images/images-1671417797.png
Sejarah
Tokoh

Tokoh Politik Etis Van Deventer Pengagum Kartini

Author Abad

Nov 23, 2022

564 views

24 Comments

Save

Foto ini diambil sekitar tahun 1926. Sekolah SGKP terletak di semarang, bangunan sekolah termasuk mewah lengkap dengan taman dan arena bermain. Foto dok File femina

 

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Sebenarnya antara Van Deventer dengan Kartini terpaut usia yang jauh. Mereka hanya sekali bertemu saat Kartini berada di Rembang dan berusia 12 tahun. Tidak ada kesan apapun pada diri Van deventer terhadap pertemuan itu, hanya dia melihat ada sosok anak Bupati Jepara itu sangat bersemangat ingin melanjutkan sekolah. Komunikasi tidak berlanjut. Bahkan saat Kartini aktif menulis surat-suratnya kepada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van Deventer juga sudah meninggalkan Indonesia.

 

Namun betapa terkejutnya van Deventer ketika membaca surat-surat kartini yang diterbitkan dalam surat kabar Belanda pada tahun 1911. Van Deventer terkesan sekali, sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Van Deventer sendiri. Yaitu mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi perempuan. Segera keluarga Van Deventer menghubungi Abendanon dan menyatakan minat terhadap cita-cita Kartini.

 

Sejak itulah, Nyonya Van Deventer tampil ke muka. Tahun 1913 ia mendirikan Yayasan Kartini, yang dimaksudkan untuk membuka sekolah-sekolah bagi puteri-puteri pribumi. Namun hanya 2 tahun mengelola sekolah itu, van Deventer meninggal (1915). Cita-cita itu diteruskan Nyonya Deventer yang mengurus segala-galanya dengan tak kenal lelah. Ribuan murid puteri pun memasuki "Sekolah Kartini" yang bernaung di bawah Yayasan Kartini. Waktu Belanda diduduki Jerman (1940), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun. Ia mewariskan sejumlah besar dana yang bisa dimanfaatkan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh Van Deventer-Maas Stichting.

 

Pengacara, Wartawan dan Politikus Van Deventer

 

Pengacara, dan penulis asal Belanda Conrad Theodor "Coen" van Deventer lahir 29 September 1857 dan meninggal dunia 27 September 1915.  Van Deventer anak dari Christiaan Julius van Deventer dan Anne Marie Busken Huet. Ia menikah dengan Elisabeth Maria Louise Maas, namun tidak memiliki anak. Van Deventer pernah mengenam pendidikan di HBS dan belajar hukum di Universitas Leiden. Di usia muda meraih gelar doktor pada bulan September 1879 dengan tesis: "Zijn naar de grondwet onze koloniën delen van het rijk" ("menurut konstitusi, daerah jajahan kita bagian dari kerajaan Belanda"). 

 

Pada 20 Agustus 1880 ia keluarga kecil ini beranagkat menuju Hindia Belanda dan bekerja untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Kementerian Koloni. Jabatannya sebagai pejabat layanan sipil. Dia masih ingat, saat awal meninggalkan negara yang  sangat makmur Belanda, dengan menumpak kapal uap Prins Hendrik menuju tanah jajahan yang penuh duka lara. Di awal karirnya  di tanah jajahan bekerja sebagai panitera di Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) di Amboina pada bulan Desember 1880. Dalam waktu setahun adaptasi di sebuah kebudayaaan baru, Van Deventer sudah mulai merasakan disparitas dan ketimpangan ekonomi antara warga jajahan dan kaum Belanda. Pada bulan Juni 1882 ia juga ditunjuk sebagai oditur militer (sebuah jabatan hukum) di pengadilan militer di Amboina.  Pada Maret 1883 ia diangkat menjadi anggota Dewan Kehakiman di Semarang. Selama di pulau jawa inilah,  pergaulan Van Deventer denan para priyayi dan pribumi semakin luas. Dia pernah berkunjung ke pendopo Kabupaten Rembang, serta bertemu dengan Kartini kecil berusia 12 tahun. Hasil perjalanan di jawa ini menjadi sebuah serangkaian artikel di Soerabaijasch Handelsblad.

 

Van Deventer menulis pada Februari 1884 sebuah artikel dalam "Het Indisch Weekblad voor het Recht" (Jurnal Hukum Hindia Belanda), berjudul De Indische Militairen en het Koninklijke Besluit van 13 Oktober 1882 nummer 26 (Militer di Hindia Belanda dan perintah kerajaan tanggal 13 Oktober 1882). Dalam hal ini membahas persidangan seorang tentara Bugis di depan pengadilan sipil (polisi) dan bukan pengadilan militer.

 

Pada bulan April 1885 Van Deventer berhenti dari pekerjaannya sebagai anggota Dewan Kehakiman di Semarang dan diangkat menjadi pengacara dan jaksa pada Majelis Kehakiman.  Dalam periode hidupnya Van Deventer juga aktif sebagai letnan dua di schutterij. Pada tahun yang sama, 1885, dia berhenti dari pekerjaannya di Dewan Kehakiman dan lebih serius praktik hukum LLM B.R.W.A. baron Sloet van Hagensdorp dan LLM M.H.C. van Oosterzee. Van Deventer menggantikan Mr. Van Oosterzee, yang akan kembali ke Belanda.

 

Van Deventer bekerja sebagai pengacara swasta dari tahun 1885 hingga 1888. Selama 3 tahun beracara dan cukup tabungan, bulan Mei 1888 Van Deventer memilih pulang ke Eropa bersama istrinya dengan kapal uap Prinses Amalia. Perjalanan itu ditempuh dari Batavia menuju Belanda dalam waktu lebih cepat 2 bulan. Selama di Eropa,  ia menulis serangkaian artikel. Salah satunya yang paling sering dibahas berjudul De Wagner-feesten te Bayreuth (festival Wagner di Bayreuth) yan dimuat di surat kabar "De Locomotief". Rupanya bakat diplomasi, menulis dan pengacara sudah menjadi bagian perjalanan hidup Van Deventer. Dia rupanya lebih tertarik menjadi karyawan tetap koran De Locomotief.

 

Namun rupanya hanya satu tahun De Locomotief berada di belanda dan memilih kembalai ke tanah jajahan. Hal ini disebabkan wataknya yang keras dan lebih tertarik pada petualangan baru sebagai jurnalis merangkap pengacara. Ia kembali ke Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1889 dengan kapal uap Sumatra. Ia melanjutkan praktik pengacara dan meangkap menjadi komisaris perseroan terbatas "Hȏtel du Pavillon". Kemampuan mengelola firma juga terbukti semakin baik, sehingga pemerintah Belanda mengangkatnya menjadi anggota Komite Direksi Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Hindia Timur Belanda) Pada bulan September 1892. Setahun kemudian karir militernya yang cemerlang,  Van Deventer dipromosikan mendapatkan pangkat letnan satu di Schutterij di Semarang.

 

Van Deventer Gelisah Dengan Kebodohan dan Kemiskinan

 

Awal munculnya kebijakan politik etis salah satunya juga peran dan Van Deventer. Selain banyak tokoh lain yang lebih mendahukui melalui tulisan, seperti Max Havelar serta. Pada tahun 1899 Van Deventer juga menulis artikel yang sangat berpengaruh, berjudul "Een Ereschuld" (hutang kehormatan) di majalah Belanda "De Gids". Dalam artikel ini Van Deventer menyatakan bahwa Belanda memiliki hutang kehormatan hampir 190 juta gulden kepada Hindia Belanda.

 

Menurunya, semua kekayaan dan kejayaan yang didapat pemerintah Belanda adalah hutang. Dia melihat sendiri penderitaan warga pribumi sehingga bisa merubah hati nurani Van Deventer. Sejak 30 April 1886, Deventer sudah mengirim surat di sebuah surat kabar yang isinya perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi kepada kaum pribumi. Dia belajar dari kebangkrutan Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. 

 

Gerakan Van Deventer 1899 itu melalui majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substansial hukum berarti Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim. Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada rakyat Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur merupakan akibat penindasan dan kolonialisasi. Terutama datang dari tanah jajahan di Hindia Belanda. Sebaliknya kehidupan di tanah jajahan sangat miskin dan terbelakang. "Maka sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan," tulis Van Deventer.

 

Dampaknya khusus anggaran Hindia Timur Belanda dibahas di Tweede Kamer (DPR). Banyak perhatian diberikan pada artikel Van Deventer ini. Meskipun tidak semua anggota setuju dengan isi artikel, namun setidaknya Van Deventer telah membuat gebrakan agar publik Belanda yang sudah mapan dan makmur menjadi ngerti. Bahwa asal kemakmuran itu dari keringat dan penindasan. Sejak saat itu, The Gids juga sering memuat tulisan Van Deventer sejak 1 Januari 1901 dengan isi yang kritis teradao kebijakan politik Etis.

 

Pada Juni 1901 Van Deventer mendukung pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Timur Belanda di Hindia Belanda. Pada bulan Juni 1902 ia diangkat sebagai anggota "Algemeen Nederlands Verbond" (Asosiasi Umum Belanda). Dalam programnya, menyatakan bahwa kekuasaan administratif harus lebih terletak pada penduduk Hindia Belanda. Van Deventer menjadi anggota dewan Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (1903) dan pada tahun yang sama menghadiri pertemuan "Institut Kolonial Internasional" di London. Pada bulan September 1904 ia diangkat menjadi ksatria dalam Ordo Singa Belanda.

 

Van Deventer terpilih menjadi anggota parlemen pada 19 September 1911, ketika ia diangkat sebagai anggota Eerste Kamer (Senat) oleh Negara Bagian Friesland. Pada periode ini ia juga diangkat menjadi anggota Max Havelaar Foundation. Sebuah Yayasan dinamai berdasarkan buku terkenal yang ditulis oleh Multatuli. Tujuan dari yayasan tersebut untuk mengangkat warga prbumi dari jurang kemiskinan dan kebodohan.  Pada bulan Februari 1912, sebagai anggota Senat melakukan perjalanan selama beberapa bulan ke Hindia Belanda. Ia mengunjungi hampir semua pulau, dan  tetap menjadi anggota Senat sampai 16 September 1913. Pada tahun inilah ia mendirikan Yayasan Kartini untuk memberi kesempatan para remaja putri di Hindia Belanda mendapatkan pendidikan dan ketrampilan. Atas dedikasinya ini, dia berhasil terpilih kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun hanya 2 tahun, pada bulan September 1915 Van Deventer jatuh sakit parah dan dirawat di rumah sakit Palang Merah di Den Haag. Dia meninggal pada usia 57 tahun pada 27 September 1915 dan tubuhnya dikremasi di Westerveld.

 

 

Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru Perempuan

 

Ada banyak catatan betapa pentingnya perempuan itu harus pintar. Sebab kemadjuan sebuah bangsa dimulai dari sosok ibu yang harus pintar memberi wawasan dan pengalaman kepada anaknya. Motivasi ibu yang berpendidikan ini akan melahirkan sebuah generasi yang lebih maju. Catatan itu yang tampak di Van Deventer Scool. Mereka yang bersekolah disana diibaratkan  bidadari sedang beramain ke taman bunga. Sekolah khusus perempuan ini mendidik calon guru kepandaian putri [SGKP].

 

Salah satu program Van Deventer adalah pendirian sekolah bagi perempuan di Solo pada tahun 1918. Sekolah van Deventer mulanya berbentuk sebagai Sekolah Guru Frobelkweekschool (Taman Kanak-kanak). kemudian berkembang terus menjadi Sekolah Nijverheidschool (Kepandaian Putri). Sekolah ini berfokus pada pendidikan untuk guru dalam mendidik kaum perempuan pribumi agar terampil. Kurikulum yang diajarkan di Sekolah van Deventer juga berupa Normalschool, sehingga lulusan dari Sekolah van Deventer dapat menjadi guru di sekolah pemerintah dan guru untuk mata pelajaran keterampilan perempuan di sekolah khusus perempuan.

 

Untukmenunjang itu, gedung SGKP dilengkapi prasana lengkap salah satunya asrama putri. Di dalam gedung tersebut terdapat ruang-ruang untuk latihan memasak membatik, bermain musik atau gemelam. Bahkan disediakan semacam toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Di toko kelontong itu semua siswa belajar berwirausaha dan berhitung dan berdagang. Di halaman sekolah juga terdapat lapangan untuk olah raga dan kolam renang serta taman bunga. Kurikulum di sekolah ini mengajarkan perempuan hidup tangguh dan mandiri. Perempuan dianggap sebagai sarana pembinaan keluarga dan tempat pelestarian budi pekerti sebagai dasar penanaman moral untuk hidup bermasyarakat sehingga dapat melepaskan hidup (mandiri) dari ketergantungan kaum laki-laki.

 

Namun semua yang tinggal di srama itu harus perempuan. Mereka berasal dari warga pribumi yang sudah lulus sekolah rakyat ongko loro. Selama di asrama, mereka dibebaskan biaya apapun. Pakaian yang digunakan sehari-hari selama belajar bukan seragam sekolah seperti sekarang ini, namun hanya bawahan kain jarik dan kebaya. Bahkan untuk olah raga dan bermain di taman para siswi tetap menggunakan kain kebaya ini. Hanya saat pelajaran berenang, mereka hanya memakai ramben. Hanya guru-guru wanita bangsa Belanda yang memakai baju renang.

                                                                                                                ,

Dari 7 Sekolah Kartini dibawah yayasan van Deventer berhasil lulus pada tahun 1930 sebanyak 1.500 siswi. Namun, program pendidikan yang baik ini sempat terhenti karena pendudukan Jerman atas Belanda pada 1940 perang dunia ke II. Serta pendudukan Jepang atas Hindia Belanda pada 1942. (pul)

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023