Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Pembaca dan bacaan telah menjadi sejarah panjang tentang perubahan peradaban sebuah bangsa. Sejak Milenium ke-4 sebelum masehi, saat industri pertanian berada di struktur sosial paling tinggi, pusat-pusat kota mulai berkembang. Di sebuah negara Mesopotamia misalnya, seorang individu tidak akan dikenal bisa mengubah arah sejarah manusia sebelum membuat coretan di atas tanah liat, batu, atau pohon dan daun. Coretan itu berupa gambar-gambar yang dianggap simbul budaya manusia pada jamannya. Dari sanalah simbul simbul itu melahirkan konsep tulisan, representasi bunyi-bunyi yang diucapkan dengan menggunakan tanda-tanda visual.
Kemudian budaya membaca dan bacaan berkembang sekitar 2600 Sebelum masehi. Aksara paku berkembang dan tulisan menjadi lebih fleksibel. Tulisan ini untuk mendokumentasikan hukum dan menceritakan perbuatan raja. Dalam tulisan paku, setiap suku kata diwakili tanda yang berbeda, dan jumlah karakter tanda baca yang harus dipelajari mencapai ratusan. Maka siapapun yang menjadi juru tulis di jaman Mesopotamia pasti seorang yang sangat bepengaruh dan cendekia.
Lalu, karakter huruf semakin berkembang lebih sederhana. Tanda baca digunakan pertama kalinya sekitar 200 Sebelum masehi. Itupun tidak banyak yang menggunakan budaya tulis dan membaca, dan banyak manusia yang masih buta huruf. Tradisi membaca dan menulis hanya dilakukan di istana kerajaan dan biara. Namun pada abad ke-11 dan ke-12 Masehi, budaya membaca sudah seperti hiburan yang lumrah di masyarakat eropa. Bahkan banyak muncul tulisan cerita dalam bentuk buku, dan dibaca sebagai hiburan yang menyenangkan sebelum tidur.
Bagaimana dengan di tanah Hindia belanda. Sebenarnya tradisi membaca dan menulis sudah ada sejak jaman kerajaan Kutai Kertanegara dengan ditemukan prasasti abad ke 6 masehi dengan hurup Palawa berbahasa Sansekerta. Temuan ini menandakan era baru dalam sejarah nusantara. Dari prasasti paling kuno itu, berturut turut temuan prasasti lain dan catatan pengembara asing tentang kerajaan di Nusantara.
Namun saat Belanda masuk mengisi kekuasaan mengantikan pengaruh kerajaan kerajaan nusantara, tulisan Arab Pegon dan huruf jawa nyaris hilang. Budaya menulis dan membaca Arab Pegon dan huruf jawa hanya berkembang di lingkungan pondok pesantren, cendekia dan istana kerajaan. Atau simbul dan tetenger ruang publik. Budaya tulis dan membaca sudah berganti dengan pola eropa dengan dikenalkan hurub abjad latin. Hingga pada gilirannya hanya kelas sosial tertentu saja yang bisa membaca hurup abjad latin ini. Pemerintah kolonial melalui tokoh otoritasnya berusaha mencegah orang-orang pribumi mengakses bahan bacaan dan melek huruf.
Pemerintah Hindia Belanda baru mulai mengenalkan politik etis dan memberi kesempatan warga pribumi belajar membaca dan menulis hurup abjad latin pada tahun 1900. Kesempatan yang terbatas ini benar benar dimanfaatkan para tokoh nasionalis untuk menggunakan metode pembelajaran secara cerdik. Banyak literatur dipelajari sendiri dan kemudian menjadi senjata ampuh dalam pertempuran diplomasi melawan penjajahan dan penindasan.
Begitu pula dengan ambisi intelektual dari perempuan sangat tidak dianjurkan. Seringkali kelompok marginal ini mendapat kekerasan dalam masyarakat di seluruh dunia. Gejolak batin ingin emansipasi dikeluhkan Kartini dalam surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda. Menurut Kartini, sebagian besar perempuan pribumi terputus dari dunia luar dan dipaksa ke dalam rutinitas rumah tangga. Akhirnya generasi perempuan harus belajar sendiri membaca dan menulis.
Penguasa totaliter selalu mengakui pentingnya ketidaktahuan dalam membuat orang tunduk pada rezim yang eksploitatif, dan telah melarang buku, dan karya intelektual surat kabar yang bertentangan dengan visi mereka. Pada jaman penjajahan Jepang misalnya, banyak buku dan catatan kuno milik pondok pesantren dan kerajaan direbut dan dibakar. Bahkan Pemerintah Jepang selalu membuat tontonan pembakaran buku dengan ancaman-ancaman sebagai bagian propaganda.
Tetapi komunitas pembaca tetap bertahan. Mereka masih hidup dan menunjukkan diri mereka pada masa yang dibutuhkan negara. Pasca proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Sukarno mempunyai kebijakan yang menganggap peran guru sangat penting. Maka banyak sekolah guru didirikan, dengan tujuan mencetak generasi pintar. Sepanjang perjalanan sejarah, banyak buku dan surat kabar yang beredar. Buku dan koran ini mencari pembacanya masing-masing untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berkat Budi Membaca Makin Mudah
Sampai tahun 1900, orang berpikir bahwa cara belajar membaca dengan cara suara keras. Tetapi sebagian besar ahli filologi Jerman mengatakan membaca dengan suara keras bisa diketahui fonologi bacaan agar cocok dengan bunyinya. Seorang yang belajar membaca akan mendengarkan bunyi kata tanpa mengkhawatirkan huruf apa yang ada di dalamnya. Namun metode membaca suara keras ini sudah tidak pernah diperlihatkan tahun 1920-an. Salah satu penyebabnya muncul budaya surat menyurat yang tidak ingin penerima menyuarakan bacaan suratnya. Membaca menjadi sebuah budaya personal dan hanya di even tertentu saja perlu disuarakan.
Lalu mungkinkah jika orang yang sedang belajar membaca harus dikecilkan suaranya. Tentu sangat tidak mungkin. Sebab belajar membaca membutuhkan intonasi dan suara fonem yang dibaca. Jika perlu, belajar membaca harus bersuara lantang agar lebih bersemangat. Belajar membaca dengan metode itu pernah dialami Indonesia di masa Orde Baru. Mereka menyebut metode belajar bahasa untuk anak kelas 1 SD itu menggunakan kalimat 'Ini Budi.' Kalimat itu sangat khas, dan rasanya tidak mungkin dilupakan meski sang murid sudah beranjak dewasa dan menjadi menteri.
Orang yang mengembangkan Metode membaca “Ini Budi” ini bernama Siti Rachmani Rauf. Perempuan kelahiran Padang pada tanggal 5 Juni 1919. Siti Rachmani Rauf seorang guru dan penulis buku peraga pelajaran Bahasa Indonesia Ini Budi pada era 1980-an. Dia sengaja menggunakan tokoh Budi, yang kemudian booming di Indonesia karena nama itu dianggap sangat familier bagi anak kelahiran tahun 70an. Serta kalimat 'Ini Budi', 'Ini ibu Budi' dan 'Ini bapak Budi' dinilai sangat mudah dibaca anak-anak dan dipahami maksudnya. Bahkan Siti Rachmani Rauf juga menambah gambar tokoh Budi beserta keluarganya sesuai dengan tema.
Gambaran keluarga Budi yang hidup di sebuah desa, dengan pekerjaan Bapak Budi menjadi petani merupakan bentuk ideal sebuah keluarga pada masa itu. Budi juga mempunyai kakak bernama Wati, serta adik bernama Iwan, merupakan personifikasi program keluarga berencana pemerintah orde baru. Sebab sebelumnya banyak keluarga yang memiliki banyak anak, namun hanya keluarga budi yang memiliki 3 anak.
Sebenanya Siti Rahmani sudah lama mengajar sejak tahun 1937. Dia juga banyak menulis metode pembelajaran. Namun baru mengerjakan buku Ini Budi pada awal tahun 1980-an setelah melewati penawaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tawaran itu langsung diterima Siti Rahmani, setelah lama pensiun sebagai Kepala Sekolah SDN Tanah Abang 5, Jakarta pada tahun 1976. Tawaran tersebut ia terima tanpa meminta bayaran dan royalti, semata-mata karena kecintaannya pada dunia pendidikan.
Metode peraga bahasa 'Ini Budi, Ini Ibu Budi.' yang disebut Struktur Analitik Sintetik (SAS) Bahasa Indonesia untuk kelas satu SD ternyata bisa mengajak anak-anak untuk belajar tentang tokoh-tokoh. Tidak hanya itu anak-anak juga bisa belajar tentang karakter, budi pekerti dan pelajaran moral. (pul)