Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Pemberontakan di kapal perang Zeven Provincien pada tanggal 5 Pebruari 1933 disebut Sukarno menyerupahi peluncuran roket tiga tahap “ semangat, kemauan, tindakan”. Meskipun Sukarno dan para pemimpin nasionalis lainnya tidak terlibat dalam pembertongakan para pelaut itu, dampak peristiwa Zeven Provincien hampir sama dengan pemberonakan komunis tahun 1927-1927. Diantara orang-orang Belanda semakin benci terhadap nasionalisme Indonesia. Sedangkan di mata para nasionalis cara menumpas pemberontakan dengan berdarah-darah membuktikan semakin jahatnya pemerintah kolonial.
Sukarno sendiri merasakan dampaknya sikap sinis itu. Sejak dibebaskan dari penjara Sukamiskin, gerak gerik Sukarno tidak pernah lepas dari pantauan PID (Badan Inteljen Politik). Si komisaris polisi Bandung, Alberghs selalu mengikuti gerak gerik Sukarno dimanapun. Alberghs juga memerintahkan anak buahnya polisi pribumi untuk mengikuti kemanapun Sukarno pergi. Bahkan ke pematang sawah sekalipun, polisi pribumi ini tetap mengejar Sukarno tapi tidak menangkapnya. Gebrakan Alberghs benar benar membuat gerak gerik kaum nasionalis semakin sulit.
Lalu, apa yang terjadi dengan peristiwa Zeven Provincien itu. Zeven Provincien adalah nama sebuah kapal perang sangat dikenal dalam sejarah Indonesia. Karena di kapal perang inilah pernah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para awak kapal, baik yang berkebangsaan Eropa/Belanda maupun Bumiputra.
Dalam catatan biografi Sukarno karya Lambert Giebels, keputusan memberontak bentuk protes dari rasa tidak adil ketika mendengar pengumuman tanggal 1 Januari 1933, gaji mereka diturunkan sebesar 17 persen. Penurunan gaji pegawai merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia saat itu. Rencana penurunan gaji tersebut mendapat tentangan dari para pegawai pemerintah, termasuk para awak kapal Zeven Provincien.
Meletusnya pemberontakan awak kapal tersebut ada berbagai pendapat, salah satunya pendapat yang mengatakan bahwa ideologi komunis turut menggerakan pemberontakan tersebut. Terlepas dari hal tersebut, pemberontakan awak kapal tersebut menggambarkan heroisme perlawanan terhadap penjajah Belanda di Indonesia. Para pelaut bumiputra berhasil mengambil alih kapal dan mengarahkan ke Surabaya dari pantai Sumatra.
Aksi pemberontakan itu awalnya bersifat spontan dari ABK. Para pelaut sebenannya sudah pernah mendengar tentang ancaman aksi pemogokan yang digerakan oleh aktifis komunis. Tapi bagi mereka sangat tidak lazim dilakukan oleh para pelaut, apalagi di kalangan pelaut-pelaut Indonesia yang berada di Kapal Tujuh. Dilansir dari koran Partai Komunis Indonesia (PKI), Medan Ra’jat, pada 28 Januari 1933 mereka menggelar rapat. Rapat itu membahas rencana penyambutan lebaran, tetapi sebetulnya mempersiapkan pemogokan.
Saat itu kapten dan para perwira tinggi Zeven Provincien sedang bersenang-senang di gedung pertemuan angkatan laut di Kota Raja. Sekitar pukul 22.00 malam pada hari sabtu tanggal 4 Pebruari 1933, para kelasi berdarah Indonesia, di antaranya Paradja, Romambi, Gosal, dan Kawilarang, serta beberapa awak kapal Belanda memulai aksinya. Mereka langsung bergerak merebut dan menguasai kapal. Tidak hanya itu, mereka juga menyandera para perwira yang masih berada di geladak kapal bagian belakang. Paling ditakutkan Gubernur Jendral De Jonge, para pemberontak itu menuju pelayaran luar negeri. Misalnya tujuan Singapura atau penang. Beruntung kapal tersebut berlayar menuju timur menyusuri pantai barat pulau sumatra. Para pemberontak mengirim kabar bahwa mereka menuju pelabuhan pangkalan asal di Surabaya. Di pelabuhan asal itu, rencana para pemberintak akan menyerahkan kembali kapal dan mengakhiri aksinya.
Dua pelaut pribumi berpangkat klasi yang ikut terlibat pemberontakan kapal Zeven Provincien. Foto Ist
Colijn salah satu perira angkatan laut menasihati agar kapal tersebut di bom saja. Tetapi Gubernur Jendral De Jonge memutuskan untuk membiarkan Zeven Provincien berlayar terus sampai selat sunda dan akan dipaksa menyerah di sana. Jarak tempuh yang dilewati dari Kota Raja menuju Surabaya seribu mil lebih, sehingga dipastikan akan memakan waktu yang lama perjalanan. Selama menuju ke timur tersebut, Kapal Zeven Provincien dikejar dengan kapal panser milik angkatan laut Belanda yang ukurannya lebih kecil. Para pemberontak membuktikan bahwa mereka berhasil mengendalikan keadaan kapal perang yang megah tersebut.
Kejadian ini tentu menjadi berita besar di media massa dunia. Media asing selalu mencemooh keputusan politik Hindia Belanda terhadap kaum pribumi. “ Tidak sulit untuk menghargai segi humor dari peristiwa ini, karena pencurian sebuah kapal perang adalah sesuatu yang belum pernah terjadi di zaman modern. Namun bagi Belanda, kejadian ini sungguh serius, ia jadi bahan tertawaan di mata dunia sehingga martabanya turun” tulis harian Iris Independent.
Surat kabar Belanda memberitakan terus perkembanan pemberonakan kapal Zeven Provincien. Foto dok net
Pemerintah Belanda sangat tidak suka dengan pemberontakan itu. Di antara orang –orang Belanda yang tinggal di Indonesia berkembanglah perasaan semakin anti pribumi. Akhirnya lakon komedi lebih seram daripada yang diduga. Pemerintah Belanda menghentikan pemberontakan awak kapal tersebut dengan cara mengebom dari udara kapal Zeven Provincien saat sedang berlayar di Selat Sunda pada tanggal 10 Pebruari 1033. Pengeboman tersebut membuat kapal rusak, dan 23 awak kapal meninggal dunia terkena bom (20 orang awak kapal Bumiputra dan 3 awak kapal Belanda). Para awak kapal yang hidup kemudian menyerah kepada pemerintah kolonial Belanda. Total 545 orang awak kapal Bumiputra dan 81 awak kapal Belanda ditahan.
Bagi Gubernur Jendral De Jonge, pengeboman itu berlawanan dengan intruksinya. Ada kesepakatan bahwa pesawat terbang angkatan laut yang dikerahkan akan menjatuhkan bom peringatan di depan kapal. Namun yang terjadi pesawat tersebut seperti sengaja menjatuhkan bom tepat di atas kapal. Pelaku pengeboman seorang pilotnya bernama Th HJ Coppes yang tidak hadir saat breafing malam sebelum operasi. Gubernur Jendral De Jonge langsung marah besar melihat kapalnya hancur. Hal itu disampaikan langsung ke komandan operasi CJ van Asbeck yang masih sepupunya sendiri. (pul)