Umar Wirahadikusuma pimpin operasi penangkapan pelaku pembunuhan para jendral. Foto dok net
abad.id-Gerakan yang mengakibatkan tewasnya enam jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965, memang meninggalkan banyak pertanyaan. Peristiwa penjemputan paksa yang berlangsung tengah malam itu, menjadi kisah awal berubahnya perjalanan hidup Presiden Soekarno.
Sinar matahari yang menyinari Bumi pada tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari sesudahnya, tidak lagi tampak sama di mata Presiden Soekarno. Sejak pagi hari itu, perlahan tetapi pasti Presiden Soekarno mulai surut pamornya. Dalam buku Dialog Dengan Seiarah Soekarno Seratus Tahun tulisan James Luhulima, mulai hari itu, Presiden Soekaro bukan lagi merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Pada hari yang sama, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mulai membangun kekuatan tandingan dengan secara sepihak mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dari tangan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, yang belum diketahui keberadaannya. Bukan itu saja, Mayjen Soeharto pun mencegah Panglima Kodam V Jaya Brigadir Jenderal (Brigjen) Umar Wirahadikusumah memenuhi panggilan Presiden Soekamo untuk menghadap.
Baca Juga :Sneevliet Pembawa Ideologi Komunisme di Hindia Belanda
"Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Panglina Angkatan Darat tidak ada di tempat, semua panglima menghadap Panglima Kastrad,"ujar Mayjen Soeharto kepada Komisaris Besar Polisi Sumirat dan Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko, Ajudan Presiden Soekamo, yang menjemput Panglima KodamV Jaya Brigadir Jenderal (Brigjen) Umar Wirahadikusumah.
Presiden Soekarno kelihatan kurang senang karena Panglima Kodam V Jaya tidak diizinkan menghadap. Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan bawahi Presiden memegang kekunsaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
Baca Juga : Peristiwa 17 Oktober 1952, Ketika Tank dan Meriam Mengepung Istana
Namun banyak pihak terutama Angkatan Darat sudah tidak peduli dengan Soekarno. Digambarkan situasi tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari sesudahnya, suasana politik di ibu kota bergeser 180 derajat. Kekuasaan de facto sudah terlepas dari tangan Presiden selaku penguasa Republik Indonesia. Ditangan Soekarno memang masih ada pintu untuk berbicara, tetapi inisiatif dan kontrol atas jalannya situasi sudah bukan di tangannya.
Pembangkangan terhadap Presiden Soekarno bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Sebab, di saat Presiden Soekarno gencar berkonfrontasi dengan Malaysia, di Kostrad tengah dibentuk Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Letnan Kolonel (Letkol) Ali Moertopo, dan dibantu Mayor L.B. Moerdani, Letkol A.R. Ramli, dan Letkol Sugeng Djarot. Personel-personel Opsus secara diam-diam melakukan kontak-kontak rahasia dengan pihak-pihak di Malaysia untuk mengupayakan perdamaian.
Baca Juga : Cerita Peringatan Setahun Kemerdekaan RI di Jakarta, Sangat Tegang
Dilematis Umar, Pilih Soeharto Atau Soekarno
Hari itu Jumat Subuh, 1 Oktober 1965. Sekitar pukul 04.00 WIB. Suara telpon berdering di rumah dinas Panglima Kodam (Pangdam) V Jaya, Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Umar Wirahadikusumah, Jalan Ki Mangunsarkoro Nomor 36 Menteng, Jakarta Pusat. Umar bergegas menyambar telepon yang berada di atas bufet. Di ujung telpon Komisaris (Polisi) Hamdan, salah seorang ajudan Jenderal TNI Abdul Haris (AH) Nasution.
Melalui telepon, Hamdan melaporkan telah terjadi penembakan dan perlucutan senjata petugas oleh pasukan tak dikenal di kediaman Menteri Koordinator (Menko)/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), Jenderal TNI AH Nasution. Ajudan lainnya, Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean juga hilang dari kediaman.
Baca Juga : Keris Melawan Meriam Saat Puputan Klungkung
“Saya harus pergi ke rumah Pak Nas,” kata Umar kepada istrinya.
“Ke Pak Nas?” jawab Karlinah dengan penuh tanya.
“Ya, ada sejumlah pasukan tidak dikenal melucuti pasukan jaga dan masuk ke rumah mencari Pak Nas,” kata Umar menjelaskan.
Pangdam Jaya segera membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian dinas lapangan. Ia mencoba mengangkat telepon untuk menghubungi sejumlah orang. Ternyata hubungan telepon sudah terputus.
Sebagai Panglima, ia tidak bisa menghubungi siapa pun. Padahal dalam situasi genting, ia membutuhkan informasi dari sejumlah pihak. Umar berpikir ada situasi yang sangat tidak biasa di wilayah tanggung jawabnya. Ia bergegas Sholat Subuh sebelum berangkat.
Baca Juga : Kisah Roman Detektif Ktut Tantri Tanah Paradise
Usai sholat Subuh dan sarapan secukupnya, Umar segera menyambar tongkat komando dan pistolnya. Dang Umar merupakan panggilan kecil sang jenderal. Dang menunjukkan anak seorang wedana. Ayahnya Wedana Cibatu, Kabupaten Garut.
Tak lama datang kemudian Kapten Sulasdi, perwira piket Garnizun Ibu Kota dengan kendaraan jip. Sang kapten membawa serta Panser Farret. Ia melaporkan situasi di kediaman KSAB. Panser digunakan untuk mengawal Pangdam Jaya menuju kediaman Jenderal AH Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Termasuk beberapa mobil pengawal lengkap dengan pasukan bersenjata.
Baca Juga : Sukarno dan Suharto Pernah Tunjuk Bintang Dua Jadi Panglima
Di Bundaran Jalan Teuku Umar, rombongan Pangdam Jaya melihat segerombolan pemuda bersenjata Sten Gun. Mereka mengawasi kediaman Jenderal AH Nasution dari kejauhan. Siapa sekelompok tentara menggunakan Sten Gun tersebut, Umar belum mendapatkan jawaban. Situasi mencekam. Pengawalnya siap tempur menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Begitu Umar tiba di kediaman Jenderal AH Nasution, pada saat bersamaan, datang pula panser dari Markas KKO (Korps Komando) TNI Angkatan Laut dari Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Rombongan dari KKO AL melapor kepada Pangdam Jaya bahwa mereka dihubungi Nyonya Johanna, istri Jenderal AH Nasution untuk mengamankan kediaman KSAB.
Baca Juga : Dari Sinilah Kedekatan Sukarno Dengan Nasution Dimulai
Umar kemudian mendapatkan laporan lengkap dari Komisaris (Polisi) Hamdan tentang penculikan terhadap Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean. Serta penembakan terhadap Ade Irma Suryani Nasution (lima tahun), anak Jenderal AH Nasution.
Termasuk upaya pembunuhan terhadap KSAB. Sang Jenderal bintang empattersebut berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan tidak dikenal. Pak Nas melompati pagar belakang rumah.
Dari balik tembok, Jenderal Nasution tidak menjawab. Ia masih khawatir dengan situasi yang tidak menentu. Pak Nas masih gusar tidak bisa membedakan siapa kawan dan siapa lawannya. Ia tetap bersembunyi di halaman rumah Duta Besar Irak.
Baca Juga : Peristiwa Tanjung Priok, Nama Benny Moerdani Disebut
Umar pun mendapatkan laporan tambahan di rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) J Leimena, tepat di sebelah rumah Jenderal Nasution, salah seorang pasukan pengawal juga gugur, yakni Brigadir (Polisi) Karel Satsuin Tubun.
Saat itu juga Umar minta dihubungkan dengan Markas Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Cijantung. Sebagai Komandan Garnizun Ibu Kota Negara, Umar memerintahkan Komandan RPKAD memblokir jalan-jalan keluar dan masuk Jakarta guna mencegat dan menangkap para pelaku penculikan dan pembunuhan.
Beberapa lama kemudian, muncul pula Kolonel (Infanteri) GH Mantik, Kepala Staf Garnizun Ibu Kota. Kolonel GH Mantik melaporkan ada situasi yang sama di kediaman sejumlah jenderal, pimpinan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad).
Baca Juga : Kematian Bisu Tan Malaka (2)
Umar bergegas menuju ke kediaman Panglima AD (Pangad) Letnan Jenderal (Letjen) TNI Achmad Yani di Jalan Lembang Nomor 51, kediaman Deputi II Pangad Mayjen TNI R Soeprapto di Jalan Besuki Nomor 19, dan kediaman Deputi III Pangad Mayjen TNI MT Haryono di Jalan Prambanan Nomor 8. Semuanya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Dari para ajudan, dikemukakan pasukan tersebut ditengarai dari Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Umar segera menuju Markas Garnizun. Di kawasan Monas, ia melihat banyak tentara berseragam loreng. Ia memimpin rapat.
Baca Juga : Sudomo, Laksamana di Tengah Lautan Jenderal
Letkol Djiman (Komandan Kodim Jakarta Pusat) segera melaporkan perkembangan kepada Panglima Kostrad. Sedangkan Umar bergegas menuju ke Istana Merdeka melalui Istana Negara. Ia ditemui Kapten Sudibyo, petugas piket Istana dari Resimen Tjakrabirawa.
“Apakah Bapak Presiden berada di Istana?”
“Bapak Presiden belum tiba di Istana.”
Kemudian Pangdam Jaya diantar menggunakan jip menuju Istana Merdeka untuk membuktikan Presiden Sukarno memang belum ada di Istana Merdeka. Kapten Sudibyo juga melaporkan Panglima Operasi Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal TNI Soepardjo telah berada di Istana Merdeka.
“Apakah Panglima akan menemui Brigjen Soeparjo?” tanya Kapten Sudibyo.
“Tidak perlu,” jawab Umar, tegas.
Ia pun kembali ke Markas Garnizun. Di kantor Umar terkejut ketika mengetahui studio Radio Republik Indonesia (RRI) telah diduduki pasukan tidak dikenal.
Baca Juga : Harmoko "Calon Istana" Ketua Umum Golkar Dari Sipil
“Pada hari ini, Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta. Telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan bersenjata lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai Letnan Kolonel (Letkol) Untung, Komandan Batalyon Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Sukarno ini, ditujukan kepada jenderal-jenderal apa yang menamakan dirinya Dewan Jenderal.”
“Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi serta objek-objek vital lainnya sudah berada alam kekuatan Gerakan 30 September. Sedangkan Presiden Sukarno selamat dalam lingkungan Gerakan 30 September...”
Setelah mendengarkan siaran RRI, Umar langsung menuju Markas Kostrad menemui seniornya, Mayor Jenderal Soeharto. Keduanya berbagi tugas sekaligus melakukan konsolidasi secepatnya untuk melumpuhkan pasukan penculik dan pembunuh para perwira tinggi AD.
Baca Juga : First Lady Indonesia Tinggalkan Istana Karena Soekarno Kawin Lagi
Sebagai Komandan Garnizun, hanya dia yang memiliki otoritas mengumpulkan semua komandan batalyon di Jakarta. Tak lama kemudian datang dua ajudan Presiden Sukarno, yakni Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko dan Komisaris Besar (Polisi) Sumirat. Mereka melaporkan kepada Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto.
Memberitahukan pesan agar Pangdam Jaya Brigjen Umar Wirahadikusuma dan para panglima angkatan menghadap Presiden Sukarno di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Kecuali Pangad Letjen Achmad Yani yang tidak diketahui keberadaannya. Umar minta pendapat Soeharto tentang perintah tersebut. Soeharto meminta agar Umar fokus untuk melumpuhkan pasukan penculik dan pembunuh para jenderal.
Soeharto pun menjawab kepada dua utusan Presiden Sukarno, ”Sampaikan pada Bapak Presiden, mohon maaf, Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap. Dan karena saat ini Panglima AD tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad,” jawab Soeharto.
Baca Juga : Ironi Amir Syarifuddin Menjemput Ajal Tanpa Rasa Hormat
Sekitar tujuh jam kemudian, sekitar pukul 14.00 WIB, radio RRI menyiarkan dua keputusan. Pertama tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia. Kedua, tentang penurunan dan kenaikan pangkat. Dalam daftar Dewan Revolusi mencatut nama sejumlah tokoh dan jenderal, namun tidak menghubungi orang yang bersangkutan. Antara lain, ada nama Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen Umar Wirahadikusumah.
Pernyataan politik Gerakan 30 September itu justru memicu perlawanan untuk menumpasnya. Dalam konsolidasi, pasukan RPKAD diperintahkan mengambilalih studio RRI dan Gedung Telkom Pusat. Mereka berhasil mengambil alih tanpa perlawanan. Pukul 19.00 WIB, RRI mengudarakan rekaman lengkap pidato Panglima Kostrad.
“... Sebagaimana diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober yang baru lalu telah terjadi di Jakarta, suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontrarevolusioner yag menamakan dirinya Gerakan 30 September. Mereka telah menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, ialah Letjen A Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Baca Juga : Sukarno Hatta Tak Pernah Kembali Menjadi Dwitunggal
Hari itu juga Pangdam Jaya melarang semua surat kabar terbit sejak 2 Oktober hingga 5 Oktober 1965, kecuali koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB). Sebagai penguasa perang daerah, ia menyatakan Jakarta dalam keadaan perang dan memberlakukan jam malam.
Pertengahan Oktober 1965, langkah strategis Umar dengan membekukan semua ormas yang terdidikasi dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30/PKI). Umar dianggap sukses dan cepat melakukan konsolidasi di Jakarta. Pada awal Desember 1965, Mayjen Umar Wirahadikusumah dipromosikan menjadi Panglima Kostrad menggantikan Letjen Soeharto yang menjadi Menteri Pangad. (pul)