images/images-1675650049.jpg
Indonesiana

Presiden Adalah Warga Negara Indonesia Asli

Malika D. Ana

Feb 06, 2023

333 views

24 Comments

Save

Presiden Adalah Warga Negara Indonesia Asli
 
 
 
Abad.id - Judul diatas adalah bunyi pasal 6 UUD 45 sebelum diamandemen. Setelah diamandemen, pasal tersebut berubah dengan penghilangan kata "asli." Sehingga bunyinya tinggal "Presiden adalah warga negara Indonesia." Perubahan atau amandemen tersebut atas usulan satu orang yang menyebut dirinya minoritas, yakni Prof JE Sahetapy.
 
 
Dalam bernegara dan berbangsa itu berlaku keniscayaan yang disebut Trilogi Pribumi; yaitu paham tentang pribumi pendiri negara, pribumi pemilik negara, dan pribumi penguasa negara. Hal ini telah berlaku semenjak ribuan tahun lalu.
 
 
Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) negara tertua di dunia sebagai bukti yang selalu dipimpin oleh warna negara aslinya,antara lain ialah Mesir 3.100 SM, Cina 2.070 SM, India 1.500 SM, Ethiopia 980 SM, Yunani 800 SM, Jepang 660 SM, dan Iran 550 SM. Kecuali 4 (empat) negara yaitu Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand yang memang dikuasai oleh para pendatang (imigran).
 
 
Ironisnya, memasuki 21 Mei 1998, MPR RI justru menghapus istilah pribumi dan non-pribumi serta mencoret kata ASLI dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 diganti dengan "warga negara" demi memenuhi aspirasi politik kaum imigran agar setara dengan pribumi. Ini merupakan puncak dari pemalsuan UUD 1945 ASLI yakni; ”MENGHAPUS” BANGSA INDONESIA, dan hanya atas usulan SATU ORANG itu saja. Pasal 6 Ayat 1 yaitu Presiden ialah ORANG INDONESIA ASLI sudah dihapus. Padahal pencantuman Pasal 6 Ayat 1 di UUD 1945 ASLI itu berdasarkan sejarah panjang perbudakan dan perjongosan leluhur bangsa Indonesia di negeri sendiri.
 
 
Pasal 6 Ayat 1 ini merupakan HAK PRIBUMI, ORANG INDONESIA ASLI UNTUK MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI. Makin kesini, sepertinya ada kecenderungan muncul parasitisme pada kaum imigran ketika mereka merasa powerful secara ekonomi lalu berupaya melakukan manuver guna menghilangkan nomenklatur ASLI serta hak-hak pribumi di sebuah negara dalam rangka melicinkan jalan penguasaannya terhadap pribumi berikut tanah-tanah Ulayat dan sumberdaya alamnya.
 
 
Bagi negara yang jejak pribumi dan nomenklatur ASLI telah dihapus serta terhapus dari konstitusi, secara de jure sebenarnya telah berstatus bangsa jajahan (colony of nations).
Maka merespon "kecolongan yang dikatakan KPU" saat merebak berita walikota NTT ternyata warga negara asing, pertanyaannya adalah; BAGAIMANA BISA? Bukankah sebelum pencalonan, saat bacawali mendaftar ke KPU selalu ada proses verifikasi? Lalu kenapa pada kasus ini seorang WNA bisa melenggang bebas menjadi walikota NTT?
 
 
 
Naluri geopolitik menengarai, bahwa isu walikota di NTT yang WNA merupakan 'test case' atas pasal 6 UUD 1945 yang telah dihapus kata "asli"-nya oleh Prof JE Sahetapy dan disetujui oleh sidang parlemen 1999 - 2002. Artinya, jika kasus tersebut lolos ---aman-aman saja--- niscaya disusul jabatan politik pada level diatasnya: Gubernur bahkan Presiden dapat pula dijabat oleh WNA. Sebagai catatan, kita juga pernah kecolongan (punya) Wamen SDM yang juga WNA. Dan test the water kali ini dinyatakan "gagal." KPU beralasan 'kita kecolongan...' Sudahlah, mbok berhenti menganggap masyarakat ini semuanya bodoh!
 
 
Jangan berbohong kepada pemikir, karena itu tidak akan pernah berakhir dengan baik. Karena orang-orang semacam itu telah melatih otak mereka untuk mencari lubang dalam sebuah cerita. Jika ada omong kosong tidak masuk akal, mereka akan memikirkannya berulang kali sampai masuk akal.
 
 
Demikianlah, pengalaman adalah guru terbaik. Maka celakalah bangsa yang tidak eling dan waspada, serta mampu berkaca pada pengalaman sejarahnya. Kedepan, jangan ada lagi kasus-kasus seperti itu. Memalukan dimata global. Terkesan sangat amatiran dalam mengelola negara. Selanjutnya agar tidak menjadi preseden buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, apapun alasannya, Walikota NTT yang WNA harus dibatalkan dengan segala konsekuensi hukum dan resiko politik mengingat ia diusung oleh partai besar yang niscaya memiliki power serta jaringan politik yang luas dan kuat.
 
 
Jangan sampai bangsa ini menjadi tuan yang tidak berdaulat di negerinya sendiri, di tanah airnya sendiri, dan hanya puas sebagai jongos bangsa asing. Sikap psikologi politik ini belum disadari pribumi nusantara. Dan faktor inilah yang menjadikan national morale neglected, pengabaian moralitas nasional.(mda)
 
 
*artikel asli telah tayang di FB Malika Dwi Ana tanggal 11 Februari 2021
 
 
 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022