adalah penyebar agama Islam. Di tempat baru itu, Raden Rachmad juga menjadii seorang pemimpin atau penguasa lokal yang kemudian disebut Susuhunan yang disingkat Sunan.
Disanalah selanjutnya, setelah kedatangannya di Ampel Denta, ia mulai membangun Masjid, yang karena letaknya di Ampel, maka masjidnya disebut Masjid Ampel. Masjid ini dibangun pada kisaran pertengahan abad 15 M.
Pendirian masjid Ampel di pertengahan abad 15 ini menjadi bagian dari kelengkapan infrastruktur permukiman baru bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa kawasan diantara sungai Kalimas (barat) dan Pegirian (timur) secara alami sudah bisa ditempati dan dipakai sebagai kawasan permukiman yang lebih ramai.
Diduga sebelum abad 15, kawasan ini juga sudah menjadi kawasan permukiman yang warganya masih memeluk agama Hindu, Buddha dan kepercayaan. Pernah adanya peradaban Hindu ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan fragmentasi struktur candi, yang berupa batuan persegi dengan sistim penguncian. Ada juga sebuah umpak dan gentong-gentong andesit.
Jejak peradaban di komplek Masjid Ampel berupa batuan candi, umpak dan gentong andesit
Prof. Aminuddin Kasdi, yang mengutip sumber "De Opkomst van Hetherlands Gézaag in Oost Indie, Deel VII omtrent Trunadjaya", juga mempertegas bahwa sebelum Islam berkembang di Ampel, disana pernah ada bangunan suci umat Hindu. Hal senada juga didapat dari sumber Universitas Indonesia (UI) bahwa Masjid didirikan di bekas bangunan suci Hindu, Nyu Denta.
Bisa jadi bahwa sebelum abad 15, disana sudah ada permukiman warga setempat yang beragama Hindu dan kepercayaan lokal. Ini berarti bahwa secara alami lahan di kawasan Ampel Denta, yang berada di antara sungai Kalimas dan Pegiriaan, sudah terbentuk.
Jejak peradaban di Delta kali Surabaya
Disanalah, di antara dua sungai Kalimas dan Pegirian, peradaban manusia itu semakin bertumbuh dan berkembang setelah peradaban yang ada sebelumnya di selatan (Pecinan, Pengampon, Pandean - Peneleh)
Maka adalah logis jika pada kisaran akhir abad 14, kawasan Ampel Denta sudah mulai dihuni masyarakat. Kawasan ini tentunya terhitung lebih muda dibandingkan dengan kawasan yang ada di selatannya. Seperti kawasan Pecinan, yang terhitung dengan masuknya prajurit Mongol pada 1293 M dan apalagi di kawasan yang lebih ke selatan seperti Pandean - Peneleh - Pengampon yang dikabarkan sudah dihuni pada 1270-1275 M. (Von Faber: Erwerd Eenstad Geboren).
Artinya secara alami kawasan di antara dua sungai (Kalimas dan Pegirian) menjadi tempat peradaban yang diawali dari selatan: Pandean - Peneleh pada 1270 M, lalu Pengampon pada 1275, kemudian Pecinan pada 1293 dan berikutnya atas kedatangan Ma Huan dan Cheng Ho pada 1433 serta Raden Rachmad pada 1451 M.
Dalam perkembangannya memasuki abad 16 kawasan di antara dua sungai ini (delta) terus tumbuh dan berkembang baik di bidang pemerintahan lokal, termasuk bidang ekonomi dan perdagangan. Tidak heran bahwa sungai Kalimas dan Pegirian menjadi urat nadi perekonomian, perdagangan, transportasi yang ramai dengan pelabuhan pelabuhan kali yang ada di kedua sungainya.
Berbagai komoditas dagang dari pedalaman Jawa berhenti di pelabuhan pelabuhan kali di Kalimas dan Pegirian. Pun sebaliknya, komoditas dari luar pulau dan manca negara juga transit di kawasan delta ini sebelum berlanjut ke pedalaman Jawa.
Ma Huan, yang mengikuti perjalanan Cheng Ho ke Majapahit pada 1430-an, dikabarkan berhenti di delta dekat muara Pa-Tsih-Kan atau Kalimas (Ma Huan: Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean's Shores).
Cheng Ho dan rombongan ini mengikuti jejak pendatang sebelumnya yang masuk pada 1293 M. Mereka adalah prajurit Kubiai Kan dibawah komando Ike Mese, Kau Tsing dan Shih Pi sebelum masuk ke pedalaman Jawa.
Jejak Marga Han di Pecinan Jalan Karet Surabaya
Ramainya dan berkembangnya Surabaya diperkuat dengan kehadiran keluarga Han pada awal 1700-an. Tidak hanya keluarga Han yang turut meramaikan Surabaya pada abad 18, ada juga keluarga The dan Tjoa. Peninggalan ketiga marga ini masih menjadi bukti di kawasan Pecinan Surabaya. (Nanang)