Para TRIP atau Tentara Republik Indonesia Pelajar pernah ikut berjuang melawan gempuran tentara Inggris mempertahankan wilayah Gunungsari Surabaya pada tanggal 28 Nopember 1945. Pada tahun 1950, pasukan TRIP Jawa Timur dibubarkan dan seluruh anggotanya didemobilisasi, dikembalikan menjadi pelajar atau atau militer.
abad.id- Jenderal Soedirman dan Jenderal Spoor keduanya panglima perang yang tangguh dan dihormati anak buah. Keduanya dipertemukan dalam palagan yang sama yaitu agresi militer Belanda.
Spoor tidak pernah bertemu langsung dengan Soedirman, bahkan di medan perang. Namun, kejengkelan pria Belanda kepada tentara Indonesia benar-benar sudah di ubun-ubun. Menurut Spoor, sangat yakin sebagian besar masyarakat Indonesia masih menginginkan Belanda tetap memerintah. Serta segelintir kecil kelompok orang saja yang terus-menerus mengumandangkan kemerdekaan. Kelompok kecil ini harus diberangus, termasuk militer Indonesia.
Ia menyatakan ketidakpuasannya tentang para militer Republik di meja rapat yang menurutnya merupakan mitra diskusi yang sepenuhnya tidak kompeten. “Apalah yang dapat diharapkan dari seorang bintara, juru tulis, dan kepala sekolah yang dipromosikan sebagai jenderal," kata Spoor sinis.
Prajurit muda Belanda yang dikirim ke palagan Indonesia. koleksi Flip Peeters.
Kebencian tidak terkira kepada Soedirman. Menurutnya latar belakang sebagai guru sekolah sangat tidak kompeten menjadi panglima tentara. “Memang patut dipuji, tetapi ia sepenuhnya besar kepala, sombong tak terkira mengenakan seragam dengan tanda penghargaan Jepang, epolet berwarna emas yang bintang tiga, serta memakai kopiah," kata Spoor suatu ketika.
"… Ia memandang peranannya sebagai seorang "bapak" bagi pasukannya dan melambangkan semangat perjuangan nasional. Urusan organisasi dan taktis ia serahkan kepada para perwira staf yang boleh dikatakan berasal dari KNIL.
Sekitar 150.000 anak-anak muda Belanda dikirimkan oleh pemerintahnya ke tanah Hindia. Doktrin yang mereka terima: bertujuan untuk "mengamankan" rakyat Hindia dari teror para "begal", "bajingan" dan "para perampok" pimpinan Sukarno. Menurut organisasi veteran tentara Belanda (VOMI), sekitar 8000 (ada yang bilang 15.000) dari mereka, tak pernah kembali pulang ke Belanda. Kalau tidak gugur, mereka hilang di hutan-hutan tropis dan jadi sasaran ranjau-ranjau tentara Republik.
"… Ia menentang mati-matian segala bentuk perundingan dengan Belanda. Ia tidak mau menerima satu pun kompromi dan hanya puas dengan 100 persen merdeka."
Uniknya, sikap Spoor dan Soedirman perihal pihak pemerintah sipil satu suara. Kedua panglima perang ini sama-sama tidak percaya kepada peran diplomasi untuk dapat menyelesaikan masalah. Mereka lebih ingin pemerintah masing-masing mendukung penuh militer melakukan penyerangan langsung dan mengalahkan lawan.
"… Tindakan keras diperlukan untuk memaksa orang Indonesia mengumumkan gencatan senjata. Bertentangan dengan janji yang berulang-ulang mereka berikan kepada otoritas Belanda. Jenderal Soedirman dan tentara Republik menyabot setiap kemajuan diplomasi, Klan militer mencengkeram Pemerintah Republik,"
Kepada Soedirman dan kawan-kawan, Spoor merumuskan empat syarat, TNI harus dibersihkan dari segala anasir yang tidak diinginkan, TNI hanya berlaku sebagai polisi militer untuk memerangi banditisme dan terorisme di daerah-daerah tertentu, Pasukan Belanda bertindak selaku sandaran belakang apabila ternyata TNI tidak mampu melaksanakan pekerjaannya, TNI dan pasukan Belanda berada di bawah satu komando tunggal Belanda.
Namun, Soedirman tentu saja menolak mentah-mentah syarat Belanda tersebut. TNI terus-menerus melakukan perlawanan sporadis dan sistematis terhadap tentara Belanda yang membuat Spoor makin jengkel dan kesal. Sampai tiba waktunya Agresi Militer II, 19 Desember 1948, yang menurut Spoor akan menghabisi sekaligus pemimpin sipil dan militer Indonesia.
"What a lovely day to start a war," kata Spoor kepada pemantau militer Amerika Serikat saat serangan 19 Desember 1948. Spoor lumayan puas atas serangan 19 Desember 1948. Namun, ia mengakui, Belanda gagal menyingkirkan para pimpinan militer TNI.
Perang Gerilya Menjatuhkan Mental Tentara Belanda
Saat penyerbuan Belanda ke Yogjakarta dinilai sebuah kemenangan besar bagi tentara Belanda. Sebab saat itu tidak banyak TNI yang sedang berjaga di Yogjakarta. Sebenarnya TNI sedang melakukan latihan yang telah direncanakan di sekitar Yogya. Kalau andaikata pasukan Republik Indonesia siap berada di ibu kota, maka mereka mungkin sekali dihabisi oleh pasukan Belanda yang persenjataannya lebih baik, dan menguasai udara.
Saat Belanda telah berhasil menduduki ibu kota, TNI mulai melancarkan perang gerilya. Perang dimulai divisi Siliwangi kembali ke daerah operasi mereka di Jawa Barat. Perjalanan yang berat bagi beribu-ribu prajurit dan keluarga mereka, yang harus melintasi jarak beratus-ratus kilometer melalui medan yang sulit. Poncke Princen seorang Belanda yang desersi dan bergabung dengan Siliwangi, mengakui kehebatan dan ketangguhan TNI.
Soedirman memilih bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kisah tentang jalan penuh penderitan Panglima Besar itu, bagaikan kabar angin menyebar dengan cepatnya di Jawa dan Sumatra. Ia menjadi lambang sebuah Republik yang tidak terkalahkan dan idola para pejuang gerilya muda, baik batalyon mahasiswa, pelajar serta laskar rakyat.
Sebelum bentrokan senjata pecah, mereka telah menyusun di atas kertas strategi dan taktik untuk perang gerilya. Kabinet dan Soedirman telah menyetujuinya rencana itu, dan dikirimkan sebagai instruksi dari markas besar kepada para komandan pasukan di lapangan. Para mantan kadet KMA telah menggali dari buku pelajaran (Jerman), konsep taktis Webrkreise. Mereka membagi seluruh wilayah Jawa yang sekarang dikuasai pasukan Belanda menjadi Wehrkreise. Tempat-tempat di lapangan yang telah mereka kuasai disebut 'kantong' yang harus dipertahankan dengan menjalankan taktik gerilya.
Serombongan prajurit TNI dari Divisi Siliwangi baru tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta dan disambut oleh gadis-gadis Yogya. Salah satu hasil kesepakatan Perjanian Renville adalah seluruh kekuatan republik termasuk Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat.
Dari kantong-kantong ini harus dilancarkan serangan-serangan tidak terduga meniru aksi yang dilancarkan Jenderal Inggris Wingate di Burma. Di belakang garis pertahanan Jepang dinamakan 'aksi Wingate'. Para geriyawan yakin pasukan Jenderal Spoor akan terpaksa terpecah tentaranya yang begitu kuat, menjadi satuan-satuan kecil sehingga menjadi rawan untuk serangan dan infiltrasi dan aksi-aksi bit and run.
Dengan strategi dan taktik ini, para gerilyawan harus berlaku seperti 'ikan di dalam air'. Artinya harus bersembunyi di lingkungan mereka sendiri, misalnya di dalam kampung, desa, sawah,dan hutan wilayah tempat mereka beroperasi,dan yang yang medannya sudah begitu mereka kenal, karena mereka dibesarkan di sana.
'Pagar Desa" adalah unit gerilyawan yang paling kecil, dan dengan demikian menjadi jantung pasukan gerilya. Di dalam 'Pagar Desa' para pejuang bekerja sama dengan penduduk desa yang menyediakan pangan, mengintai musuh, dan menyesatkan pasukan Belanda. Kepala desa pun biasanya ikut membantu, walaupun di depan Pemerintah Pamong Praja mereka berlaku seperti kawula Belanda yang setia. Di titik-titik pertahanan Belanda yang lemah, misalnya di perkebunan-perkebunan, pos-pos polisi yang terpencil, mobil-mobil Belanda menadi korban serangan mendadak.
Spoor yang awalanya menyepelekan kapasitas TNI untuk melancarkan perang gerilya, akhirnya menyadari bahwa banyak penduduk Indonesia mendambakan kemerdekaan. Banyak kerugian diderita pasukan Belanda. Biaya perang menjadi sangat besar, dan banyak serdadu Belanda yang tiba-tiba hilang dan tewas misterius. Melihat kondisi ini, mental tenrara Belanda semakin lemah, dan itu menjadi pembicaraan para perwira Belanda. Hingga suatu saat pada 23 Mei 1949, Spoor muncul di kamar kerja rumah dinasnya menjelang siang. Saat ia duduk di belakang meja dan sedang bercakap-cakap dengan sekretarisnya, tiba-tiba Spoor terjatuh.
"Panggil dokter …. Panggil dokter!" kata sekretarisnya.
Dokter yang merawat Spoor mengatakan, panglima tentara itu terkena serangan jantung. Kondisinya kritis, tetapi stabil. Ia dirawat di rumah. Kesehatan Spoor terus memburuk. Ia disebut, "merasakan nyeri yang amat sangat akibat keram jantung." Para dokter menyebut, "Spoor terlalu keras bekerja seperti hewan, habis tenaganya. Panglima Tentara tak akan pulih seperti sediakala.
Di Belanda, hampir bersamaan dengan serangan jantung Spoor, Pemerintah sudah ingin menaikkan pangkat Spoor ke jenderal penuh. Spoor pun sudah meminta izin untuk liburan cukup lama karena ia merasa amat lelah dalam peperangan dua tahun terakhir. Kenaikan pangkat akhirnya diumumkan saat Spoor sekarat di atas ranjang. Ia tetap berterima kasih kepada Pemerintah Belanda.
Rabu, 25 Mei 1949, pukul 10.00, Spoor meninggal dunia. "Baru saja ajalnya tiba," telegram yang dikirim ke pemerintah di Belanda. Beberapa kelompok di Belanda masih ada yang menuding bahwa sang jenderal diracun oleh Indonesia. Namun, tudingan itu dimentahkan oleh munculnya dokumentasi catatan dokter yang merawat Spoor sejak hari pertama yang memang menegaskan Spoor terkena serangan jantung.
Spoor dimakamkan di Menteng Pulo, Batavia, pada Sabtu, 28 Mei 1949. Agak ironis, karena pada 1947, Spoorlah yang meresmikan pemakaman Menteng Pulo tersebut. Ratusan orang mengantar peti mati Spoor ke liang lahat dengan sebuah panser menyeret kereta peti mati. Saat hendak diturunkan ke liang lahat, ada khotbah dari Pendeta FM Kooyman dan pernyataan dari Gubernur Daerah Federal Batavia Hilman Djajadiningrat. Saat peti mati diturunkan, sembilan pesawat pengebom dan lima pesawat pemburu melakukan flypass di langit di atas Menteng Pulo sebagai penghormatan. Berakhirlah hidup Spoor di tanah Batavia dengan kesepian.
Soedirman Meninggal Dunia Dengan Kewibawaan
Setahun pasca agresi militer ke 2, kondisi Panglima memang tak bisa pulih seperti sediakala. Otomatis, antara 1949–1950, Soedirman banyak menghabiskan waktu dirawat di berbagai tempat. Di saat-saat akhirnya, Pak Dirman sempat dirawat di sanatorium Pakem, Yogyakarta Utara. Kemudian, ia dipindahkan ke rumah peristirahatan di Badaan, Magelang. Di sini pun sang Panglima masih terus dikunjungi berbagai tokoh untuk berdiskusi. Soedirman selalu mengikuti perkembangan politik Republik lewat radio dan surat kabar.
Hingga 22 Pebruari 1948, telah selesai dihijrahkan kurang lebih 29.000 prajurit Siliwangi dan keluarganya meninggalkan kantong-kantong gerilya di Jawa Barat. Route perjalanan hijrah terbagi dua jalur yaitu melalui jalan darat dengan menggunakan kereta api dan melalui laut dengan kapal laut.
Pertemuan terakhirnya adalah dengan Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Abdoel Halim pada Sabtu 28 Januari 1950. Sehari setelah pertemuan itu, kondisi kesehatan Panglima Besar turun drastis. Sepanjang hari ia kritis, sampai akhirnya pada Ahad, 29 Januari, sekitar pukul 18.30, ia berpulang. Soedirman wafat, Presiden Sukarno sedang dalam kunjungan ke India bersama rombongan. Yang mengambil peran memberikan pidato penghormatan adalah Bung Hatta pada malam itu juga.
"Inna lillahi wainna ilaihi rojiun, Dengan terperanjat dan merasa sedih kita menerima berita malam ini, bahwa Letnan Jenderal Soedirman meninggal dunia. Sungguh pun sudah lama dikhawatirkan bahwa penyakitnya tak mungkin sembuh lagi, wafatnya hari ini masih mengejutkan," ucap Bung Hatta kala itu.
"Saya kenal Jenderal Soedirman sebagai yang keras hati, tetap kemauan. Dalam melakukan kewajibannya ia tak pernah mengingat dirinya sendiri, malahan senantiasa berpedoman pada cita-cita negara. Demikian hebat ia mementingkan kewajibannya sehingga ia menyia-nyiakan kesehatannya. Akhirnya ia kena penyakit TBC yang menewaskan jiwanya sekarang. Meskipun dalam sakit ia masih sempat meninggalkan Yogya pada permulaan aksi militer kedua dan memimpin perang gerilya dari pegunungan. Jarang orang yang begitu keras hatinya dan begitu setia memenuhi kewajibannya," ujarnya melanjutkan pidato.
Prosesi pemakaman Pak Dirman berlangsung ramai. Di seluruh pelosok dikibarkan bendera Merah Putih setengah tiang. Dari Magelang, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta dikawal 4 tank, 8 truk berisi prajurit, dan 80 mobil rombongan. Sepanjang jalan, warga memberikan penghormatan terakhirnya kepada putra Banyumas ini.
Mereka tampak ceria, namun tidak semua bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing, Sebagian gugur saat berhadapan lawan di medan laga.
Senin siang, konvoi tiba di Masjid Besar Kauman. Peti sukar masuk karena ribuan orang memenuhi masjid hingga ke halaman. Semua ingin menshalatkan jenazah Soedirman. Bagi warga Muhammadiyah Kauman, Soedirman sosok yang akrab sekali. Sejak kecil, Soedirman sudah bersentuhan dengan warga Muhammadiyah dan aktif berorganisasi.
Dari Masjid Kauman, jenazah Soedirman dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Digambarkan, konvoi peti jenazah Soedirman berjalan amat pelan karena saking banyaknya rakyat yang menyertai ke taman makam. (pul)