images/images-1671770214.png
Sejarah
Data

Kisah Perih Perbudakan Nusantara

Pulung Ciptoaji

Dec 23, 2022

678 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Catatan Tan Malaka saat setahun mengajar anak-anak kuli kontrak di Deli pada tahun 1920-an menggambarkan kehidupan di sana. “Deli memang tanah emas dan surga bagi kelas kaum kapitalis, namun hanya tanah untuk meneteskan keringat dan air mata. Tanah kematian dan neraka bagi kaum budak. Para kuli melakukan kerja paksa, mereka adalah budak. Para kuli membanting tulang dari dini hari sampai malam, mendapat upah yang cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya. Sewaktu-waktu dipukul dan dimaki godverdom. Sewaktu-waktu pula bisa kehilangan istri dan anak gadisnya yang dikehendaki ndoro tuan”

 

Sejak mengetahui kondisi bangsanya yang tertindas, jiwa Tan Malaka berontak. Dia belajar dari pengalaman sejarah, bahwa melawan penjajahan dengan kekerasan akan dibalas setimpal dengan kekerasan. Maka dipilih jalan ketiga yaitu mengerahkan kekuatan pikiran dan memberi semangat kebangsaan, satu satunya cara untuk merubah nasib tanah jajahan.

 

 

Rasa perih warga yang terjajah itu baru terawab 102 tahun kemudian. Jika Tan Malaka masih hidup, mungkin dia akan tersenyum sinis atas pengakuan kesalahan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang meminta maaf atas perbudakan dan jual-beli budak yang dilakukan Belanda di masa lampau. Dalam pidato di National Archives, Den Haag, Senin (19/12/2022), permintaan maaf Rutte tetap dilakukan meski para kelompok aktivis memintanya menunggu sampai 1 Juli 2023 agar bertepatan dengan peringatan penghapusan perbudakan oleh Belanda. Negara Belanda secara resmi meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan selama 250 tahun. Mark menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

 

Praktek perbudakan di koloni-koloni luar negeri Belanda itu antara lain di Suriname di Amerika Selatan, Indonesia di timur, serta  pulau-pulau Karibia seperti Curacao dan Aruba. Namun permintaan maaaf pemerintah Belanda ini tidak direspon sama sekali oleh Pemerintah Indonesia.  

 

 

Gambaran praktek perbudakan negara Belanda di tanah jajahan menjadi aib besar bangsa tersebut. Di tanah Hindia Belanda, praktek perbudakan sudah muncul sejak kebutuhan tenaga kerja di jaman VOC Batavia. Seratus tahun kemudian setelah VOC runtuh, praktek perbudakan semakin semarak sejak struktur masyarakat kapitalistik terbentuk. Beberapa lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij  dan Javasche Bank didirikan untuk mengkapitalisasi tanah jajahan. Dua bank besar ini dianggap bisa melayani pengusaha-pengusaha Eropa untuk industri-perkebunan dan pabrik gula. Di awal cultuurstelsel terdapat 30 kontraktor, terdiri dari 17 Tionghoa, 7 Belanda dan 6 Inggris. Untuk mengelola Industri gula itu, orang-orang Inggris saja yang telah menggunakan tehnologi mesin uap, yang lainnya masih menggunakan pengepres ‘tradisional.’ Orang-orang Belanda baru mendatangkan mesin-mesin canggih dalam tahun-tahun 1835-1836.

 

Untuk mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik gula, membutuhkan kaum bumiputera menjadi buruh. Sejak saat itu, tanah Hindia Belanda harus melewati perjalanan perbudakan sangat kejam antara tahun 1830-1870. Pada Mei 1842, saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang di desa-desa Kaliepoetjang Koelon, Karanganjar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah-tanah baru untuk dipakai menanam tebu dalam jangka dua tahun. Instruksi gubernemen ini disampaikan langsung oleh bupati Batang kepada para kepala desa. Namun pada 22 Oktober 1842, kontrolir Batang melaporkan ada 46 desa bersama penduduknya yang melakukan cu1tuurdienst tebu untuk masa tanam tahun belum dilunasi upahnya hingga masa kerja musim panen tahun berikutnya. Laporan ini menunjukan bahwa ada praktek sewena-wena kepada warga pribumi untuk kepentingan kapitalis.

 

 

Ada beberapa sumber mengatakan, praktek curang dalam pembayaran buruh itu untuk memenuhi pajak natura tebu yang harus dibayarkan dalam kontrak kerja tahun 1841. Dengan upah sebesar 14,22 gulden per kepala. Keadaan menggenting, buruh planter (penanam tebu) yang terlibat kerja onderneming tersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan, melainkan justru berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah dari 14,22 gulden menjadi 25 gulden. Protes planter ini terjadi pada 24 Oktober 1842, dan diikuti 600 planter dari 51 desa.

 

 

Aksi menuntut hak juga pernah dilakukan di Yogyakarta tahun 1882, berupa pemogokan berturut-turut. Gelombang pertama berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai tanggal 4 Agustus 1882 melanda empat pabrik gula . Gelombang kedua berlangsung dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1882, melanda 5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai pertengahan Oktober 1882, melanda 21 perkebunan. Lokasi pemogokan adalah Kabupaten Kalasan (pabrik gula Barongan), Kabupaten Sleman (PG. Padokan, PG. Cebongan, PG. Bantul). Isu pemogokan berupa upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga (wachtdiensten) yang dilakukan 1 hari untuk setiap 7 hari,  kerja moorgan yang tetap

dilaksanakan padahal tidak lazim lagi,  upah tanam (plaantloon) yang sering tidak dibayar, banyak pekerjaan tidak dibayar padahal itu bukan kerja wajib, harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar,  beberapa pengawas Belanda sering memukul petani.

 

Dilihat dari jumlah pribumi yang terlibat protes tersebut tentu merupakan aksi besar. Namun karena belum ada organisasi modern berupa serikat buruh atau organisasi kebangsaan lainnya, seringkali aktivitas politik tersebut berhenti di tengah jalan. Bahkan protes dan mogok kerja itu tidak akan menjadi perhatian para wartawan, aktifis pergerakan kebangsaan dan kelompok kerja politik pada masa itu. Bahkan para peneliti sejarah sekarang hanya menganggap aksi para buruh dan budak abad 19 ini hanya sekedar persoalan protes biasa.

 

 

Budak, Buruh dan Petani Pemilik Lahan

 

Ada perbedaan petani di jaman Hindia Belanda. Petani ini tidak dapat dikategorikan sebagai farmer atau tuan tanah, namun lebih merupakan peasant jenis petani gurem. Kaum tani miskin ini untuk hidupnya harus bekerja sama dengan industri-perkebunan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga jika ada protes petani yang memproduksi barang dagangan secara massal sepeti tebu, tidak ada bedanya protes para buruh.

 

 

Pada abad ke-19, konsepsi Barat akses seseorang terhadap tanah akan menentukan seseorang diklasifikasikan sebagai farmer atau worker (budak). Memang petani di pulau Jawa punya akses terhadap tanah negara. Hal ini dalam konstruksi Van den Bosch adalah pranata bumiputra. Sedangkan untuk mengolah tanah menggunakan ikatan-ikatan adat. Pengalokasian sebidang tanah di suatu keluarga sama artinya memberi beban dari negara  atas petani untuk menuntut sebagian dari hasil tanah tersebut. Pungutan itu bisa digunakan untuk kepentingan penguasa bumiputra tertinggi di wilayahnya.

 

 

Di dalam desa-desa terdapat distribusi atas hasil tanah, dan dialirkan kepada bupati atau raja dalam bentuk-bentuk upeti. Dengan menggunakan bentuk penguasaan tanah ini  maka penguasa bisa leluasa menggunakan sistem untuk memobilisasi petani.

 

Saat Inggris mengutus Thomas Stamford Raffles, dalam kurun pemerintahannya yang singkat di Jawa (1811-1816), telah meletakkan dasar-dasar penting bagi perubahan kepemilikan tanah. Kebijakan Raffles ini masih menjunjung tinggi kapitalisme dengana menerapkan ambil alih seluruh tanah di Jawa menjadi milik negara. Bagi Raffles tidak ada pemilikan tanah pribadi dalam masyarakat bumiputra. Raffles juga menerapkan penyeragaman upeti kepada para penguasa bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Kebijakan Raffles sebetulnya dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar (“tuan-tanah”) yang ada di India.

 

 

Konsep Raffles tentang pemilikan tanah negara ini diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya cultuurstelsel dengan melakukan modifikasi-modifikasi. Seperti, tanah yang diambil negara itu sebagai upaya menarik uang dari petani karena petani menjadi penyewa sehingga wajib membayar sewa tanah (Iandrente). Kebijakan itu oleh den Bosch dibalik menjadi tanah dikembalikan kepada rakyat bumiputra. Pengembalian tanah tersebut disertai beban yakni setiap petani yang mendapat tanah, wajib menanami dengan tanaman dagang konsumsi dunia. Atau menyediakan diri untuk bekerja selama 66 hari kepada pemerintah. Pewajiban kerja yang diajukan Bosch ini dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan kewajiban membayar pajak (lanrente). (pul)

 

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023