Hatta memang tidak pernah datang kembali sebagai Dwitunggal bersama Soekarno. Tetapi kekayaan pengalamannya dalam memperjuangkan rakyat ketika bertentangan dengan Soekarno maupun ketika duduk bersama dalam Dwitunggal tidak pernah hilang. Ia telah menghabiskan hidupnya dengan studi, debat, dipenjara, dan diasingkan. Ia pun sebagai Dwitunggal berada di bawah bayang-bayang Soekarno. Ia lebih banyak diam merenung di dalam hati, tetapi berpikir bening dan jitu dalam strategi. Foto dok net
Pangkostrad Mayjen Suharto memberi payung karena hujan gerimis kepada Hatta saat pemakaman Sutan Syahrir tahun 1966. Foto dok net
abad.id-Hatta sepertinya meninggalkan tanggung jawab saat bangsa Indonesia sedang kacau. Padahal Hatta sedang memilih tidak berbuat apa-apa di luar arena. Memang selepas Dwitunggal pecah, Hatta seakan menghilang dari hiruk-pikuk politik. Suaranya hampir tidak terdengar, juga pada saat peristiwa besar terjadi pada 1965 yang melibatkan sejumlah tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Benarkah Hatta meninggalkan tanggung jawab?
Kronologis perkenalan dua tokoh ini sejak tahun 1920-an. Soekarno, Hatta sama-sama gigih memperjuangkan bangsa Indonesia dari Kolonial Belanda. Keduanya terus membangun kesadaran rakyat bahwa kehidupan yang miskin dan sengsara ini akibat dijajah. Bahkan, berdua tidak memperhitungkan konsekuensi- fisik dari aksi yang dilakukan. Penjara dan tanah pengasingan bukan hal yang baru bagi jalan hidup Sukarno-Hatta.
Saat jaman pemerintahan Jepang, pasangan Dwi Tunggal ini semakin kompak untuk membangun politik kooperasi demi mewujudkan kemerdekaan. Hingga peristiwa besar yang menguntungkan yaitu menyerahnya Jepang kepada sekutu, dimanfaatkan Dwitunggal untuk menyatakan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Baca Juga : Kisah Cinta Hatta, Buku dan Rahmi
Keduanya dipilih menjadi presiden dan wakil presiden RI untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah konsep Dwitunggal harus melewati perjalanan panjang mempertahankan kemerdekaan di negara yang baru berdiri. Keduanya melakukan cara yang berbeda, yang berkaitan dengan strategi politik. Awalnya, Soekarno dan Hatta menjadi presiden dan wakil presiden dalam sebuah kabinet presidensial. Namun, ternyata di mata intemasional Soekarno masih terlalu dianggap kolaborator Jepang, sehingga menyulitkan perundingan-perundingan diplomasi. Sedangkan Hatta selalu mengajak jalan diplomasi untuk strategi perjuangan, dari pada cara militer yang menghabiskan banyak biaya.
Baca Juga : Hatta Masih Keras Kepala Meskipun Sudah di Digul
Dalam buku Dialog Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun tulisan In Nugroho Budisantoso mengemukakan, saat dipercaya menjadi perdana menteri (1948-1950), Hatta menunjukkan kepiawaiannya dalam mengurus pemerintahan. Salah satunya keberhasilan dalam perjuangan memperoleh kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar. Hatta juga dianggap berhasil dalam penghematan, rasionalisasi dalam tentara dan pegawai negeri, serta penanganan pengangguran. Hingga kemudian dapat dibuktikan bahwa pemerintahan Hatta, meskipun dalam situasi darurat, berhasil memperluas sawah menjadi 75.000 hektar, membentuk sejumlah koperasi pertanian, mengendalikan harga dan dan mencegah penimbunan. Bahkan mulai dipikirkan secara serius Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berdasarkan otonomi yang luas.
Baca Juga : Berangkat ke Pengasingan Digul, Hatta Pilih Banyak Bawa Buku
Sering dikatakan bahwa Dwitunggal Soekarno-Hatta dengan Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri ini merupakan kombinasi kepemimpinan yang sangat cocok dalam situasi Indonesia yang sulit awaI kemerdekaan.
Namun tanda-tanda Hatta mulai kecewa dan siap mundur dari Dwitunggal, disampaikan saat berpidato di Universitas Gadjah Mada. Hatta menyerukan bahwa sejak 1950 pemerintahan dijalankan dalam demokrasi parlementer sehingga yang terjadi anarki politik. Kekuasaan sesungguhnya tidak berada di dalam pemerintahan, tetapi dalam dewan partai tidak bertanggung jawab.
Sejak saat itu hubungan Dwitunggal semakin renggang dan keduanya mulai sering berselisih paham. Kondisi ini ada kaitannya dengan kedekatan Soekarno dengan PKI yang sangat memusuhi Hatta. Dikatakan oleh Hatta, sejak meninggalkan UUD 1945 berganti dengan UUD 1950, arti dan kedudukan Dwitunggal mulai berubah dan makin berkurang. Hal itu digunakan PKI dalam taktik perjuangan politiknya, sehingga semain cepat merosotnya daya ikat Dwitunggal.
Baca Juga : Proklamasi Bahasa Madura dan Radio Bekupon di Film Surabaya 10 November
“Kami berdua sering timbul berbagai salah pengertian. Tercermin dalam berbagai urusan kenegaraan, yang kalau dulu diatasi dengan kewibawaan dan kenegarawanan yang terletak dalam lembaga Dwitunggal, lama-lama banyak masalah-masalah yang tidak teratasi. Atau diatasi dengan cara-cara yang menimbulkan keretakan-keretakan baru yang makin berlarut-larut,” kata Hatta
Seperti dipaparkan oleh Mavis Rose, Soekamo memang mempunyai pesona terutama di kalangan orang-orang Jawa sehingga memungkinkan dirinya untuk menyarankan kembali adanya negara kesatuan. Sebab, negara Indonesia Serikat dengan federalisenya dalam pandangan Soekamo mengundang regionalisme yang dapat memecah persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, meskipun secara publik Dwitunggal kelihatan sebagai kombinasi kepemimpinan yang sesuai dan melengkapi, namun sebenaranya terjadi tarik-menarik gagasan mengenai bagaimana mengatur bangsa dan negara.
Mengenai bentuk negara kesatuan itu, Hatta sebalikrya mengungkapkan bahwa gagasan negara kesatuan tidak selalu berarti mencegah separatisme. Sebab, justru suatu sistem federal dalam kenyataan sesuai dengan kepulauan yang terpencar-pencar bisa diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan.
Baca Juga : Kesan Ali Sadikin Saat Menjenguk Bung Karno di Wisma Yaso
Dalam pikiran Hatta, semakin terdesentralisasi suatu sistem pemerintahan, rakyat sebakin bisa mengusahakan menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa harus tergantung elite penguasa. Di sini Hatta seperti mengingatkan kembali akan pentingnya kaderisasi dan pendidikan yang menghasilkan suatu organisasi yang tidak tergantung pada satu pemimpin.
“Mengenai federalisme, sebenamya Hatta sudah menjadi penganjur paling depan mengenai Indonesia sebagai negara federal sebelum Perhimpunan Indonesia mulai membicarakan bentuk negara yang merdeka,” tulis In Nugroho Budisantoso.
Namun pada diri Soekarno sudah terlanjuur melekat gagasan persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom), padahal ketiganya menurut saling bertentangan. Ketiganya harus menjadi satu ketika mendapatkan musuh bersama bernama kolonialisme dan imperialisme Barat. Pendekatan yang dipakai Soekarno sangat khas bersifat sinkretisme Jawa.
Baca Juga : Cerita Pensiunan Wapres Tak Cukup Untuk Bayar Listrik
Sementara itu menurut Hatta, persatuan harus dimengerti sebagai satu bangsa Indonesia yang tidak dapat dibagi-bagi. Tiap-tiap aliran paham politik harusnya mendapat kesempatan bergerak, untuk membuat propaganda bagi asas sendiri dan tidak mesti dicekek dengan kata wasiat persatuan. Sebab, bagi Hatta, kepahaman rakyat dan kepahaman borjuis atau ningrat tidak dapat disatukan. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing. Hatta di sini menekankan pluralitas.
Hingga akhirnya hubungan antara Soekarno dan Hatta semakin renggang, sejak terjadi konflik mendalam di antara partai-partai. Krisis dalam pemerintahan tidak dapat dihindari. Hasil Pemilu 1955 diharapkan dapat mengatasi krisis. Namun ternyata tidak ada pemenang mutlak. Situasi krisis tidak menunjukkan perubahan. Dalam situasi seperti itu, Soekarno menunjukkan akan membangun suatu penyelesaian dengan menggalang kekuatan dari rakyat Jawa, PNI, PKI, NU,Partai Murba,dan juga dengan menggandeng kepalastaf Angkatan Darat yang berpengaruh,Nasution. Soekarno pada Oktober 1956 bahkan pernah berpidato mengajak untuk mengubur semua partai. Dan, kemudian memperkenalkan satu sistem demokrasi baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dalam diri Soekamno seperti ada kegusaran terus mengenai konsepsi persatuan yang diidam-idamkan. Sepertinya, pada Demolrasi Terpimpin, Soekarno melihat celah yang mengarah terjadinya konsepsi persatuan nasionalnya.
Hatta semakin kurang diperhatikan Soekarno sejak muncul gagasan Demokrasi Terpimpin ini. Ketidak puasan Hatta hanya di surat kabar. Namun begitu surat kabar yang memuat tulisan Hatta diberangus, tidak ada yang berani memuat gagasan-gagasannya. Hatta menyayangkan tindakan pemberangusan ini sebab yang dirugikan pasti banyak pihak. Tindakan kekerasan terhadap buah- buah pikiran pada dasarya merugikan diri sendiri. Pemberangusan yang memakan banyak korban itu yang antara lain memaksa Hatta untuk tidak bersuara lagi di surat kabar
Dalam usaha menolong kondisi negeri yang krisis, Hatta mengungkapkan perlunya orang kembali mencermati kadar rasa tanggung jawab. Waktu itu, kehampaan tanggung jawab begitu menggejala di mana-mana dalam banyak bentuknya. Kondisi rakyat tidak membangkitkan rasa perasaan apapun dalam diri para pengambil keputusan.
Maka, Hatta menganjurkan perubahan dalam sistem pemilihan umum yaitu dengan diadakannya sistem daerah pemilihan. Sebab, dengan begitu para wakil rakyat yang terpilih merasa bertanggung jawab langsung terhadap rakyat. Bukannya bertanggung jawab kepada partai yang telah menempatkannya sebagai wakil rakyat. Kecuali itu, dalam perspektif tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya yang harus dibangkitkan lagi, Hatta menulis Demokrasi Kita dalam kerangka debat konsepsi demokrasi dengan Soekarno bersama Demokrasi Terpimpinnya yang pada dasarnya otoriter.
Tidak dapat disangkal bahwa pada diri Soekarno dan Hatta terdapat kegelisahan besar untuk membangun dan menyusun bangsa dan negaranya. Namun,memang harus diakui bahwa perbedaan pandangan di antara keduanya terus mengikuti kegelisahan itu. “Yang menarik, persahabatan di antara mereka tidak retak sekalipun ada perbedaan-perbedaan pandangan. Hatta sebenarnya masih didukung sebagai pemimpin oleh kalangan-kalangan tertentu, terutama dari rakyat Sumatera. Namun, Hatta tetap teguh menjalani jalan sunyinya di luar gebyar panggung politik. Maka, ia pun tidak menggalang dan mengerahkan massa untuk mendukung butir-butir gagasannya,” tulis In Nugroho Budisantoso.
Hatta mundur dari Dwitunggal pada 1 Desember 1956. Meskipun ia meninggalkan jabatan wakil presiden, tetapi rakyat tidak pemah ditinggalkannya. Hatta sepertinya yakin bahwa posisi "oposisi”akan lebih membantu dalam rangka memperbaiki kondisi carut-marut negerinya, daripada mandul sebagai wakil presiden.
Meskipun berpisah, hubunganna dengan Soekarno tetap terjalin dengan Surat menyurat. Dalam suratnya Hatta selalu bersuara keras menentang kebijakan Soekaro. Kritik Hatta selalu berada di batas-batas konstitusional dan tidak campur tangan dalam eksekutif.
Ia mengerti kapan harus tampil, dan kapan turun panggung tanpa harus melukai persatuan yang sudah dibangun bersama teman-temannya sejak Perhimpunan Indonesia. Ia mengerti bagaimana menjalin hubungan persahabatan dengan Soekarno meskipun nasihat-nasihatnya sering tidak didengar. Ia mengerti kapan keras menghardik dan kapan lembut menegur. Ia rela meninggalkan segala-galanya, termasuk jabatan. (pul)