images/images-1664599938.jpg
Sejarah
Museum Online

Cita Cita Besar Sukarno Anti Kolonialisme Dimulai Dari Sini

Author Abad

Oct 01, 2022

421 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.

 

 

Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
 

 

Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.

 

 

Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus. 

 

 

Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto. 

 

"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang

 

 

Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan. 

 

 

Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS. 

 

 

Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro. 

 

 

Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung.  (pul)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023