images/images-1671784136.png
Sejarah
Tokoh

Bunda Teresa, Tuhan Itu Berada di Tempat Orang Miskin

Pulung Ciptoaji

Dec 23, 2022

386 views

24 Comments

Save

abad.id-Tinggi wanita itu hanya 1,5 meter dan sangat kecil untuk ukuran wanita kulit putih. Kulitnya menjadi kecoklatan karena terlalu lama berada di tengah udara tropis negara India. Diwajahnya penuh dengan garis-garis ketuaan, serta mata birunya memancarkana harapan hidup dan kasih sayang. Tangannya menjadi kasar, banyak mengelupas kulit ari seperti milik tangan pembantu rumah tangga. Di usia yang ke 73 tahun itu, Bunda Teresa sudah tidak lagi segesit dulu. Apalagi tubuhnya juga digerogoti penyakit jantung.

 

Hari itu tahun 1979, tampilan Ibu teresa begitu apa adanya. Dunia yang kagum atas perjuangan dan dedikasi Bunda Teresa menyebutnya Bidadari Kaum Gelandangan, atau Bidadari Kaum Sengasa. Hari istimewa bagi Bunda Teresa sebab mendapatkan nobel perdamaian dan pehargaan Order of Merit Dari kerajaan Inggris. Ditengah gemerlap prestasi itu, Bunda Teresa masih tinggal di kota termiskin dan paling jorok Kalkuta. Hiruk pikuk udara yang berdebu dan bau busuk memudahakan siapapun terkena broncistis atau asma.

 

Di komplek tempat tinggal yang dia sebut Mother House, setiap hari berkumpul para gelandangan lapar. Mereka berpakaian compang camping menunggu makanan dan obat gratis dari Mataji, (panggilan orang orang itu kepada Bunda Teresa). Suasana antri dan wajah yang resah itu berbaur dengan suara klakson dan bisingnya kota.

 

Bunda Teresa lahir 27 Agustus 1910 di Skopje (Yugoslavia) dari orang tua bernegara Albania. Nama aslinya Agnes Gonxha Bejaxhin. Ketika kecil tingkah lakunya seperti anak laki-laki. Meskipun demikian Bunda Teresa selalu tertarik dengan tugas-tugas misionaris. Di usia muda 18 tahun, ia berlayar ke Dublin (Irlandia) untuk belajar bahasa Inggris di Biara Ordo Loreto sebelum dikirim ke India. Di usia 20 tahun ia mengajar di St Marys High Scool di Kalkuta, dan sejak saat itu para siswa sering memanggilnya dengan Bunda Teresa.

 

Kedekatannya dengan kaum miskin berawal ketika menggelar retret di Darjeeling ( Bengali Utara ). Di tempat itu dia seperti mendengar suara perintah Tuhan. Isinya memerintahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan kepada kaum miskin dan sengsara. Sejak saat itu Bunda Teresa minta ijin keluar dari biara dan tinggal di daerah yang paling miskin (Slum) kota Kalkuta. Bunda Teresa meninggalkan kebiasaan Ordo Loreto, dan kini memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity. Bunda Teresa juga mengundurkan diri sebagai guru di St Marys High Scool karena menganggap tugasnya terhadap kaum miskin lebih penting.

 

Kini Bunda Teresa hanya memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity.

 

Totalitas Bunda Teresa mengabdi untuk warga miskin dimulai dengan pindah kewarga negaraan India pada tahun 1948. Serta membuka sekolah pertama yang diperuntukan bagi orang miskin. Sekolah itu didirikan yang pertama di wilayah termiskin kota Kalkuta. Bantuan finansial terhadap aksi simpatik Bunda Teresa dari seluruh dunia, membuahkan hasil dengan membuka Nirmal Hridai Home, sebuah rumah perawatan khusus bagi orang yang menjelang ajal. Kemudian menyusul mendirikan Shinshu Bhavans, sebuah panti yang merawat bayi-bayi dan anak terlantar. Pada tahun 1957, Bunda Teresa membuka sebuah Leprosarium atau rumah perawatan bagi penderita penyakit lepra.

 

Kini ordo yang diadirikan telah berkembang di seluruh India dan 30 negara. Di Kalkuta saja memiliki 250 biarawati dan 1800 diantaranya tersebar di seluruh dunia. Ordo ini mengendalikan 87 panti yatim piatu di India dan 4- di negara lain. Juga mengendalikan 213 rumah obat seperti apotik, 54 rumah sakit lepra dan 60 sekolah. Semuanya disediakan untuk orang miskin dan tidak dipungut biaya. Banyak sukarelawan dari penjuru dunia datang ke India untuk membantu di panti panti perawatan Ibu teresa.

 

Nirmal Hriday House, Rumah Tunggu Kematian

 

Nirmal Hriday House atau rumah  bagi kaum miskin yang menjelang ajal, dijadikan tempat latihan bagi pelamar yang ingin menjadi relawan Bunda Teresa. Siapapun diwajibkan bekerja terlebih dahulu di rumah perawatan ini sebelum mereka bekerja di Shinshu Bavans atau Leprosarium. Salah seorang biarawati yang bekerja mengaku jika anda bisa bertahan bekerja disini maka anda juga akan tahan bekerja di manapun juga.

 

Penghuni rumah perawatan ini menderita berbagai macam penyakit. Umumnya masalah gizi, TBC dan disentri. Setiap orang yang memasuki ruangan perawatan harus menahan diri untuk tidak muntah, sebab udara berbau busuk. Disinfektan dianggap tidak berhasil menghalau bau kotoran manusia atau muntahan pasien yang berceceran.

 

Namun bagi Bunda Teresa, Nirmal Hriday House ini adalah tempat kasih sayang. Ia tidak pernah lupa orang-orang pertama yang dirawatnya. Pada tahun 1952 ketika sedang berjalan di kota Kalkuta, ia menemukan orang yang terbaring di selokan tepi jalan. Tampaknya korban sakit parah. Dipungutnya pria terlantar itu dan dibawa pulang.” Itulah orang pertama yang aku tolong, setelah dimandikan dan dibersihkan luka lukanya, kubaringkan di balai-balai. Kemudian ia berkata seumur umur saya hidup bagaikan binatang, menggelandang sepanjang jalan. Kini saya akan mati bagaikan bidadari dicintai dan dirawat. Tiga jam kemudian ia meninggal dunia dengan senyum di bibirnya,” cerita Bunda Teresa.

 

Penghui pertama lain seorang wanita yang ditemukan Bunda Teresa di tepi jalan depan sebuah rumah sakit. orang malang ini sedang digigit tikus dan tubuhnya penuh koreng digerogoti belatung. Ibu teresa membawanya pulang dan membersikan tubuh dan lukanya. “ Ketika saya baringkan di tempat tidur, dipeganglah lenganku. Satu satunya ucapannya adalah terimakasih dan iapun meninggal dunia,” tutur Bunda Teresa.

 

Ada sukarelawan lain Levia dari Yorkshire (Inggris) menceritakan, Nirmal Hriday House dihuni 107 penderita yang tidak lama lagi akan meninggal dunia. Selanjutnya tempat mereka akan digantikan penderita lain. Salah seorang penghuni itu bernama Kelok, wanita muda berusia 20 tahun yang menderita TBC parah. Berat tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Ia berbaring di sebuah tempat tidur dengan tungkai yang tidak lebih besar dari dua jari tangan manusia dewasa normal. Pasien lain bernama Lakhi juga menderita TBC, disentri dan kekuragan gizi. Melihat penampilananya dikira usia 40 tahun, padahal Lakhi baru berumur 10 tahun. Lakhi tidak pernah mengeluh meskipun tubuhnya sakit. karena levernya membengkak sampai 3 kali lipat. Penghuni lainnya Gauri seorang wanita cantik usia 18 tahun yang menderita TBC parah. Meskipun tubuhnya kurus, Gauri masih senang bercanda dan menggoda suster dan biarawati yang merawatnya. Ada harapan Gauri untuk sembuh.

 

Di usia senjanya itu, banyak pihak yang menyarankan Bunda Teresa mengurangi aktifitasnya. Keadaan kesehatan juga menurun akibat penyakit jantung. Beberapa tahun terakhir memang pernah dirawat di beberapa rumah sakit, namun Bunda Teresa tetap ingin dekat dengan orang miskin dan sengsara. “Semua terserah kepada Tuhan,” kata Bunda Teresa.

 

Pengabdian kepada Tuhan dan kaum miskin dan sengsara sudah maksimal. “Yang patut diingat, jangan merendahkan mereka hanya karena miskin. Orang miskin itu adalah manusia seperti kita juga yang punya perasaan dan keinginan. Berilah mereka perhatian dan kasih sayang,” pesan Bunda Teresa. (pul)

 

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022