Westerling tak pernah diadili atas kejahatan perang yang dia lakukan hingga akhir hayatnya. Foto ist
abad.id-Jika ada jejak pendapat siapa manusia paing banyak membunuh dan paling kejam, mungkin jawabannya hanya ada 2. Yaitu Hitler pemimpin Nazi Jerman dan Kapten Raymond Westerling. Kekejaman Hitler melakukan genosida terhadap Yahudi dengan total lebih dari 6 juta orang tewas. Sementara kekejaman Westerling melakukan pembunuhan besar besaran tanpa penyesalan terhadap warga Majene dan Polewali Mandar (Polman) di Sulawesi. Total korban tewas akibat ulah tentara Belanda itu sekitar 40 ribu jiwa. Maka sangat wajar jika warga Sulawesi akan selalu ingat Westerling seperti monster dan berniat menggugat pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang terjadi 60 tahun silam.
Kapten Raymond Westerling veteran perang dunia II. Usai perang dunia II, Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia. Saat itulah Westerling ditugasi melatih pasukan elite Belanda di Indonesia, bernama Depot Speciale Troepen tahun 1946. Westerling memilih orang-orang yang kebanyakan kejam dan berangasan, serta memiliki skill militer yang menonjol. Westerling kemudian dikirim ke Sulawesi pada awal Desember 1946 dengan tugas memadamkan perlawanan gerilyawan Republik dengan kekuatan 130 pasukan baret hijau.
Sejak kedatangan Westerling di Sulawesi langsung menjadi momok yang menakutkan karena kejam. Sejak tanggal 7 Desember hingga 25 Desember 1946, pasukan Westerling secara membabi buta telah membunuh ribuan rakyat tanpa dosa. Aksi tersebut dengan maksud melakukan pembersihan daerah Sulawesi Selatan dari pejuang pejuang republik dan mendukung terbentuknya Negara Indonesia Timur.
Westerling melakukan teror di Sulawesi. Dia berkeliling satu kampung ke kampung lainnya dengan jeep. Di satu kampung yang diduga markas gerilyawan, Westerling akan mengumpulkan orang-orang di tanah lapang. Lalu mereka ditembak mati satu persatu hingga ada yang memberi tahu lokasi para gerilyawan. Westerling juga punya hobi menembak. Biasanya jika ada gerilyawan yang tertangkap, Westerling akan menyuruhnya lari. Setelah jaraknya 50 meter, Westerling akan mengacungkan senjatanya dan dor ! Gerilyawan itu akan tewas dengan lubang di kepala.
Para prajurit baret hijau Westerling tak kalah kejam dari komandannya. Mereka membunuh dan memperkosa rakyat. Ironisnya, sebagian besar prajurit baret hijau itu bukan orang bule, tapi mereka Londo Ireng. Serdadu baret hijau itu sangat loyal pada Westerling. Bahkan tidak hanya rakyat Sulawesi, sesama tentara Belanda yang asli bule pun takut pada Westerling. Mereka merasa apa yang dilakukan Westerling terlalu brutal.
Aksi brutal pasukan baret hijau ini bukan tanpa sebab. Sejak awal proklamasi kemerdekaan 1945, pemerintah Republik Indonesia telah mengangkat Dr Ratu Langi sebagai gubernur dengan kedudukan di Makasar. Untuk menampung aspirasi pemuda, Sam Ratu Langi membentuk PPNI (Pusat Pemuda Nasional Indonesia dipimpin Manai Sophian.
Pasukan Australia yang mendarat di Makasar secara tidak langsung ikut terlibat atas kekejaman Westerling ini. Sebab pasukan Australia membonceng NICA dan kemudian mendirikan pemerintahan sipil di Makasar. Sehingga antara pemuda dan tentara Belanda yang didukung sekutu sering terjadi ketegangan di lapangan. Belanda benar benar bermaksud melakukan politik pecah belah, dengan cara mempengarui beberapa tokoh daerah agar menolak pemerintahan republik.
Menyadari cara Belanda membahayakan kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia, beberapa pemuda pelajar seperti A Rivai, Paersi, dan Wolter Mongisidi selaku pimpinan angkatan muda pelajar melakuan usul kepada PPNI supaya melakukan perlawanan fisik. Mereka kemudian melakukan perebutan tempat-tempat strategis di Kota Makasar yang sebelumnya diduduki NICA. Mulai stasiun radio Makasar, tangsi polisi serta Hotel Express.
Tentara australia yang sebelumnya tidak ikut campur dalam urusan Indonesia dan Belanda akhirnya terlibat dalam pertempuran melawan pasukan republik. Tentara Australia yang sudah terprovokasi NICA melakukan penyerbuan ke markas pemuda di Jongaya. Melihat keadaan yang tidak seimbang, pasukan pemuda memilih melakukan gerilya di luar kota. Pusat pemerintahan juga dipindah ke Watampone, serta kegiatan PPNI kemudian dipindahkan ke Polong Bangkeng. Suatu perlawanan dengan tujuan mencoba menduduki Kota Makasar dilakukan pada 26 Desember 1945, namun serangan itu mengalami kegagalan.
Merasa perjuangan masih panjang, akhrinya disepakati organisasi perjuangan bergabung menjadi satu dengan nama laskar Pemberontak Sulawesi (Lapris). Lapris dibentuk pada 17 Juli 1946 dengan anggota gabungan 16 orgaisasi perjuangan. Sebagai panglima diangkat Ranggong Daeng Romo, kepala stafnya makkaraeng Daeng Djarung dan Sekjen Rw Mongisidi. Kekuatan Kapris ini didukung peralatan temour hasil rampasan Jepang yang berkedudukan di Bontonompo dan Takallar. Sementara itu di daerah Bulukumba pada bulan November 1946 juga dibentuk satu ksatuan yang diberi nama Laskar Brigade PBAR (Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat). Brigade ini menggerakan perlawanan rakyat di sekitar Kota Makasar, Gowa, jeneponto, Malino, Camba.
Belanda menggunakan berbagai cara agar semua penduduk Indonesia Timur terutama Sulawesi Selatan, mendukung proyek Negara Indonesia Timur. Namun itu bukanlah sesuatu yang mudah. Sulawesi Selatan seperti menjadi duri dalam daging bagi proyek NIT tersebut. Para pejuang dari Bugis, Makassar dan Mandar memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Nusantara yang tak pernah padam.
Melihat kota kota besar di Sulawesi Selatan sudah dikepung gerakan rakyat, maka tidak ada pilihan lain bagi Belanda untuk mendatangkan Westerling dan pasukan baret hijaunya. Apalagi dampak pertempuran Harimau Indonesia di bawah pimpinan Mongisidi di Barombong melawan pasukan Belanda pada tanggal 3 November 1946, telah mengancam kedudukan NICA di Sulawesi. Kedatangan pasukan Westerling tidak hanya memukul mundur pasukan republik, namun juga mengejar lawan untuk ditangkap atau mati.
Westerling Pahlawan di Belanda, Dikutuk di Indonesia
Penggambaran Westerling begitu bengis di jelaskan dalam lagu Iwan Fals yang judul Pesawat Tempur. Di situ Iwan Fals menyebut kapten tidak pernah tersenyum. Westerling dan pasukan Depot Speciale Troepen (DST) dianggap paling bertanggung jawab atas beberapa aksi kekejaman. Selain di Sulawesi, Westerling juga bertanggung jawab atas percobaan kudeta dan teror Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, yang mengakibatkan gugurnya beberapa pasukan Divisi Siliwangi. Meskipun melakukan genosida selama masa revolusi fisik di Indonesia hingga mendapatkan kecaman dari dunia, Westerling masih dilindungi Belanda. Bahkan dianggap sebagai pahlawan yang tidak pernah diadili.
Raymond Westerling memiliki nama lengkap Raymond Pierre Paul Westerling. Ia lahir di Istanbul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Meski keturunan Belanda asli, ia lahir dan besar di Turki. Barulah pada usia 19 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya untuk masuk dunia militer.
Pada awal Perang Dunia II, Westerling ikut dalam pasukan Australia di sekitar Timur Tengah, sebelum akhirnya berangkat ke Kanada untuk bergabung dengan pasukan Belanda. Di Kanada, ia mendapatkan pendidikan dasar militer. Dalam rangka penyerbuan ke Eropa, Westerling memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia. Selama di Skotlandia, Westerling mendapat beberapa pelatihan, mulai dari perkelahian tangan kosong, penembakan senyap, membunuh tanpa senjata api. Karena menguasai ilmu gulat dan membunuh senyap, ia sempat dipercaya untuk menjadi asisten pelatih dengan pangkat kopral.
Namun, pada 1943, Westerling mengundurkan diri dari pelatih karena memilih bergabung menjadi sukarelawan Belanda ke India. Di India, Westerling cukup kecewa karena tidak pernah dikirim ke garis depan medan pertempuran. Kemudian pada tahun 1945, ia diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen (DST) yang berjumlah 120 orang, dan dikirim ke Indonesia.
Aksi mandi darah Raymond Westerling pertama kali di Medan, pada September 1945 sebagai anggota KNIL (angkatan perang kolonial Hindia Belanda). Setelah membebaskan tawanan perang Belanda di Medan, ia ditugaskan ke Jakarta untuk melatih pasukan khusus DST yang terdiri dari orang Belanda dan Indonesia. Pada Desember 1946, Westerling diberikan misi untuk menghancurkan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling menggunakan caranya sendiri dan mengabaikan pedoman pelaksanaan bagi tentara.
Foto: Kapten Westerling saat perpisahan di Mattoangin, 3 Maret 1947 (Dok. Maarten Hidskes)
Westerling memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan di hadapan banyak orang. Kekejaman itu merupakan awal dari teror yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya selama tiga bulan. Pasukan Westerling melakukan teror dengan menyiksa orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan di depan keluarganya sebelum akhirnya dibunuh. Selain itu, Westerling dan pasukannya juga melakukan teror dengan membakar rumah warga dan melemparinya dengan granat. Teror yang dilakukan Westerling sebagai pemimpin pasukan DST menelan korban sedikitnya 40 ribu orang.
Pada awalnya, aksi Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan mendapat apresiasi dari pemerintah Belanda. Namun, perlahan muncul aduan bahwa selama Westerling menjalankan misi itu, banyak ditemukan kasus pelanggaran HAM. Bahkan pers asing menuding bahwa kekejaman Westerling tidak ada bedanya dengan cara-cara polisi rahasia Jerman semasa Hitler. Untuk menghindari tuntutan ke pengadilan militer, pemerintah Belanda memilih untuk memberhentikan Westerling mulai 16 November 1948.
Raymond Westerling Terlibat Pemberontakan APRA
Kasus Sulawesi Selatan benar benar membuat Belanda malu terhadap dunia. Sebab sepak terjang Kapten Raymond Pierre Paul Westerling menjadi sorotan, sehingga tidak ada pilihan lain yaitu mengentikannya. Setelah berhenti menjadi tentara Westerling memilih menjadi warga sipil dan bermukim di daerah Cililin dan Pacet, Jawa Barat. Westerling kemudian menikah dengan seorang perempuan Indonesia keturunan Prancis, Yvone Fournier. Namun kondisi pemerintah Indonesia masih dalam masa transisi dari Negara Republik ke Negara RIS, membuat kekuatan di daerah menjadi lemah. Peluang menjadi pemimpin rakyat menjadi sangat besar melihat banyak kekosongan itu. Rupanya, ambisi Westerling untuk menjadi pemimpin di negara baru menambah daftar petualangan hidupnya. Ketika menetap di Jawa Barat itu, Westerling kembali berhubungan dengan mantan anak buah dan merencanakan sebuah perang baru. Padahal sebelumnya hidup Westerling sudah nyaman menjadi pengusaha angkutan truk khusus pengangkut hasil bumi.
Korban pemberontakan APRA di Bandung, 1950
Pasukan APRA segera dibentuk Westerling. Mereka terdiri mantan tentara yang kecewa dengan Republik Indonesia, serta pasukan lain mantan anak buahnya yang masih hidup. Ambisi Westerling ingin menjadi presiden tidak bisa dihentikan. Westerling membangun sebuah organisasi rahasia yang dinamakan Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI) serta memiliki pasukan yang bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Kelompok Westerling ini kemudian melakukan teror dan upaya kudeta pada 23 Januari 1950 di Bandung. Dalam teror tersebut, Westerling membunuh setiap TNI yang mereka temukan. Akibatnya, sebanyak 94 TNI dari Divisi Siliwangi, termasuk Letnan Kolonel Lembong, tewas.
Lagi lagi kekejaman Westerling mendapat perhatian dari media internasional sekaligus kecaman dari para pejabat di berbagai negara. Mengetahui hal itu, Westerling memilih kabur dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat di sekitar Jakarta. Konon aksi Westerling ini justru dibantu pasukan rahasia yang diketahui petinggi Belanda di Indonesia. Pada Februari 1950, Westerling dan keluarganya diselundupkan ke Singapura. Operasi ini bocor ke media Perancis, yang mengakibatkan Westerling ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura dan sempat diadili di Pengadilan Tinggi Singapura pada 15 Agustus 1950.
Namun, hakim tidak mengabulkan permohonan pemerintah RIS untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Bahkan Westerling bebas demi hukum pada 21 Agustus 1950 dan kemudian pergi ke Belgia dengan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, R van der Gaag.
Dua tahun kemudian, Westerling masuk ke Belanda dan terus dilindungi pemerintah agar terbebas dari pengadilan. Namun, tidak lama kemudian, Westerling kembali berulah dengan menghina Presiden Soekarno hingga mendapat protes dari Komisaris Tinggi Indonesia. Lagi-lagi, pengadilan Belanda menyelamatkan Westerling tanpa tuntutan apa pun.
Westerling Menantang Diadili Atas Pembantaian Sulawesi
Sikap Pemerintah Belanda baru baru ini mengakui melakukan kekerasan ekstrem dan sistematis selama perang kemerdekaan Indonesia dianggap akan mengisi lembaran baru sejarah. Pernyataan permintaan maaf disampaikan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Kamis (17/2/2022) lalu. Dia menyampaikan hal itu setelah dalam kajian terbaru yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949.
Dalam bukunya Salim Said "Dari Gestapu ke Reformasi" Serangkaian Kesaksian, mengatakan pernah melakukan wawancara dengan Westerling sekitar tahun 1970. Ada kesan banyak orang Belanda menutupi peristiwa kekejaman Westerling ini. Namun pada umumnya orang Belanda mengenang Westerling dengan rasa malu.
Salim Said menuturkan, agak sulit menemukan Westerling di Belanda. Orang Belanda mungkin mengetahui alamatnya, namun memilih menghindar jika berbagi alamat dengan berbagai macam alasan. “Westerling mestinya sudah lama mati, agar kami tidak terus diingatkan oleh tindakannya yang memalukan di Indonesia,” kata salah seorang warga Belanda kepada Salim Said di sebuah wawancara.
Dari berbagai orang itu, Salim Said mendapat sejumlah cerita yang tidak menggembirakan tentang kehidupan Westerling selepas petualangannya di Indonesia. "Dia pernah mencoba menjadi penyanyi opera, tapi tidak berhasil. Pernah mencoba menjadi penulis juga tidak berhasil. Hidup perkawinannya gagal dan pernah menjadi pecandu alkohol. Dia hidup dalam lingkungan para bekas tentara Belanda yang pernah bersamanya di Indonesia dulu." ungkap Salim Said.
Perbuatan Westerling atas pembantaian di Sulawesi Selatan menjadi sosok kontroversial. Sebab apa yang westeriling lakukan tergolong sebagai kejahatan perang dan seharusnya diadili. Pada masa Presiden Suharto tahun 1979, kasus pembantaian Westerling pernah dibicarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seorang anggota Komisi III DPR fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) VB da Costa mengatakan, Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya di Indonesia.
Menurut da Costa, dia mengetahui hal itu setelah membaca laporan surat kabar Belanda. Dalam artikel itu ditulis itu, Westerling menanggapi pernyataan da Costa yang meminta Pemerintah Indonesia mengekstradisi dan mengadilinya. Alasan da Costa meminta pemerintah mengadili Westerling supaya tuduhan penjahat perang yang disematkan bisa terungkap. Selain itu, pengadilan terhadap Westerling diperlukan guna menguak fakta sejarah.
Akan tetapi, da Costa menyatakan Pemerintah Indonesia seolah membiarkan Westerling hidup bebas di Belanda. Kekecewaan da Costa bertambah, sebab Westerling selalu membantah tuduhan dia membantai 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan. "Ia bahkan tidak mengaku bahwa yang dibunuhnya 40 ribu manusia, melainkan hanya 9 ribu orang saja," kata da Costa.
Hingga akhir hayatnya Westerling tetap tidak tersentuh oleh hukum. Dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 26 November 1987. (pul)