Penulis : :Pulung Ciptoaji
abad.id- Saat Pemerintahan militer Jepang membentuk PETA, ternyata tidak semua pemimpin nasional sepakat. Ada beberapa alasan. Sukarno misalnya ingin membentuk pasukan sendiri yang berada langsung dibawahnya. Sukarno menggunakan Hokokai untuk memaksakan keinginannya kepada Jepang. Atas usulan Sukarno ini, Panglima perang Harada menyambut positif.
Tepat pertengahan bulan Oktober 1944 didirikan barisan Pelopor, semacam pasukan semi militer dari gerakan nasional. Di pucuk pimpinan barisan itu Sukarno sebagai komandan dan Mohammad Hatta sebagai penasehat. Anggotanya para pemuda pribumi dengan tekad yang sama menjadikan Indonesia sebagai satu bangsa, satu bahasa dan satu bendera. Munculnya barisan pelopor ini disambut hangat kaum muda, dan dalam waktu singkat sudah memiliki 80 ribu anggota.
Berbeda dengaan barisan PETA yang terlatih militer, barisan Pelopor tidak terlatih dan hanya dipersenjatai parang dan bambu runcing. Baru saat revolusi kemerdekaan, sebagian anggota barisan pelopor ini membentuk kelompok lain Barisan Berani Mati seperti pasukan Kamikaze Jepang. Anggotanya tercatat lebih dari 50 ribu pemuda yang siap mengorbankan nyawa dengan persenjataan bambu runcing. Salah satu tokoh yang menggagas Pasukan Berani Mati ini Bung Tomo. Menurut Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November", banyak relawan yang mendaftarkan diri tanpa dibayar demi mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Saat perang 10 November 1945 di Surabaya, pasukan berani mati ini sangat menyulitkan tentara Sekutu. Sebab mereka menyerbu tanpa senjata api, namun bisa membunuh jika tidak dimatikan.
Pasukan berani mati, gabungan beberapa kesatuan pemuda, kesatuan TKR serta laskar Hizbullah. Ketika bertempur melawan tentara sekutu, mereka bahu membahu bertempur dengan semangat "satu peluru satu nyawa". Foto dok begandring
Atas perkembangan banyak tokoh nasionalis membentuk barisan barisan yang didukung pemerintah militer Jepang, membuat beberapa pemimpin Islam mulai kawatir. Sebab kelompok kelompok pejuang semi militer ini tumbuh secara cepat diluar pengaruhnya. Maka beberapa ulama melakukan pertemuan pada 13 September 1943. Sepuluh ulama yang mengusulkan terbentuknya laskar Hizbullah Indonesia tersebut KH Mas Mansyur, KH Adnan, Abdul Karim Amrullah, KH Mansur, KH Mochtar, KH Chalid, KH Abdul Madjid, KH Jacub, KH Djunaedi, dan KH Sodri. Mereka memberi gambaran kepada panglima besar Harada bahwa kelompok Islam perlu dilengkapi pasukan yang kuat. Tujuannya agar bisa menjalankan perang jihad jika sewaktu waktu Asia Raya diserang Sekutu.
Mendengar usulan dari kelompok Islam ini, membuat Harada mulai tertarik. Dalam pikirannya, memobilisasi kelompok Islam lebih mudah di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Apalagi semangat jihad demi mempertahankan negaranya, maka dipastikan barisan tersebut lebih militan dan solid. Namun rupanya gagasan Harada ini lagi lagi diprtes Sukarno, yang menganggap barisan Islam ini akan memunculkan awal sebuah negara Islam.
Rupanya Harada lebih memilih usulan para ulama, sehingga pada tanggal 4 Desember 1944 dibentuklah laskar Hizbullah (Pasukan Allah). Harada yakin, alasan laskar Hizbullah ini akan menjadi kuat, karena pada masa penjajahan Belanda keberadaan kelompok Islam sangat terpinggirkan. Dengan pertinbangan melihat posisi strategis kelompok Islam ini, serta kondisi pasukan Jepang yang yang makin terdesak, maka tidak ada pilihan lain harus melatih para santri untuk mengikuti latihan semi militer.
Pasukan ini anggotanya pemuda Islam dengan usia 17 hingga 20 tahun. Umumnya yang memenuhi kriteria itu para pemuda pesantren. Pembentukan laskar Hizbullah disambut baik pemuda santri sehingga pada awal pembentukan jumlah anggota langsung 50 ribu orang. Pemimpin Laskar Hizbullah dipercayakan KH Zainul Arifin dengan Muhammad Roem sebagai wakilnya. Sementara KH Mas Mansyur diangkat sebagai komandan pelatihan, ditemani Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil. Para santri yang sebelumnya banyak belajar tentang kitab-kitab mulai ikut latihan militer.
Di wilayah bekasi misalnya, latihan pertama mereka dilakukan di Cibarusah dengan peserta 500 pemuda muslim. Latihan selesai pada Mei 1945 dan seluruh anggota diminta pulang ke daerah asal dan mendapatkan tugas untuk merekrut lebih banyak lagi untuk menjadi anggota laskar Hizbullah.
Sejak saat itu, program militerisasi Jepang selama dalam waktu 1 tahun telah melibatkan 2 juta pemuda. Para pemuda ini telah dibangun sebuah mental yang suka perang dan haus akan perjuangan. Jepang sangat sukses mencetak telur yang siap menetas kapanpun. Jika nantinya telur ini ditinggalan pasukan Jepang, maka saat menetas dan akan memangsa siapapun yang mengganggu tidurnya.
Laskar Hizbullah Tidak Takut Mati
Tujuan terbentuknya laskar Hizbullah Indonesia awalnya untuk mengusir penjajah serta mencapai kemerdekaan Indonesia. Seiring berjalannya waktu, para tokoh Islam pun mulai menagih janji kemerdekaan dari Jepang, tetapi tidak kunjung dikabulkan. Laskar Hizbullah yang sebelumnya bekerja untuk tentara Jepang, akhirnya memutuskan berubah haluan dan mulai melakukan aksi penyerangan dan pelucutan senjata.
Banyak peristiwa monumental dalam sejarah Indonesia yang melibaatkan Laskar Hizbullah. Salah satunya ketika meletusnya Pertempuran Ambarawa. Pada 21 November 1945. Sekutu yang tengah terdesak akibat serangan pasukan yang dipimpin Jenderal Sudirman, bergerak menuju Semarang. Selama perjalanan mundur ini, Sekutu membuat onar di Ambarawa dan akhirnya memantik peperangan besar. Pertempuran dasyat itu memancing lahirnya solidaritas dari berbagai tempat, termasuk dari Yogyakarta, yang juga telah membentuk Laskar Hizbullah.
Bersama dengan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Laskar Hizbullah, bersama laskar-laskar lainnya, bergerak serentak menuju Ambarawa dan mengepung kota tersebut. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, yang ditempatkan di bagian barat Ambarawa, tepatnya di Desa Jambu dan Banyubiru. Sedangkan di sisi selatan Ambarawa, terdapat pasukan dari Surakarta dan Salatiga. Di sisi utara, telah siap pasukan dari Kedu dan Ambarawa sendiri. Kemudian dari timur, telah mengepung juga pasukan dari Divisi IV Badan Keamanan Rakyat Salatiga.
Ketika Sekutu mundur dan dikepung kembali di Semarang, tepatnya di daerah Mranggen, Laskar Hizbullah segera bergerak. Dalam pengepungan di Semarang, dikirim pasukan Hizbullah Batalyon Basuni dari Yogyakarta. Saat pertempuran itu, sekitar 17 anggota Laskar Hizbullah gugur. Termasuk komandan laskar, yaitu Khudhori yang gugur tertembak dan tertusuk bayonet.
Sementara itu di Surabaya, laskar Hizbullah mulai melakukan aksi mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak sebelum Sekutu datang pada 25 Oktober 1945. Pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI), dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby. Sekutu masuk oulau Jawa melalui pelabuhan Tanjung Perak dengan tugas melakukan pelucutan tentara Jepang yang kalah perang.. Namun, yang terjadi sebaliknya, Sekutu justru menyerbu penjara dan membebaskan para tawanan perang. Aksi tersebut tentu membuat barisan pemuda, pasukan TKR dan Laskar Hizbullah geram. Kelompok santri ini memberi bantuan tempur dengan semangat jiihad. (pul)