images/images-1672578846.png
Sejarah
Tokoh

Kisah Cinta Syahrir Layaknya Sebuah Cerita Roman

Pulung Ciptoaji

Jan 02, 2023

528 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

abad.id- Sutan Syahrir perdana menteri pertama Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir, salah satu tokoh pergerakan Indonesia yang mengenyam pendidikan di Eropa memiliki sebuah kisah cinta yang unik. Kisah Syahrir layaknya sebuah cerita roman, tentang cinta buta hingga tragedi yang membuat keduanya terpisah.

 

Sebenarnya Sutan Syahrir berasal dari prototipe suatu keluarga belanda coklat.  Syahrir dilahirkan di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Ayahnya Muhamad Rasad begelar Maharaja Sutan bekerja menjadi jaksa. Rasad ayah Syahrir sangat bahagia, sebab tinggal bersama dari 25 anak dari 3 istri. Saat masa keemasan pernah menjadi kepala jaksa dan dianugrahi tanda jasa sebagai ridder in de orde van oranje nassau. Ketika tinggal di Medan, Syahrir memasuki usia sekolah SD Belanda. Lalu melanjutkan di MULO. Dalam rangka kebutuhan pendidikan, pada tahun 1926 Syahrir dikirim ke Bandung untuk menjasi siswa di sekolah AMS. Sekolah AMS ini favoit dan  pendidikan lanjutan bagi lulusan MULO. Lulusannya membuka jalan untuk melanjutkan lebih tinggi di Belanda.

 

Selama di Bandung, Syahrir muda yang berumur 15 tahun telah aktif di gerakan nasionalis. Di gerakan inilah dia sudah kenal dengan Sukarno di beberapa forum diskusi. Padahal Sukarno sudah menjadi lulus dari mahasiswa, sementara Syahrir masih pemuda yang penuh ambisi. Suatu saat Sukarno menjadi pembicara tamu, sementara Syahrir sebagai moderator. Pertemuan itu ternyata tidak berkesan bagi keduanya, sebab justru menimbulkan perang ide antara pelajar dengan pimpinan PNI yang 8 tahun lebih tua. Sukarno sangat tersinggung saat Syahrir memotong pembicaraan dengan mengetok palu. Saat itu tensi diskusi sedang seru-serunya. Penyebabnya Sukarno dianggap terlalu sering menggunakan kata-kata berbahasa Belanda di tengah forum yang dihadiri kaum pribumi.

 

Keluarga Syahrir sangat mampu untuk membiayai sekolah lanjutan ke belanda. Pada tahun 1929, Syahrir dikirim ke belanda untuk mengikuti pendidikan universitas. “ Tidak ada yang terasa asing bagi saya waktu tiba di Belanda,” kata Syahrir bercerita tentang perkenalannya dengan negara kincir angin itu. 

 

Syahrir tiba di negeri Belanda di akhir musim panas tahun 1929. Syahrir  dijemput keluarga Djoehana, temopat awal menumpang. Namun Dokter Djoehana dan Sjahrizal, kakak perempuan Syahrir, hanya sampai 1931 saja tinggal di Belanda. Begitu diploma diraih suami kakaknya, Syahrir hidup sebatang kara di negeri kincir angin. 

 

Selama di Belanda, Syahrir sempat mendaftarkan diri ke fakultas hukum di Universitas Kotamadya Amsterdam, dan Universitas Negara di Leiden. Dari dua kampus tersebut, belum pernah ada catatan Syahrir berhasil menyelesaikannya. Syarir lebih banyak berkelana di Belanda, dan berdiskusi dari forum ke forum. Pemikiran Syahrir sangat dipengaruhi Marx dan Engels. Juga terdapat guru lain penganut marxis fanatik seperti Rosa Luxemburg, Kautsky serta henriette Roland Hols. Stahrir juga menjadi anggota aktif perkumpulan mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Indonesia dibawah ketua Mohammad Hatta. Tidak terlalu lama, Syahrir menjadi sekretaris PI.

 

Setelah berkelana di Amsterdam untuk beberapa waktu, Syahrir mendapat pemondokan di rumah Sal Tas. Keduanya berkenalan di sebuah Perkumpulan mahasiswa Sosial Demokrasi yang diketuai Sal Tas. Perkumpulan ini agak condong ke SDA, tetapi layaknya perkumpulan mahasiswa jauh lebih radikal daripada partai induknya.

 

Maria Johanna Duchateau

 

Saat itu Maria Johanna Duchateau masih sangat cantik. Namun, Maria sudah jadi istri Salomon “Sal” Tas induk semangnya.  Untung ada Sal Tas. Anak tukang roti yang gandrung pada sastra, musik, dan politik itu menampung Syahrir muda. “Dengan mudah Syahrir dan Tas berteman dan setelah keluarga Djoehana pergi, Syahrir pindah ke rumah kecil Tas yang tidak jauh dari situ,” tulis Rudolf Mrazek dalam Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.

 

Rumah itu dihuni Sal Tas, istrinya Maria Johanna Duchateau, serta dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel. Tentu saja ditambah Syahrir yang menumpang. Keluarga ini sering terlihat bersenang-senang ala mereka, mulai pergi ke rumah makan, teater, konser, juga pertemuan politik.

 

Namun pada November 1931, Syahrir harus angkat kaki dari Belanda setelah dipecat dari PI. Penyebabnya beberapa mahasiswa anggota PI menganggap syaahrir dan Hatta tidak solidaritas kepada Sukarno yang saat itu sedang mendekaam di penjara sukamiskin. Sebelum pulang, rupanya Syahrir sudah terlalu akrab dengan Maria Johanna Duchateau. Kala itu, Maria dan Tas sedang mengalami masa suram pernikahan. Meski sudah punya dua anak, keduanya tampak asyik dengan dunianya masing-masing.

 

Maria belakangan bahkan seolah-olah membiarkan Tas berhubungan dengan Judith. Sementara Maria Johanna Duchateau juga terlibat cinta dengan Syahrir. Dua sejoli ini punya panggilan kesayangan. Sidi untuk Syahrir dan Mieske untuk Maria. Sal Tas pun tak ambil pusing atas hubungan istrinya dengan sahabatnya itu.

 

Bulan Desember 1931, Syahrir sudah tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra'jat. Syahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Syahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.

 

Pertemuan Syahrir dengan Sukarno terjadi di Bandung pada 4 Januari 1932 di rumah Gatot seorang aktifis PNI. Sebenarnya keduanya tidak asing, meskipun Syahrir berusia lebih muda dari Sukarno. Syahrir juga dikenal seorang yang pintar menyimpan perasaan, sehingga saat pertemuan itu, dia lebih banyak diam dan Sukarno lebih dominan berbicara tentang arah perjuangan.  Atau mungkin pikiran Syahrir sedang tidak nyaman dan masih terkenang perpisahan dengan kekasihnya Maria Duchateau. Sehingga tidak nyambung arah pembicaraan saat diskusi. “Sukarno sudah bebas dan akan mendirikan partai baru dengan tujuan mempersatukan kelompok PNI lama. Saya sudah berbicara dengannya, ia boleh dikatakan memohon bantuan saya. Walaupun demikian saya belum bisa memberi jawaban yang lugas. Saya nasihati dia untuk mempelajari posisi dan sudut pandang kami, dan setelah itu baru berbicara ke kami,” kata Syahrir tentang apa saja yang dibahas dalam pertemuan dengan Sukarno.

 

Hasil pertemuan dengan Sukarno tidak ada pembahasan penting yang perlu ditindak lanjuti. Saat itu pikiran Syahrir ingin segera ke edan untuk menjemput kekasih hatinya Maria Duchateau. Dalam surat yang dikirim terakhir, Maria akan datang tanggal 28 Maret 1032 di bersama dua anaknya.

 

Keduanya benar benar telah membuat sejarah gila. Pertama sebelum meninggalkan Belanda, ternyata Maria belum resmi bercerai dengan Sal Tas. Catatan lain keduanya hendak melakukan kawin campur di era kolonialisme yang rasis.  Akhirnya tanggal 10 April 1932 mereka menikah siri di Masjid, dan langsung menjadi pasangan eksentrik di Medan. Mereka tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, atau sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel.  Aksi itu tentu sangat terlarang bagi pribumi. “Maria berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.

 

Pasangan itu bikin gerah orang-orang Eropa rasis di Medan. Orang-orang kulit putih sangat risih, bahkan bertanya ke Maria, barangkali membutuhkan pertolongan. Hal ini menunjukan seolah-olah Syahrir pribumi yang jahat

 

Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok bagi Belanda. Dengan cepat, berita soal Syahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi. Surat kabar Sumatra Post mengungkapkan bahwa wanita kulit putih yang bergandengan mesra dengan laki-laki pribumi, berjalana keliling kota dengan berlagak. Wanita yang bernama Maria ini sebenarnya masih istri sah dari seorang revolusioner Belanda yang terkenal. Tidak hanya itu media lokal ini juga memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Syahrir dan istrinya.

 

Kabar hubungan Syahrir dan Maria cepat tersiar dan sangat sinis. Membuat Imam yang mengawinkan mereka langsung menyatakan pernikahan tersebut tidak sah. Sebab Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya yang berada di Belanda. Sehingga, pernikahan Syahrir dengan Maria hanya berjalan satu bulan.

 

Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan paksa Maria dan dua anaknya kembali ke kampung halamannya menggunakan kapal SS Marnix dari St Aldegonde. Maria pulang ke Belanda dalam keadaan hamil, namun akhirnya mengalami keguguran pada 14 Mei 1932.  Peristiwa ini juga dijadikan peringatan penting dari pemerintah Belanda kepada aktivis pergerakan lainnya.

 

Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Maria kirim surat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Syahrir, dengan alasan melanjutkan studi di Belanda. Namun permintaan itu ditolak.  Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Syahrir.

 

Syahrir ditangkap saat hendak bertolak ke Belanda menyusul Maria. Ikut pula diamankan sebuah tiket kapal SS Aramis yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pertemuan dengan Maria kembali gagal karena Syahrir harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang.  Selama masa tahanan, Syahrir ternyata dikenal orang yang tidak tahan kesendirian.  Ia selalu berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya, sebagai cara mengusir depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Syahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda, mulai ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.

 

"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama degan orang yag merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohain dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Syahrir dalam suratnya untuk Maria.

 

Akhirnya tanggal 16 November 1934, pemerinah Hindia belanda memutuskan lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Syahrir turut di dalamnya. Meskipun mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.

 

Akhir babak hubungan jarak jauh Syahrir dan Maria meskipun rajin bersurat mulai retak. Syahrir di Indonesia timur dan Maria di Belanda. Surat-menyurat itu sempat terputus oleh Perang Dunia II. Ketika Depresi Ekonomi eropa dampak perang  terjadi, Sjahsam, salah seorang adik Syahrir dengan usia dua tahun lebih muda, diminta untuk membantu Maria dan anak-anaknya.

 

Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan diceritakan Syahrir kepada Maria dengan pandangan optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil hingga novel. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik.

 

Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" lain di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Syahrir dianggap cukup aneh. Syahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Syahrir juga dikenal sebagai "pengelana jenaka". Selama berada di pengasingan, Syahrir seolah-olah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.

 

Setelah ditelusuri, ternyata Syahrir membuat kesepakatan dengan Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan catatan Syahrir akan mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden. Sebab bagi Syahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya.

 

Ketika Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman, seluruh korespondensi terputus. Ternyata mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Syahrir. Maria sempat berpikir untuk membakarnya namun dicegah suaminya yang juga adik Syahrir, Sutan Sjahsyam. Diputuskan surat surat itu akan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen, dan diterbitkan di Amsterdam pada 1945.

 

Syahrir baru bertemu Maria setelah 15 tahun kemudian, yaitu pada 1947 di New Delhi. Kala itu Syahrir sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan. Ketika bertemu di bandara, Syahrir sempat mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, menurut Maria Duchateau, merasakan Syahrir sudah berubah. Mungkin disebabkan Syahrir telah menjadi negarawan, atau sikap canggung karena sedang punya hubungan dekat dengan Popy sekretarisnya. (pul)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023