images/images-1674547848.png
Data
Indonesiana

Politik Gelar Haji Pemerintah Kolonial Belanda

Pulung Ciptoaji

Jan 24, 2023

436 views

24 Comments

Save

Penampakan Ka'bah di Masjidil Haram Makkah pada tahun 1885. (Foto: dok. Sayid Abdul Ghaffar/The Culturist) 

 

abad.id- Agama Islam tumbuh di kepulauan nusantara terjadi karena kontak-kontak dagang secara damai dan perlahan berhasil membentuk massa solid selama masa Kolonial Belanda. Massa Islam di Indonesia dianggap tidak berbahaya seperti daerah jajahan lain yang ditaklukan bangsa eropa di asia dan afrika. Sebab penyebaran tanpa kekerasan di sejumlah daerah telah muncul alkuturasi dengan budaya lokal.

 

Menurut ahli agama Islam Harry J Benda, pengikut agama Islam pada masa Kolonial Belanda bisa digolongkan dalam tiga kelompok. Pertama kaum aristrokat Jawa, yaitu golongan priyayi yang menyatakan diri orang Islam tetapi suka mencampurnya dengan nilai-nilai pra Islam dan mistik. Masuk kelompok ini para pimpinan lokal yang memasukan nilai-nilai adat pra Islam ke dalam agama.

 

Berseberangan dengan kelompok ini muncul kelompok pemimpin yang moderat dan kuat. Kelompok ini berasal dari pemimpin Islam yang taat dan berpegang teguh pada ajaran dan para kyai. Mereka ini pemimpin yang saleh, yaitu para santri yang dihormati karena mendalami Al Quran dan pernah naik haji.

 

Kelompok Islam yang ketiga paling banyak jumlahnya yaitu kaum abangan. Massa rakyat inilah yang ingin dipengaruhi oleh kedua kelompok Priyayi dan sanri. Para priyayi berdasarkan keturunan dan trah, sedangkan kelompok santri melalui pesantren.

 

Pasca perang Diponegoro, para politikus Belanda kesulitan menentukan sikap atas pimpinan Islam yang kuat memegang teguh ajaran agamanya itu. Sebab di satu sisi dianggap membahayakan kerajaan Belanda, namun di sisi lain mereka menjadi bagian dari rakyat. Maka pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan ahli Islam Snouck Hugronje untuk didengarkan pendapatnya.

 

Sejak tahun 1887 Snouck Hugronje diangkat menjadi penasehat pertama departemen Pribumi. Apapun pernyataan Snouck Hugronje menjadi panduan pemerintah Kolonial Belanda untuk membentengi ancaman kelompok Islam.

 

Snouck Hugronje memberi nasehat agar selama tidak melibatkan diri dalam aktifitas politik, sebaiknya pemerintah Hindia belanda mengambil sikap netral dengan kelompok Islam. Serta tidak menghalangi kegiatan penyebaran agama Islam dan ibadah haji ke tanah suci.

 

Khusus kebijakan soal ibadah haji ini, pemerintah Kolonial Belanda melakukan langkah-langkah ekstra hati-hati. Versi Agus Sunyoto Arkeolog Islam Nusantara, penyebabnya pengalaman sejarah perlawanan umat Islam terhadap pemerintah Kolonial Belanda, hampir dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren.

 

Snouck Hugronje pakar masalah Islam yang juga bertindak sebagai penasehat pemerintah dalam negeri Hindia Belanda. Foto Istimewa

 

Pemerintah Kolonial Belanda selalu kewalahan karena setiap ada warga pribumi pulang dari Tanah Suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. Maka dibuatlah politik gelar haji yang hanya ada di Nusantara. Gelar ini tidak hanya mengandung pengakuan kesalehan, dan derajat sosial-budaya, namun juga bentuk derajat politik untuk memudahkan pengawasan pemerintah Kolonial Belanda. “Maka pada 1916, penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji.  Tujuannya agar gampang diawasi intelijen.” terang Agus.

 

Pendapat lain Abdul Mun’im seorang sejarawan NU mengatakan, gelar haji disandang oleh umat Islam sudah lama ada dan bukan atas dasar ordonansi Belanda. Gelar haji disandang umat Islam bukan atas dasar ordonansi Belanda pada 1859. Para ulama dan raja di Riau sejak dahulu sudah menggunakan gelar haji pada abad 17. “Ordonansi Belanda terjadi pada 1859, penggunaan gelar haji baru efektif dilakukan tahun 1872. Sebab pada tahun itu Belanda baru bisa mendirikan konsulat di Jeddah,” kata Abdul Mun'im,.

 

Gelar haji digunakan untuk mengontrol dan mencatat pergerakan kaum nasionalis. Sebab dikawatirkan para haji ini membawa pulang nilai nilai kebangsaan. Sepulang dari haji, mereka menjadi seorang yang militan dalam pergerakan kebangsaan. (pul)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023

Begini Respon TACB Perihal Reklame di Lokasi Cagar Budaya

Author Abad

Feb 26, 2023

A.H. Thony: "Dulu jadi panutan pembongkaran, kini kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali"

Malika D. Ana

Feb 24, 2023