Ruang altar Rumah Abu Han di Surabaya. Foto begandring
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Di masa Pemerintahan Belanda pada pertengahan abad 18, secara teritorial dibagai bagi berdasarkan etnis. Pembagian wilayah ini sesuai dengan Undang Undang Wilayah yang disebut "wijkenstelsel".
Penerapan Undang Undang Wijkenstelsel diberlakukan setelah terjadi peristiwa pemberontakan Cina di Batavia pada 1740. Untuk mencegah itu terjadi di Surabaya, maka wilayah Eropa dibuat tembok yang mengelilinginya. Jadilah kota bertembok (walled town). Letaknya berada di barat sungai Kalimas di kawasan Jembatan Merah sekarang.
Sementara di timur Kalimas adalah kawasan Timur Asing yang disebut Vreemde Oosterlingen, atau tempat tinggal warga Pecinan, Melayu, Pribumi dan Arab. Sementara sungai Kalimas menjadi batas alami antara kampung Eropa dan kampung Timur Asing.
Komunitas China, yang tinggal di kawasan itu selanjutnya dikenal dengan Kampung Pecinan, memegang peranan penting dalam perkembangan Surabaya dan wilayah Ujung Utara Jawa bagian Timur (Java's Oosthoek). Salah satunya marga Han, yang sejak pertengahan abad 18 sudah mulai menguasai wilayah itu.
Menurut riwayat, bermulanya marga Han di Jawa diawali dari Han Siong Kong (1673-1743) yang hijrah dari tanah kelahiran di China ke Jawa pada kisaran awal 1700-an. Setelah kematiannya pada 1743, anak anak Siong Kong tersebar. Dua anak tertua: Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong menetap di Lasem. Satu, Han Bwee Kong, pindah ke Surabaya dan dua lainnya, Han Hing Kong dan Han Tjien Kong atau Soero Pernollo, menuju Besuki dan menetap di sana.
Sekarang, keturunan Han tersebar dimana mana. Salah satu keturunan Han dari generasi ke 14 tinggal di Semarang, tidak jauh dari Lasem. Ia adalah Han Ay Lie.
Han Ay Lie, atas kiriman sahabat yang bekerja di Universitas Petra, akhirnya turut membaca berita tentang keluarga Han, yang ditulis abad.id beberapa hari lalu. "Sangat menarik. Apa saya bisa dapat artikel dan data ini? Nama saya Han Ay Lie dan saya generasi ke 14 Han Siong Kong", tulis Ay Lie kepada kami.
Dikutip dari laman semarangpos.com, diketahui bahwa Han Ay Lie adalah putri dari salah satu pendiri Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Han Bing Hoo, yang berlatar belakang akademik hukum. Sementara Han Ay Lie sejak tahun 2017 dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Teknik. Meskipun sang ayah berlatar belakang hukum, ternyata Han Ay Lie lebih tertarik menekuni teknik sipil yang bidang kerjanya didominasi laki-laki.
Profesi keluarga Han yang beragam sudah nampak dari dulu. Tidak hanya keragaman di bidang profesi, tapi keragaman dalam hal agama dan kepercayaan juga sudah mewaranai keluarga. Namun demikian, apapun perbedaan tidak menimbulkan perpecahan. Mereka tetap erat dan bersatu. Rumah persembahyangan nenek moyang, yang umum disebut Rumah Abu Han, menjadi perekat.
“Di rumah persembahyangan nenek moyang inilah keturunan marga Han bertemu. Mereka dari lintas generasi, lintas domisili dan bahkan ada yang lintas agama dan kepercayaan, bisa jadi satu di rumah persembahyangan. Rumah Abu menjadi simpul keluarga yang telah bermukim di berbagai tempat,” kata Han Ay Lie.
Bagian dari Bong di halamaan belakang Rumah Abu Han. Ada kata Jin Jiang yang berarti kota Jin Jiang yang terletak di Guangshou Fujian, sebuah daerah asal marga han. Foto begandring
Di Surabaya, rumah sembahyangan ini berada di jalan Karet, Surabaya. Rumah Abu yang bergaya Tionghoa berdiri bagai menembus lintas masa. Didirikan pada kisaran abad 18 dan masih tegak di abad 21. Keberadaannya menjadi sebuah landmark Kampung Pecinan Surabaya.
Rumah Abu Han masih menyimpan sifat sifat Pecinan mulai dari arsitektur eksterior dan interiornya. Rumah Abu Han adalah sejarah kota, mutiara kota. Dari Rumah Abu Han inilah yang menjadi salah satu jejak nyata sejarah kota Surabaya.
Salah satu artefak penting yang ada di dalamnya adalah silsilah keluarga yang diawali dari generasi pertama marga Han di Jawa. Yaitu Han Siong Kong (1673-1743). Yang unik, betuk silsilah ini dibuat melingkar. Dimulai dari titik tengah, kemudian melingkar ke kanan sesuai timeline generasi.
Rumah Abu Han. Foto begandring
Adapun artefak penting lainnya adalah lukisan Han Bwee Kong (1727-1778), salah satu dari lima anak Han Siong Kong dan lukisan istrinya Cen Ciguan (1730-1778). Menurut catatan Claudine Salmon dalam The Han Family of East Java Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries), bahwa pasangan Bwee Kong dan Cen Ciguan dimakamkan di pemakaman Cina, Bong, di Surabaya yang letaknya di belakang Rumah Abu Han.
Sekarang pemakaman Cina itu telah berubah menjadi pasar dan pemukiman. Dinamakan Pasar Bong. Sejak 30 Desember 2022, Pasar ini dibuat pasar belanja malam hari (Night Shopping) untuk menunjang kawasan wisata Pecinan Kembang Jepun yang dikembangkan pemerintah kota Surabaya.
Keberagaman Keluarga
Han Ay Lie, salah satu keturunan marga Han, tinggal di Semarang. Ia putri salah seorang pendiri Universitas Diponegoro Semarang yang sekarang menjadi guru besar di bidang Sipil. Kepada penulis mengatakan, bahwa keluarga marga Han mulai dulu cukup unik.
"Keluarga kami memang unik karena dengan alami sebagian menjadi Muslim pribumi. Silsilah ada di halaman 72", terang Han Ay Lie sambil menginformasikan kisah marga Han yang ditulis oleh (alm) Han Bing Siong dalam menanggapi tulisan Claudine Salmon. Tulisan Han Bing Siong yang berupa tanggapan itu diberi judul "Han on Salmon" dan khusus tentang keluarga Marga Han yang beragama muslim ada di halaman 72.
Menurut catatan Claudine Salmon dalam "The Han Family", keberagaman keluarga Han ini tidak hanya di bidang perdagangan, politik dan pemerintahan, tapi juga dalam hal agama dan kepercayaan. Bahkan dalam social budaya, di sana sudah ada pembauran dimana keluarga Han menikah dengan warga pribumi. Misalnya di Surabaya, seorang putri dari marga Han menikah dengan seorang priyayi dan petinggi Surabaya dari trah Kromojoyodirono.
Han Bing Siong dalam catatan Han on Salmon menuliskan "... so very likely the link with my father's family was the marriage of a Han-girl to a Kromojoyodirono (one of regents of Surabaya) ".
Pernikahan putri keluarga Han dengan salah satu bupati Surabaya dari trah Kromojoyodirono seperti diceritakan Han Bing Siong (Semarang) menunjukkan alur keturunan dalam keluarga priyayi kabupaten Surabaya yang terus berkembang ke beberapa daerah di Jawa Timur. Salah satunya di Lamongan.
"The ancestors of the regents of Lamongan were the Kromojoyodirono, regents of Surabaya", tambah Han Bing Siong, yang mengutip Heather Surherland "Notes of Java's regents families". Nenek moyang para bupati Lamongan adalah keturunan Kromojoyodirono yang diantaranya menikah dengan keluarga Han. Demikian pula dengan deretan bupati Tuban dan Malang. Ada priyayi yang merupakan keturunan dari marga Han, yaitu Raden Ajoe Artinya (Malang), yang tidak lain adalah cucu Adipati Soeroadinegoro di Malang yang juga keturunan Han Siong Kong (1673-1742).
Banyak persebaran keturunan marga Han di Jawa Timur yang menduduki jabatan penting dan memainkan peranan penting dalam struktur urat nadi perekonomian, perdagangan, politik dan pemerintahan serta dalam sendi sosial budaya.
Marga Han (Han Siong Kong, generasi ke 1 di Jawa dan generasi ke 20 dari keseluruhan merga Han di China) bermula di Semarang dan kemudian menyebar ke Jawa Timur yang dimulai dari anak anak Han Siong Kong. Mereka (generasi ke 2 untuk wilayah Jawa dan generasi ke 21 dari garis awal nenek moyang di China) adalah Han Tjoe Kong, Han Kien Kong, Han Tjien Kong, Han Hing Kong dan Han Bwee Kong. Selanjutnya mereka berkembang ke mana mana dan bahkan berasimilasi dengan warga lokal yang beragama Islam.
Percampuran secara sosial budaya ini sekaligus menjadikan percampuran dalam bidang agama dan kepercayaan. Persebaran keluarga Han yang beragama Islam ini sangat kuat di wilayah Tapal Kuda dan Madura.
Dari keturunan Han Tjien Kong atau Soero Pernollo (1727-1778), salah satu dari lima anak Han Siong Kong (1673-1743) yang bermukim di Besuki dan mengawali memeluk agama Islam menjadikan persebaran keturunan Han semakin masif. Mereka kuat di berbagai struktur dan strata sosial, ekonomi, perdagangan dan pemerintahan. Kekuatan itu masih ada hingga sekarang. (nng/pul)