Tonggak Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Abad.id - Temuan panteon-panteon Buddha berbahan perunggu dimasa Mpu Sindok bukanlah produk made in Anjuk Ladang (Nganjuk). Tidak ada jejak keahlian kerajinan perunggu yang tampak di kalangan masyarakat Nganjuk. Masyarakat Nganjuk memang pandai mencetak bata, membuat tembikar dari tanah liat, dan membuat arca batu. Tapi arca perunggu, sepertinya tidak.
Yang membuat kita berpikir lagi adalah bukti-bukti temuan panteon Buddha ini berada di dekat kompleks Candi Lor yang merupakan Candi Siwa. Jumlahnya tidak main-main, ada 90 buah dan ini belum pernah ditemukan dimanapun panteon Buddha sebanyak dan selengkap ini.
Candi Lor di Anjuk Ladang
Dengan logika sederhana saja, tentulah panteon-panteon Buddha ini berasal dari suatu daerah yang merupakan pusat peradaban Buddha. Dan melihat detail serta halus garapannya, tentulah peradaban pembuatnya sudah sangat tinggi. Di abad X, diperkirakan kebudayaan perunggu di Indonesia adalah peninggalan bangsa Deutro Melayu, dan kerajaannya adalah Sriwijaya.
Bagaimana dari pulau Sumatera bisa mencolot ke Nganjuk?
Bisa saja, pada tahun 928M, Sriwijaya bermaksud melumat habis Mataram. Raja Mataram yang ketika itu adalah Dyah Wawa berhasil dikalahkan dan gugur di istananya. Lalu seorang menteri yang bernama Mpu Sindok berhasil kabur ke Jawa Timur tepatnya Nganjuk dan mendirikan kerajaan Medang. Tetapi terus dikejar oleh pasukan Sriwijaya. Pertempuran sengit tak terelakkan, dan Sindok akhirnya menang, pasukan Sriwijaya mlayu ngibrit (melarikan diri) pulang kembali ke kampungnya (929M).
Namanya saja perang kolosal yang melibatkan banyak pasukan, tentu properti yang dibawa juga lengkap, termasuk perlengkapan pemujaan dan berdoa, salah satu perangkat pemujaan adalah panteon Buddha yang terbuat dari perunggu.
Panteon Buddha di sekitar candi Lor
Perang dimenangkan oleh Mpu Sindok, sebagian pasukan Sriwijaya yang tersisa berhasil mlayu (lari) pulang ke Sumatera, tapi ada yang "kepepet" dan akhirnya menyerah. Mereka yang menyerah diterima dengan tangan terbuka dan mendapatkan pengampunan.
Sisa-sisa pasukan Sriwijaya yang mendapatkan pengampunan dan mau mengabdi pada Medang, tidak lagi dianggap sebagai musuh melainkan dianggap sebagai saudara. Komunitas orang-orang Sriwijaya (Melayu) di Nganjuk diberikan otonomi wilayah sendiri di sebelah utara yang kelak oleh masyarakat, daerah itu disebut Nglayu, yang artinya adalah "tempat tinggal orang-orang Layu atau Malayu"--- orang-orang yang mlayu(malayu) atau melarikan diri.
Belajar dari konflik Syailendra (Buddha) – Sanjaya (Hindu) dimasa lalu, akhirnya Sindok melepas status wangsa Sanjaya-nya dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isyana. Visi utama wangsa ini adalah mempersatukan penganut keyakinan Siwa dan Buddha. Keputusan Sindok melepaskan status wangsa Sanjaya-nya dan mendirikan wangsa Isyana ini memberi kesan bahwa Sindok ingin mempersatukan dua wangsa yang jadi nenek moyangnya; wangsa Sanjaya (Siwa) dan Syailendra (Buddha) dengan harapan dapat menyudahi dendam dan konflik tak berujung di antara keduanya.
Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang penting bagi kehidupan beragama di Medang, karena sejak saat itu Siwa dan Buddha bersatu di bumi Anjuk Ladang (Nganjuk). Itulah cikal bakal semboyan "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" , berbeda-beda tetaoi tetaplah tiada kebenaran yang mendua, lalu dimulainya orientasi pemujaan yang feminis, yaitu kepada Pradnja Paramitha sebagai titik temu antara Siwa dan Buddha. Pradnja Paramitha adalah salah satu aspek sifat seorang bodhisattva yang disebut paramita. Arti harafiahnya adalah "kesempurnaan dalam kebijaksanaan" dan merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transedental manusia.
Arca perwujudan Prajnaparamita Bodhysatvadevi
Meskipun Mpu Sindok penganut ajaran Siwa, namun tetap memberikan toleransi yang besar terhadap keyakinan lain. Dia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan. Sima swatantra adalah wilayah otonomi yang diberikan kebebasan mengatur tatacara kehidupannya berdasarkan keyakinan yang dimiliki.
Sejarah itu memang tidak pasti, bisa saja relative, tetapi cukup jelas bahwa kehadiran Mpu Sindok dan Wangsa Isana ada pada abad ke-9 (929-947 Masehi), Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Medang Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tersebut pada prasasti Unjuk Ladang 937 Masehi) dan prasasti Turyan (929 Masehi). Watu Galuh dan atau Unjuk Ladang kemungkinan ada di Jombang sampai Nganjuk
Mpu Sindok menjadi pendiri wangsa Isyana sekaligus raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana Wikramadharmattunggadewa. Dalam beberapa prasastinya, dia menyebut bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari kerajaan Medang di Jawa Tengah. Salah satunya di prasasti Turyan ditemukan kalimat “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.”
Prasasti Anjuk Ladang
Mpu Sindok memimpin kerajaan Medang dan membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929). Lalu istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Tamwlang maupun Watugaluh.
Jadi anakroni (kesalahan waktu) jika keberadaan Mpu Sindok sudah ada pada abad ke-5 dan ke-6, karena baru pada awal abad ke-7 muncul Wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Sejarah adalah segala sesuatu yang terjadi di masa lalu. Peristiwa-peristiwa sejarah biasanya dirunutkan berdasarkan waktu terjadinya atau biasa disebut dengan kronologi. Kronologi sangat penting dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu dan menghindari terjadinya anakronisme.
Mpu Sindok wafat pada 947 Masehi, dengan demikian jarak antara Pralaya Medang Kamulan Jawa Tengah adalah 300 tahun, dan kepindahan peradaban secara besar-besaran baru terjadi pada sekitaran abad ke 9-10, mungkin setelah era Mpu Sindok, yaitu era Airlangga.(mda)